TNI Minta Maaf, Pecat 2 Komandan, Usai Prajuritnya Lakukan Kekerasan terhadap Warga Papua

Insiden terhadap warga tuna wicara itu menegaskan kembali tuduhan rasisme dan kekerasan terhadap warga asli Papua.
Ronna Nirmala
2021.07.28
Jakarta
TNI Minta Maaf, Pecat 2 Komandan, Usai Prajuritnya Lakukan Kekerasan terhadap Warga Papua Dalam foto tertanggal 16 Juni 2020 ini, mahasiswa Papua melakukan unjuk rasa di Surabaya, Jawa Timur, menuntut dibebaskannya tujuh aktivis yang didakwa melakukan makar setelah keterlibatan mereka dalam protes anti rasisme pada tahun 2019.
AFP

Tentara Nasional Indonesian pada Rabu (28/7) mencopot dua komandan Angkatan Udara di Papua setelah kekerasan yang dilakukan dua prajuritnya kepada seorang penyandang disabilitas dalam insiden yang disebut Kantor Staf Presiden sebagai tindakan yang di luar batas.

Sebuah video yang beredar viral pada Selasa menunjukkan dua anggota polisi militer dari satuan Angkatan Udara menyeret dan memilin tangan seorang laki-laki Papua tuna wicara ke luar dari sebuah warung makan, dan menjatuhkannya ke trotoar dengan lutut salah seorang perwira menekan punggungnya.

Sementara itu perwira lainnya menginjakkan kakinya di kepala korban, yang oleh media dan aktivis Papua disebut bernama Steven.  

TNI memastikan insiden itu terjadi hari Senin di Merauke, dan menyebut kedua polisi militer tersebut berusaha untuk menghentikan Steven dari berargumen dengan pemilik warung.

Aktivis dan warganet mengutuk insiden itu dan menyebutnya sebagai salah satu dari banyaknya kasus penggunaan kekuatan berlebihan dan tindakan rasisme oleh aparat keamanan terhadap penduduk Papua yang sejak masuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) selalu ditandai dengan pemberontakan separatis.

Netizen menggunakan tagar #PapuanLivesMatter yang dihubungkan dengan kematian seorang pria berkulit hitam Amerika Serikat (AS), George Floyd Jr, akibat kebrutalan petugas keamanan kulit putih pada Mei tahun lalu. Kasus itu populer dengan tagar #BlackLivesMatter.

Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo mengumumkan pihaknya telah memecat Komandan Pangkalan Udara (Danlanud) Merauke, Kolonel Pnb Herdy Arief Budiyanto, dan  Komandan Satuan Polisi Militer Angkatan Udara, yang namanya tidak disebutkan. 

“Ini adalah sebagai bentuk pertanggung jawaban atas kejadian yang berlaku, komandan satuan bertangung jawab atas pembinaan anggotanya,” kata Fadjar dalam keterangan pers, Rabu. 

Fadjar mengatakan pihaknya memastikan penegakan hukum terhadap dua pelaku akan berjalan secara transparan dan sesuai aturan. “Penanganan perkara ini terus masih berlangsung dan dua pelaku sudah kami tahan dan lalu juga untuk penanganan ini kita lakukan secara transparan dan sesuai aturan,” tukasnya.

Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto sebelumnya mengatakan kepada jurnalis bahwa dirinya telah mengeluarkan perintah kepada Fadjar untuk memecat dua komandan tersebut. 

“Karena mereka tidak bisa membina anggotanya. Kenapa tidak peka memperlakukan disabilitas seperti itu. Itu yang membuat saya marah,” kata Hadi melalui pesan singkat kepada jurnalis, Rabu. 

“Saya sudah memerintahkan KSAU untuk mencopot Komandan Lanud dan Komandan Satpomau (Satuan Polisi Militer Angkatan Udara)-nya. Jadi saya minta malam ini langsung serah terima (jabatan),” sambungnya.

Sementara itu, Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko menyebut tindakan yang dilakukan anggota Angkatan Udara itu sebagai di luar batas. 

“Atas terjadinya peristiwa tersebut, Kantor Staf Presiden menyampaikan penyesalan mendalam dan mengecam tindak kekerasan tersebut. KSP menilai tindakan yang dilakukan oleh kedua aparat sangat eksesif, di luar standar, dan prosedur yang berlaku,” kata Moeldoko, Rabu. 

Moeldoko mengatakan KSP bakal memastikan proses hukum terhadap dua pelaku berjalan transparan dan akuntabel, serta memastikan korban mendapat perlindungan dan pemulihan. Pihaknya turut meminta semua pemangku kepentingan untuk memastikan kejadian serupa tak terulang. 

“Sesuai arahan Presiden, KSP berharap agar semua lapisan masyarakat, terlebih aparat penegak hukum memiliki perspektif HAM (hak asasi manusia), menekankan pendekatan humanis dan dialogis, utamanya terhadap penyandang disabilitas,” katanya. 

Pada Selasa malam, Fadjar telah menyampaikan permintaan maafnya kepada korban dan juga masyarakat Papua seraya mengakui bahwa insiden tersebut sepenuhnya adalah kesalahan anggotanya. 

“Saya selaku Kepala Staf Angkatan Udara ingin menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada saudara-saudara kita di Papua khususnya warga di Merauke, terkhusus lagi kepada korban dan keluarganya,” kata Fadjar melalui rekaman video yang dibagikan di Twitter milik TNI AU.

Bahasa isyarat

Koordinator Forum Masyarakat Pemantau untuk Indonesia Inklusif Disabilitas (FORMASI Disabilitas) di Papua, Nyong Robi, mengatakan dalam video yang beredar terlihat bahwa Steven hendak meminta waktu kepada aparat untuk menjelaskan apa yang terjadi dengan bahasa isyarat. 

“Dari gesture-nya dia ingin berbicara, tapi permasalahannya aparat ini tidak paham jadi tidak ditanggapi, malah langsung diambil tindakan berlebih,” kata Robi melalui sambungan telepon dengan BenarNews.

Robi menduga kesalahpahaman komunikasi itu juga memicu adu mulut dengan pemilik warung. “Bisa jadi dia ingin berbicara apa dengan pemilik warung, tapi karena pemilik warung tidak paham juga jadinya emosi. Kemudian secara kebetulan aparat masuk,” lanjutnya. 

Pihaknya mengatakan telah berkomunikasi dengan pihak Dinas Sosial Merauke untuk meminta adanya pendampingan dan rehabilitasi kepada Steven yang disebutnya berpeluang besar mengalami trauma berat atas kejadian tersebut. 

“Penyandang disabilitas di Papua ini memiliki tingkat trauma yang tinggi. Untuk saat ini Steven sudah bersama keluarganya, dan memang kami apresiasi juga dari pihak TNI AU sudah datang meminta maaf dan mempertemukan langsung dengan pelaku. Tapi kami tetap berharap perlu ada pemantauan psikologi jangka panjang,” katanya. 

Sementara Koordinator FORMASI Disabilitas di Jakarta, Joni Yulianto, mendesak aparat untuk menyiapkan juru bahasa isyarat untuk mendampingi Steven dalam proses investigasi nanti. 

“Aparat harus menyiapkan juru bahasa isyarat, dan harus juga dipastikan Steven dalam keadaan yang siap. Kalau Steven tidak difasilitasi, kesalahpahaman bisa jadi terulang kembali,” kata Joni kepada BenarNews. 

Isu rasisme

Robi dari FORMASI Disabilitas menambahkan, insiden yang terjadi pada Steven selain memicu reaksi karena perlakuan terhadap kelompok difabel, juga memancing kemarahan masyarakat Papua atas perlakuan rasis terhadap mereka. 

“Saya dapat kabar katanya mau ada demonstrasi dari masyarakat di Papua dan Papua Barat karena mereka marah karena isu rasisme itu,” kata Robi. 

Pihaknya berharap masyarakat tetap bisa menahan diri karena kasus ini sedang ditangani oleh berbagai pihak. “Saya hanya mengkhawatirkan aksi demo itu disusupi muatan politik yang akhirnya meledak seperti 2019 lalu yang menjatuhkan banyak korban. Apalagi juga sekarang sedang pandemi,” katanya. 

Sekretaris Daerah Definitif Papua, Dance Julian Flassi, turut meminta masyarakat untuk tetap tenang. 

“Agar semua masyarakat, khususnya di Papua, untuk tidak terprovokasi dengan peristiwa yang terjadi di Merauke, karena saat ini dua oknum anggota sudah ditahan dan akan dihukum sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” kata Flassy dalam rekaman video kepada jurnalis. 

Kerusuhan besar pecah di Papua dan Papua Barat pada Agustus dan September 2019, yang berawal dari protes aktivis dan mahasiswa atas hinaan rasis yang diterima mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur. 

Sebagian dari demo tersebut berujung rusuh, perusakan fasilitas publik, dan menyebabkan setidaknya 40 orang tewas di berbagai wilayah di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dalam dua bulan tersebut. Setidaknya 38 orang ditangkap dengan tuduhan melakukan makar. 

Philip Situmorang, juru bicara Persatuan Gereja Indonesia (PGI), meminta semua pihak untuk mengubah sudut pandang terhadap orang Papua dengan memperlakukan mereka setara dengan warga negara lainnya. 

“Tidak bisa dihindari bahwa tindakan tersebut kemudian mengundang kecaman masyarakat luas karena dipandang sebagai tindakan rasis yang dialamatkan kepada orang Papua,” kata Philip dalam keterangan tertulisnya. 

Arogansi petugas

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengecam keras insiden yang dilakukan aparat keamanan di Papua tersebut. 

“Tindakan aparat juga bisa dikategorikan perbuatan yang kejam dan tidak manusiawi jika merujuk pada Konvensi Anti-Penyiksaan PBB yang sudah diratifikasi Indonesia,” kata Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, melalui pesan singkat. 

“Sudah banyak upaya untuk membuat Papua damai. Peristiwa kemarin sedikit banyak memperumit upaya membangun Papua yang damai dan sejahtera,” katanya. 

Koalisi Kemanusiaan Papua menyebut insiden yang terjadi di Merauke itu menambah panjang tindakan arogan anggota pasukan keamanan terhadap orang asli Papua dan mendesak agar TNI bertindak transparan dalam mengusut kejadian dan mengadili pelaku di peradilan umum. 

“Aparat seharusnya mampu bertindak secara proporsional, sesuai kapasitas, dan sensitif terhadap kesulitan yang dihadapi orang dengan disabilitas,” kata Ronald Tapilatu, perwakilan Koalisi. 

“Jika terdapat cukup bukti, pelaku harus diadili di peradilan umum yang adil dan terbuka, tak cukup hanya sanksi internal,” tambahnya. 

Data KontraS menyebut sepanjang tahun 2020, terdapat 40 kasus kekerasan oleh anggota TNI dan Polri di Papua. 

Sementara, Amnesty International menyebut sejak Februari 2018 hingga Juli 2021, sedikitnya 54 dugaan kasus pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat dengan total 90 korban jiwa terjadi di Papua dan Papua Barat.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.