Pemberontak di Papua tewaskan guru dan lukai enam lainnya, tuduh korban sebagai mata-mata
2025.03.24
Jayapura

Seorang guru tewas dan enam lainnya terluka dalam serangan oleh pemberontak bersenjata pro-kemerdekaan di wilayah Papua yang bergolak di Indonesia, kata para pejabat, menandai kekerasan terbaru dalam pemberontakan yang sudah berlangsung puluhan tahun.
Serangan itu terjadi pada hari Jumat (21/3) di Yahukimo, sebuah kabupaten terpencil di dataran tinggi, ketika para penembak menyerbu kompleks perumahan untuk pendidik, menembaki dan membakar gedung-gedung, kata Esau Miram, wakil bupati Yahukimo.
Rosalia Rerek Sogen, seorang guru, tewas di tempat kejadian, sementara empat guru lainnya dan seorang petugas kesehatan terluka.
Miram mengatakan bahwa para korban telah dipindahkan ke Jayapura, ibu kota provinsi Papua, di mana mereka mendapatkan perawatan di Rumah Sakit Angkatan Darat Marthen Indey.
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), sayap bersenjata dari gerakan separatis, mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut.
Elkius Kobak, seorang komandan TPNPB di Yahukimo, menuduh bahwa para guru tersebut adalah petugas intelijen militer Indonesia yang menyamar.
“Pembunuhan ini dilakukan oleh pasukan kami atas perintah saya,” kata Kobak dalam sebuah pernyataan.
Kelompok pemberontak itu juga mengimbau orang Papua di daerah konflik untuk membunuh migran Indonesia, yang mereka sebut sebagai “militer dan polisi Indonesia yang bekerja sebagai guru dan tenaga medis.”
Pihak berwenang Indonesia segera membantah tuduhan itu, mengecam kekerasan tersebut sebagai serangan tidak terprovokasi terhadap warga sipil.
“Korban adalah pendidik dan tenaga medis—bukan mata-mata,” kata Kolonel Candra Kurniawan, juru bicara komando militer Papua. “Ini adalah upaya putus asa untuk membenarkan kebrutalan mereka. Masyarakat tahu kebenarannya.”
Candra menyebut TPNPB sebagai organisasi kriminal dan berjanji akan memberikan respons tegas.
Serangan ini menyoroti situasi keamanan yang rapuh di Papua, sebuah wilayah kaya sumber daya alam namun kurang berkembang di mana para separatis telah melakukan perang gerilya intensitas rendah sejak 1960-an.
Indonesia secara resmi mengambil alih kontrol atas Papua setelah referendum yang didukung PBB pada 1969 yang dianggap tidak sah oleh para aktivis Papua.
Jakarta telah lama mengerahkan personel militer ke desa-desa terpencil, dengan alasan kehadiran mereka sebagai bagian dari upaya pembangunan dan melawan pemberontakan. Namun, para separatis menuduh pemerintah menggunakan guru dan tenaga medis sebagai alat pemantauan dan kontrol—sebuah tuduhan yang dibantah oleh pejabat.
Kekerasan meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dengan pemberontak menargetkan pasukan keamanan, infrastruktur, dan warga sipil yang dituduh bekerja sama. Sebagai balasannya, Indonesia memperkuat jejak militernya, yang menyebabkan siklus balas dendam yang mengakibatkan ribuan orang mengungsi.
Kelompok hak asasi manusia mengatakan kedua belah pihak telah melakukan pelanggaran dan mendesak Jakarta untuk menangani keluhan melalui dialog daripada kekerasan, dengan mengutip keluhan lama tentang peminggiran politik dan pengabaian ekonomi.
Frits Ramandey, kepala kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Papua, menyebut serangan pada hari Jumat sebagai “tidak dapat dibenarkan menurut prinsip-prinsip hak asasi manusia.”
“Apa yang terjadi di Anggruk melanggar perlindungan hak asasi manusia yang mendasar,” kata Ramandey kepada BenarNews. “Ketika saya mengunjungi rumah sakit, saya melihat korban perempuan yang meninggal dengan mata kepala saya sendiri. Ini sangat disayangkan dan tidak dapat diterima.”