Papua Kembali Rusuh, 21 Orang Tewas
2019.09.23
Jayapura

Sedikitnya 20 warga sipil dan seorang anggota TNI tewas serta puluhan lainnya terluka dalam kerusuhan yang kembali terjadi di Papua, Senin, 23 September 2019, menyusul unjuk rasa yang berubah menjadi anarkis.
Komandan Kodim 1702/Jayawijaya, Letnan Kolonel Inf. Chandra Diyanto menyebutkan, 17 warga sipil tewas dan 66 lainnya mengalami luka-luka akibat demonstrasi para siswa yang berujung rusuh di Wamena.
“Mereka yang meninggal akibat terkena benda tajam dan korban kebakaran,” katanya dalam keterangan kepada wartawan.
“Sebagian terjebak dalam gedung ruko, kios yang dibakar, sebagian lagi masih identifikasi lapangan,” kata Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) XVII/Cenderawasih Lektol Cpl Eko Daryanto, menambahkan sebagian dari korban tewas adalah warga pendatang dari luar Papua.
Kapolda Papua, Irjen. Pol. Rudolf Rodja, mengatakan demonstrasi siswa di Wamena dipicu oleh kabar bohong tentang adanya ujaran rasis seorang guru kepada warga Papua.
“Minggu lalu ada isu di Wamena. Ada oknum guru mengeluarkan ujaran rasis sehingga sebagai bentuk solidaritas mereka melakukan aksi demo,” katanya kepada wartawan di Jayapura.
“Guru tersebut sudah kami mintai keterangan dan ternyata tidak mengeluarkan ujaran rasis,” kata Rudolf.
Menanggapi kerusuhan Wamena, Presiden Joko “Jokowi” Widodo di Jakarta mengatakan isu anarkis tersebut dipicu oleh hoaks.
"Saya minta masyarakat setiap mendengar, setiap lihat di medsos, kroscek dahulu, jangan langsung dipercaya karena itu akan ganggu stabilitas keamanan dan politik," tuturnya.
Menurut seorang saksi mata yang tidak mau disebut namanya, demo di Wamena awalnya berjalan damai sampai aparat melepaskan tembakan ke udara, yang hanya berjarak kurang dari 20 meter di depan anak sekolah.
“Tembakan berulang-ulang itu membuat anak SMA semakin terpancing emosi dan tidak dapat dikendalikan sehingga mereka mengamuk,” katanya.
Puluhan rumah dan sejumlah gedung pemerintah, termasuk kantor bupati Jayawijaya, dibakar massa.
Akibat kerusuhan itu, aktivitas di Bandara Wamena dihentikan sementara.
Kementerian Komunikasi dan Informatika mengatakan telah membatasi akses Internet di Wamena.
“Pemerintah memutuskan untuk melakukan pembatasan sementara layanan data telekomunikasi di wilayah Kabupaten Wamena, mulai Senin (23/9/2019) Pukul 12:30 WIT hingga suasana kembali kondusif dan normal.” Demikian siaran pers Kominfo, menambahkan bahwa masyarakat tetap bisa berkomunikasi menggunakan layanan suara/voice dan pesan singkat/SMS.
Kerusuhan ini adalah yang terbaru setelah Papua sempat tenang setelah sebelumnya diterpa sejumlah protes yang berakhir anarkis yang dimulai sejak 19 Agustus, sebagai tanggapan atas tindakan rasis yang diterima mahasiswa Papua di Jawa.
Pejabat pusat mengatakan lima orang tewas dalam kerusuhan saat itu di Papua sementara aktivis lokal mengatakan setidaknya 13 orang tewas.
Sementara itu polisi menetapkan hampir 100 orang sebagai terduga sehubungan dengan kerusuhan itu termasuk sejumlah aktivis pro-kemerdekaan Papua.
Bentrok di Jayapura
Kerusuhan di Jayapura melibatkan mahasiswa asal Papua yang telah kembali ke Papua dari tempat mereka kuliah di sejumlah daerah di Indonesia menyusul peristiwa rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pertengahan Agustus lalu.
Mereka ingin membuka pos di Universitas Cendrawasih namun dicegah oleh polisi.
“Ini mahasiswa-mahasiswa dari luar Papua (mahasiswa eksodus) yang tanpa izin dari pihak Uncen (Universitas Cenderawasih) mau mendirikan posko dan itu tidak dibenarkan. Jadi kami membubarkan agar keinginan mereka mendirikan posko tidak jadi dan proses perkuliahan di Uncen tidak terganggu,” kata Rudolf.
Setelah dibubarkan, mahasiswa kembali ke Posko Eksodus Mahasiswa di Expo Waena, yang sudah menjadi posko sentral mereka.
Namun ketika diangkut sampai di Expo Waena, aparat gabungan polisi dan TNI melarang mahasiswa untuk berkumpul di posko tersebut, demikian menurut saksi mata.
Lalu aparat membubarkan secara paksa sekitar pukul 11.40 waktu setempat dengan mengeluarkan tembakan dan gas air mata.
“Ketika kami sampai di Expo, Brimob ada dalam posko. Sehingga kawan-kawan minta mereka keluar dari posko tapi tiba-tiba terdengar bunyi tembakan,” kata seorang mahasiswa.
Menurut seorang saksi mata yang tinggal di sekitar Expo, setelah mahasiswa diturunkan di Expo, massa yang disebut sebagai Kelompok Nusantara sudah menunggu di seberang Expo dengan membawa senjata tajam sambil berteriak mengancam para mahasiswa.
“Mereka bawa parang, pedang dan berteriak ancam mahasiswa,” ujar saksi mata yang menolak disebutkan namanya.
Saat terjadi bentrok di Expo, seorang anggota TNI, Praka Zulkifli Al Karim, tewas karena luka tusuk.
Selain itu, tiga mahasiswa juga tewas, yang menurut Kadiv Humas Polri, Dedi Prasetyo, ada kemungkinan karena tembakan peluru karet.
Kepala Dinas Kesehatan Papua, Aloysius Giyai mengakui keempat jenazah korban dievakuasi ke RS Bhayangkara di Abepura. Selain itu, tambahnya, sekitar 10 mahasiswa juga terluka.
Dilarang meliput
Sementara itu, tiga jurnalis dilarang meliput aksi di Uncen oleh polisi karena dituduh sebagai wartawan dari “media provokator”.
Ketiganya adalah Hengky Yeimo (Jubi), Benny Mawel (kontributor The Jakarta Post) dan Ardi Bayage (suarapapua.com).
Menurut polisi yang melarang mereka meliput, Kapolres Kota Jayapura yang memberi perintah melarang ketiganya meliput aksi mahasiswa.
“Aparat kepolisian berteriak kepada kami, ‘mereka tiga wartawan Jubi, wartawan Jubi provokator, kalian tulis berita itu tidak seimbang,” kata Benny Mawel mengutip ucapan polisi.
Ketua AJI Papua, Lucky Ireeuw mengatakan bahwa larangan meliput oleh polisi sebagai tindakan menghalang-halangi pekerjaan jurnalistik.
“Intimidasi terhadap jurnalis bisa dijerat dengan pasal pidana KUHP dan Pasal 18 Undang-Undang Pers,” ujarnya.
Ahmad Syamsudin di Jakarta turut berkontribusi dalam laporan ini.