Warga Polandia Bantah Terlibat Makar di Papua
2018.09.19
Jayapura & Jakarta

Jakub Fabian Skrzypski (39), warga Polandia yang ditangkap di Papua pada 26 Agustus lalu, membantah tudingan bahwa dia hendak melakukan makar.
“Dia menolak semua yang dituduhkan. Dia menolak tuduhan makar,” kata kuasa hukum Yakub, Latifah Anum Siregar kepada BeritaBenar, Rabu, 19 September 2018.
"Dia sudah masuk perpanjangan penahanan untuk 40 hari kedua setelah masa penahanan 20 hari berakhir tanggal 13 September lalu," tambah Anum.
Aparat keamanan menangkap Jakub di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, karena diduga memasok senjata api kepada kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM). Lalu, dia ditetapkan sebagai tersangka makar.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Pol Dedi Prasetyo yang ditanya di Jakarta menyatakan, penyidik masih memeriksa Yakub dan mendalami secara komprehensif.
“Sudah ada komunikasi dengan KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) menawarkan akan mencoba mensuplai senjata dan amunisi, tapi belum terjadi,” katanya.
KKB adalah sebutan aparat keamanan Indonesia terhadap gerilyawan OPM.
Namun, pengakuan Yakub kepada pengacaranya bahwa “dia tidak pernah berkampanye untuk separatis Papua dan tidak pernah mendukung kemerdekaan Papua.”
“Dia juga tidak pernah terlibat pelatihan militer dan bukan seorang pedagang senjata atau yang lainnya. Dia tidak pernah punya senjata dan amunisi,” jelas Anum mengutip keterangan kliennya.
Dia menambahkan Yakub dijerat dengan pasal berlapis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mulai makar, permufakatan jahat hingga percobaan makar.
“Ancaman hukuman makar bisa seumur hidup atau hukuman sementara maksimal 20 tahun,” kata Anum, pengacara yang juga aktivis Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP).
Anum mengatakan kliennya telah berkomunikasi dengan kedutaan Polandia, tapi belum dengan keluarganya.
Dikritisi
Sementara itu, pembangunan unit baru TNI di Papua dikritik anggota DPRD dan tokoh masyarakat Papua.
“Itu rencana yang tidak masuk akal. Warga Papua di kampung-kampung masih banyak yang trauma dengan kehadiran militer,” kata Laurens Kadepa, seorang anggota Komisi I DPR Papua.
“Jika ada satuan khusus, masyarakat Papua merasa tidak nyaman dan tak terima karena pengawasan terhadap orang asli Papua menjadi lebih ketat dan tidak bebas,” katanya Peter John Jonga, seorang tokoh masyarakat.
Sebelumnya, Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto pada 11 Mei lalu meresmikan empat satuan baru dan pergantian nama satuan TNI di Mako Armada III Sorong, Papua Barat.
“Memang di wilayah timur untuk satuan-satuan induk khususnya satuan tempur belum ada sehingga kita sangat segera merealisasikan rencana tersebut, tujuan utamanya untuk melaksanakan operasi di perbatasan untuk menjaga stabilitas keamanan,” ujar Hadi seperti disebutkan dalam rilis yang dikeluar Mabes TNI.
Provinsi yang kaya sumber alam namun masih tertinggal dalam pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia dibanding propinsi lainnya itu telah menjadi ajang konflik separatis bersenjata sejak tahun 1960-an. Aktivis hak asasi manusia (HAM) menuduh pasukan keamanan melakukan pelanggaran HAM dalam menanggulangi OPM. Pemerintah melarang masuknya media asing untuk melakukan liputan dengan alasan keamanan.
“Sebaiknya ada tim khusus untuk mengecek penerimaan dan kondisi masyarakat melalui Majelis Rakyat Papua (MRP),” ujar Jonga.
MRP merupakan lembaga setara DPRD di Papua yang beranggotakan utusan penduduk asli Papua sebagai representatif kultural untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat adat.
Selama ini, tambahnya, warga Papua beranggapan hadirnya TNI tak mempertimbangkan nilai budaya lokal dan tradisi adat masyarakat setempat.
“Misalnya orang Papua selalu bawa panah dan kapak kemanapun mereka pergi, itu bagi anggota TNI yang melihat ini dianggap membahayakan, padahal ini budaya,” ujarnya.
Monitor
Ketua Komisi Nasional dan Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik mengaku potensi pelanggaran HAM pasti ada saat petugas menjaga keamanan.
“Setiap orang yang menggunakan senjata berpeluang untuk terjadi pelanggaran HAM. Namun bagaimana caranya untuk kita bisa cegah dari awal,” katanya mengomentari pembukaan unit baru TNI di Papua.
Ia mengatakan akan menugaskan Komnas HAM Papua untuk memantau pelaksanaan tugas TNI di Papua.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan setiap keputusan pengembangan strategi pertahanan militer, seharusnya diiringi kajian.
“Harus mempertimbangkan geopolitik strategis di negara tetangga, kajian strategis juga harus memperhatikan nilai HAM,” katanya.
Walaupun di bawah pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo pembangunan infrastruktur di Papua berkembang pesat, aktivis melihat Jokowi belum serius terhadap penyelesaian masalah HAM di Papua.
Dalam laporan Amnesty International tercatat 95 korban dalam 69 insiden pembunuhan di luar hukum terjadi di Papua antara Januari 2010 sampai Februari 2018.
Sedangkan, anggota Komisi I DPR RI, Bobby Rizaldi, mengatakan pembentukan divisi baru dalam satuan unit khusus TNI di Papua cukup bagus guna menangani masalah di wilayah timur Indonesia.
“Seharusnya dari dulu karena base Armada Timur lokasinya terlalu jauh untuk merespon sejumlah dinamika di wilayah timur Indonesia,” ujarnya kepada BeritaBenar.
DPR, ujarnya, menyambut baik karena sesuai dengan rencana strategis TNI.
Menurutnya, kekhawatiran potensi pelanggaran HAM di Papua dengan pembentukan divisi baru TNI tidak mendasar.
“Itu tidak ada hubungan sama sekali. Itu hanya fitnah dari proxy agen asing yang ingin membenturkan TNI dan masyarakat Papua. Tidak perlu diragukan kemanunggalan TNI dengan masyarakat Papua,” pungkasnya.
Ahmad Syamsudin di Jakarta turut berkontribusi dalam artikel ini.