Reaksi Papua Atas Kesepakatan Pemerintah dan PT Freeport

Freeport bersedia lepaskan 51% sahamnya untuk tetap bisa beroperasi di Indonesia.
Victor Mambor
2017.08.29
Jayapura
170829_ID_Papua_Freeport_1000.jpg Dua petugas keamanan memperhatikan komplek pertambangan PT Freeport Indonesia di Papua, 16 Agustus 2013.
AFP

Kesepakatan PT Freeport Indonesia yang setuju melepaskan 51 persen sahamnya untuk Pemerintah Indonesia dan perpanjangan kontrak bagi perusahaan asal Amerika Serikat (AS) hingga tahun 2041 itu mendapat reaksi dari Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Ketua Dewan Adat Paniai.

Seorang anggota DPRP, Ruben Magay, ketika diminta tanggapannya, Selasa petang, 29 Agustus 2017, menyebutkan seharusnya pemilik hak ulayat dilibatkan dalam perundingan antara PT Freeport dan pemerintah.

“Kini tidak terlihat posisi masyarakat adat pemilik ulayat. Sudah saatnya pemerintah melibatkan pemilik ulayat dalam menentukan investasi Freeport,” ujarnya kepada BeritaBenar, menambahkan bahwa peraturan tentang Pertambangan Mineral dan Batubara juga telah mengatur tentang hak-hak pemilik tanah ulayat dalam kegiatan pertambangan.

“Ada tiga tungku, pemerintah pusat/pemerintah daerah, investor, dan masyarakat adat."

Menurutnya, dalam pembahasan investasi Freeport harus jelas berapa persen untuk investor, berapa persen jatah pemerintah, dan berapa persen masyarakat adat.

"Selama kontrak karya pertama Freeport tahun 1967, hingga kontrak karya kedua 1991, dan yang terakhir ini, posisi masyarakat adat belum jelas. Pembahasan hanya dilakukan pemerintah pusat dengan investor dalam hal ini Amerika,” jelasnya.

Ruben menambahkan, seharusnya aktor utama dalam setiap keputusan menyangkut investasi Freeport adalah masyarakat pemilik hak ulayat.

“Pemerintah hanya mengurus penerimaan dan pajak negara saja dari kontrak kerja atau izin yang diberikan,” ujarnya.

‘Ancam gugat’

John Gobay, Ketua Dewan Adat Paniai yang dua minggu lalu bertemu Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengaku telah menyampaikan masalah lahan pertambangan dan masyarakat pemilik hak ulayat yang tanahnya ditambang Freeport.

“Kami masyarakat adat Papua, khususnya masyarakat hukum adat Amungme dan Kamoro, tidak pernah melepaskan tanah ulayat leluhur kami kepada pihak manapun baik Pemerintah Indonesia maupun Freeport,” katanya kepada BeritaBenar.

“Kami orang Amungme dan Komoro sudah sampaikan kepada Presiden Joko Widodo pada 15 Agustus lalu saat diterima bersama 14 tokoh adat dan agama dari Papua.”

Menurutnya, baik masyarakat suku Amungme maupun Komoro bukan ingin mengemis kepemilikan saham, tapi seharusnya mereka dihargai sebagai pemilik gunung tempat Freeport melakukan penambangan selama puluhan tahun.

“Gunung dan tanah itu kami punya dan negara sudah mengakuinya dengan UUD 1945 dan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua,” lanjut Gobay.

Dia berharap, Jokowi segera menggelar perundingan khusus yang dihadiri Pemerintah (Pusat dan Provinsi Papua), Freeport dan Suku Amungme serta Komoro.

“Jika tidak, kami akan laporkan ke PBB melalui perwakilan bangsa pribumi dan kami akan gugat Freeport dan pemerintah pusat karena tak patuh pada regulasinya sendiri,” ancam Gobay.

Lepaskan saham

Setelah melalui perundingan panjang, PT. Freeport Indonesia setuju untuk memegang hanya 49 persen atas kepemilikan Freeport dan menjual sisanya kepada Pemerintah Indonesia. Sebelumnya perusahaan pembayar pajak terbesar di Indonesia itu memegang 90,64 % saham Freeport.

Hal ini disampaikan dalam jumpa pers bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignatius Jonan, dan CEO Freeport McMoran, Richard Adkerson, di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa siang.

Jonan sebagaimana diberitakan berbagai media nasional dan internasional dalam jumpa pers itu mengatakan pemerintah sepakat perpanjangan pertama sepuluh tahun sampai 2031 dan jika semua prasyarat dipenuhi termasuk pembangunan smelter dalam lima tahun ke depan, perpanjangan kedua akan diteruskan sampai 2041.

Dalam proses perundingan panjang dan alot ini, Freeport juga menyepakati pembangunan smelter, yaitu fasilitas pengolahan dan pemurnian bahan tambang, yang harus selesai pada Januari 2022, dan menjaga stabilitas penerimaan negara.

“Perundingan pemerintah dan Freeport dimulai pada awal 2017. Namun pada 3-4 (hari) terakhir, perundingan kian intens sehingga kedua pihak menemukan kata sepakat,” kata Jonan.

Adkerson, yang secara personal terlibat dalam negosiasi itu mengatakan bahwa pelepasan mayoritas saham Freeport tersebut sebagai bentuk untuk memberikan kemanfaatan bagi masyarakat luas.

"Saya ingin menyampaikan kesepakatan kami untuk divestasi 51 persen saham dan membangun smelter. Kami mengapresiasi kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan kami telah mendengarkan dengan seksama apa yang menjadi keinginan dan objektif pemerintah," katanya.

Sedangkan, Sri Mulyani lebih mengedepankan jaminan penerimaan negara dari operasi Freeport di Indonesia. Ia menginginkan penerimaan negara harus lebih besar dari yang ditetapkan dalam status Kontrak Karya.

Menurutnya, royalti akan tinggi, PPH (Pajak Penghasilan Perusahaan) akan turun, PPN (Pajak Pertambangan Nilai) akan diubah komposisinya kalau Freeport berubah dari Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

“Dari sisi total sales dan income Freeport Indonesia, prosentase yang dibayar akan lebih tinggi," ujar Sri Mulyani.

Tapi, pengamat energi dari Universitas Tarumanagara, Ahmad Redi, mengatakan kesepakatan antara pemerintah dan PT Freeport serta pemberian IUPK tidak sesuai dengan UU Pertambangan Mineral dan Batubara.

Menurut UU itu, kata Redi, IUPK hanya dapat diberikan melalui penetapan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang harus disetujui DPR dan diprioritaskan untuk diberikan kepada BUMN.

“Pembangunan smelter pun merupakan kewajiban lama PT Freeport yang pada waktu lalu telah diperjanjikan untuk dibangun, namun hingga kini tidak terbangun,” katanya dalam keterangan tertulis.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.