Ajukan Gencatan Senjata, OPM Minta TNI Tarik Semua Pasukan di Papua
2020.04.08
Jakarta

Kelompok separatis Papua menawarkan gencatan senjata di tengah pandemi COVID-19, dengan syarat pemerintah Indonesia sepakat untuk menarik seluruh pasukan militer non-organik di sana.
Bila gencatan senjata disepakati, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat dari Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) berjanji untuk tidak akan menyerang fasilitas kesehatan, memastikan kelancaran distribusi alat kesehatan dan obat-obatan, serta membantu menyebarkan informasi terkait COVID-19 kepada masyarakat.
“Itu berlaku jika Indonesia tarik semua militer non-organik dari Papua. Karena faktanya sekarang TNI/Polri sedang lakukan mobilisasi militer dalam jumlah besar,” kata Juru Bicara TPNPB-OPM, Sebby Sembom, dalam pernyataan kepada BenarNews.
Sebby mengklaim, saat ini operasi militer pasukan gabungan Tentara Nasional Indonesia (TNI)/Polri telah tersebar di beberapa titik kabupaten dan kota di Papua seperti Ndugama, Lani Jaya, Timika, Tembagapura, dan Pegunungan Bintang.
Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayor Jenderal Sisriadi, menolak menanggapi serius tawaran OPM, yang oleh pemerintah dianggap kelompok kriminal bersenjata.
“Anda tahu arti gencatan senjata?” tanya Sisriadi. “Apakah Indonesia sedang konflik bersenjata? Tolong baca konvensi Jenewa,” kata Sisriadi kepada BenarNews.
Kapendam XVII Cenderawasih, Letkol Eko Daryanto, dan Wakapendam XVII Cenderawasih, Letkol Inf Dax Sianturi, menolak berkomentar perihal tawaran gencatan senjata. Begitu pula dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD.
Berdasarkan laporan ISEAS-Yusof Ishak Institute, perbandingan pasukan keamanan dengan rasio per kapita populasi di Papua berkisar 1:97, yakni terdapat satu polisi atau tentara untuk setiap 97 orang. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat nasional yang berkisar 1:296.
Dari rasio tersebut, saat ini diperkirakan jumlah pasukan gabungan TNI/Polri yang berjaga di Papua berjumlah sekitar 37.000 personel.
Di sisi lain, Wakapendam XVII/Cenderawasih Letkol Inf Dax Sianturi, pada akhir Desember 2019, mengklaim jumlah anggota kelompok separatis di Papua dan Papua Barat mencapai 50.000 sampai 60.000 orang.
Sebby mengatakan, jika pemerintah Indonesia menolak tawaran gencatan senjata, maka TPNPB dan OPM mengancam akan tetap melakukan perlawanan di berbagai wilayah, termasuk di kawasan pertambangan emas dan tembaga milik Freeport Indonesia di Tembagapura.
“Gelombang besar pengungsi ke negara tetangga Papua Nugini tidak akan terhindarkan karena wilayah-wilayah tersebut menjadi semakin tidak aman,” tukasnya.
Akhir bulan lalu, kelompok separatis mengaku melakukan penembakan di kawasan pertambangan emas milik PT Freeport Indonesia di Mimika hingga menyebabkan satu pekerja asing tewas dan dua pekerja lain terluka.
Insiden tersebut terjadi tiga hari setelah pemerintah Provinsi Papua memutuskan untuk menutup akses lalu lintas manusia baik dari udara, laut, dan darat demi memutus rantai penyebaran virus corona.
Konflik antara aparat keamanan dan kelompok separatis Papua yang memanas sejak pertengahan Februari 2020, telah menewaskan seorang tentara, seorang polisi, dan empat pemberontak. Sementara ribuan penduduk dilaporkan mengungsi karena ketakutan.
Instruksi PBB
Ketua OPM-TPNPB, Jeffry Bomanak, mengaku pihaknya bakal bergabung bersama negara di seluruh dunia dalam memerangi pandemi global COVID-19 yang mengancam kehidupan manusia. Maka dari itu, dirinya berharap Pemerintah Indonesia menghargai itikad baik OPM-TPNPB untuk melakukan gencatan senjata.
“OPM-TPNPB secara terbuka menawarkan komitmen kepada Presiden Indonesia Joko Widodo supaya secara kemanusiaan dapat menghargai aturan internasional yang telah dikeluarkan oleh Sekjen PBB dalam memerangi pandemi COVID-19,” kata Jeffry, dalam pernyataan tertulisnya, Rabu.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, telah meminta kepada seluruh pihak yang bertikai untuk mengumumkan gencatan senjata dan bersama-sama menghadapi ancaman yang lebih besar bagi umat manusia saat ini, yakni virus corona.
“COVID-19 tidak peduli tentang kebangsaan atau etnis, atau perbedaan lainnya, (dia) menyerang semua tanpa henti, termasuk selama masa perang,” kata Guterres dalam pernyataan resminya, 23 Maret 2020.
Sementara itu, Koordinator Subkomisi Pemajuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Beka Ulung Hapsara, telah meminta Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk mengevaluasi pendekatan keamanan di Papua.
Permintaan tersebut muncul setelah adanya laporan pengerahan pasukan non-organik TNI/Polri di Intan Jaya dan Paniai, Papua, pada 13 Desember 2019. Pengerahan pasukan ini diyakini menjadi awal mula ketegangan dengan kelompok separatis Papua.
“Pengiriman pasukan non-organik itu efektif atau justru memberikan trauma? Pemerintah harus segera mengevaluasi pendekatan keamanan di Papua,” kata Beka dalam laporan Bisnis Indonesia.
Sejak Papua bergabung dengan Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969, konflik antara separatis dan militer terus mewarnai Papua. Aktivis hak asasi manusia (HAM) dan sebagian warga melihat Pepera manipulatif karena melibatkan hanya sekitar 1000 orang yang telah diinstruksikan untuk memilih bergabung dengan Indonesia.
Organisasi HAM menilai militer dan juga kelompok separatis bertanggungjawab terhadap pelanggaran HAM di wilayah itu.