Veronica Koman: ‘Jika Kita Bisa Lebih Ekspos Pelanggaran HAM di Papua, Situasinya Mungkin Tak Seburuk Ini’
2019.11.22
Jakarta

Pengacara Veronica Koman selama beberapa bulan ini sering menerima ancaman secara online akan diperkosa atau dibunuh sejak polisi menetapkannya sebagai tersangka provokator kerusuhan di Papua, wilayah dimana ia aktif melakukan advokasi bagi hak-hak masyarakat di sana.
Namun hal itu tidak membuatnya gusar, bahkan ia membuat lelucon atas status buronnya itu di Twitter, dimana dia memiliki lebih dari 45.000 followers
“Gonna tell my kids that this was when I was named Citizen of the Year (saya akan memberitahu anak-anak saya kelak bahwa ini adalah ketika saya mendapatkan predikat sebagai Warga Negara Tahun Ini),” cuitnya beberapa hari lalu dengan foto yang memperlihatkan polisi memperlihatkan gambar dirinya dalam ukuran besar kepada awak media dalam sebuah konfrensi pers.
Veronica, seorang Indonesia keturunan Tionghoa, mengatakan dirinya sering menjadi korban pelecehan rasis dan misoginis di media sosial. Ia juga sering disebut pengkhianat.
“Saya nggak marah atau dendam. Saya tahu ini akan terjadi,” katanya saat diwawancara BeritaBenar melalui telepon dari Australia dimana dia tinggal bersama suaminya, yang berkewarganegaraan asing. Ia menolak memberitahu kewarganegaran suaminya.
Polisi Indonesia pada September lalu menyatakan Veronica sebagai buronan dan mengatakan akan bekerja sama dengan Interpol untuk menangkapnya.
Veronica mengatakan menjalani kehidupan sehari-harinya seperti biasa dan tidak bersembunyi. Minggu lalu ia ikut berdemonstrasi di Australia untuk memrotes polisi yang membunuh seorang remaja Aborigin di sana.
“Saya tidak bersalah jadi saya tidak lari, tapi saya juga nggak akan menyerahkan diri,” ujarnya, “saya sama sekali tidak ada kontak dengan pemerintah Indonesia maupun Australia.”
Ia menambahkan bahwa dirinya tidak pernah menerima dua surat panggilan yang menurut polisi telah dikirim kepadanya.
Bulan lalu dia mendapat anugerah Penghargaan Hak Asasi Manusia Sir Ronald Wilson dari Australia untuk mendokumentasi dan menyebarkan informasi tentang situasi di Papua.
Penghargaan itu mengapresiasi keberanian Veronica dalam terus membela hak asasi masyarakat Papua meskipun ia terus-menerus mendapat pelecehan dan intimidasi demikian tulis media Australia.
Polisi menuduh Veronica telah menyebarkan informasi bohong melalui unggahan media sosialnya tentang perlakuan aparat keamanan terhadap para mahasiswa Papua yang berunjuk rasa di Surabaya pada Agustus lalu.
Disebutkan bahwa pasukan keamanan menindak mahasiswa Papua dengan aksi yang berlebihan dan kekerasan, serta penggunaan kata-kata rasis yang memicu protes massa yang berubah menjadi rusuh di provinsi Papua dan Papua Barat.
Kerusuhan berminggu-minggu di wilayah itu menewaskan lebih dari 40 orang.
Pemerintah menyalahkan kelompok separatis Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP) dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) atas pemberontakan tersebut.
Ketua ULMWP Benny Wenda menolak tuduhan itu dan mengatakannya hal itu sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian dari isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di sana.
Luas Provinsi Papua dan Papua Barat yang merupakan seperlima dari daratan Indonesia, hanya didiami oleh 5,9 juta dari 250 juta penduduk Indonesia.
Wilayah itu telah menjadi medan konflik separatis tingkat rendah sejak terintegrasi ke Indonesia pada tahun 1969, setelah adanya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang dimotori PBB. Banyak rakyat Papua dan kelompok HAM yang mengatakan pemungutan suara itu penuh kepalsuan, karena melibatkan hanya 1.000 orang.
Pasukan keamanan Indonesia telah dituduh melakukan pelanggaran HAM berat dalam kampanye menumpas pemberontakan di Papua.
Ketegangan kembali meningkat pada Desember 2018 ketika kelompok pemberontak separatis diduga membunuh 19 pekerja pembangunan jalan raya di Kabupaten Nduga. Pemerintah langsung mengirim lebih dari 750 tentara dan polisi ke wilayah itu setelah terjadinya insiden itu.
'Misi pribadi'
Juru bicara Polri, Brigjen. Pol. Argo Yuwono, mendesak Veronica untuk menyerahkan diri.
“Kita komunikasikan dengan divisi Hubungan Internasional untuk bisa menghadirkan yang bersangkutan. Kita berharap Beliau mau datang,” kata Argo.
“Kalau tidak kembali, ya sudah, mau bagaimana lagi? Negara orang, kita juga harus menghargai aturan yang ada.” tambahnya.
Polisi telah menjatuhkan tuduhan makar terhadap enam aktivis yang mengibarkan Bintang Kejora, bendera gerakan separatis yang dilarang saat unjuk rasa menuntut referendum penentuan nasib sendiri di Jakarta, Agustus lalu.
Veronica yang mendukung diadakannya pemungutan suara penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua itu mengatakan dalam dua terakhir ini ia telah menerima ancaman baik dari “negara dan aktor –non-negara” atas aktivitasnya dalam memaparkan pelanggaran yang dilakukan oleh aparat kemanan dan dukungannya pada aktivis pro-kemerdekaan di wilayah itu.
“Saya sudah jadikan misi pribadi saya untuk memberitahu orang lain keadaan di Papua. Ada impunitas di Papua tapi orang nggak tau apa yang terjadi.”
“Jika kita bisa lebih mengekspos pelanggaran HAM di sana, situasinya mungkin nggak seburuk ini,” tambahnya.
Pemerintah Indonesia telah membatasi akses bagi wartawan asing ke Papua, dengan dalih alasan keamanan.
Veronica mengatakan sebelumnya dia bukanlah seorang aktivis dan mengaku dia dulu adalah seorang ultranasionalis.
"Dulu saya percaya NKRI harga mati. Kemudian saya membaca tulisan akademik asing, saya kaget ternyata situasinya seburuk itu. "
“Sejak saya mendapati bahwa banyak orang Papua merasa dijajah Indonesia, saya mulai mempertanyakan nasionalisme saya. Sampai saat ini saya belum pernah menemukan orang Papua yang tidak menginginkan kemerdekaan,” katanya.
Veronica mengatakan dia berharap suatu hari nanti ia bisa kembali ke Indonesia dan bersatu dengan keluarga dan kembali bekerja sebagai seorang pengacara.
“Saya sedih karena keluarga saya, teman saya, dan kerja saya di sana. Sekarang saya nggak bisa beracara di pengadilan, atau mengadvokasi aksi di lapangan.”