Tangkal Konten Radikal, Pemerintah Blokir Telegram
2017.07.14
Jakarta

Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah meminta kepada Internet Service Provider (ISP) untuk memblokir 11 Domain Name System (DNS) milik aplikasi Telegram karena diyakini sering dipakai kelompok teroris untuk menyebarkan konten radikal.
Dirjen Aplikasi Informatika Kemenkominfo, Semuel A. Pangerapan, mengatakan banyak kanal di layanan aplikasi pesan tersebut bermuatan propaganda radikalisme, terorisme, dan paham kebencian.
Telegram, lanjutnya, juga digunakan kelompok teroris untuk mengajarkan cara merakit bom, melakukan penyerangan, dan lainnya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Anggota kelompok teroris Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) diketahui banyak menggunakan aplikasi ini.
“Langkah ini dilakukan sebagai upaya untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)” kata Semuel, dalam keterangan tertulis yang diterima BeritaBenar, Kamis, 14 Juli 2017.
Telegram adalah aplikasi yang memungkinkan penggunanya mengirimkan pesan rahasia yang dienkripsi end-to-end sebagai keamanan tambahan. Tak hanya gambar dan video, pengguna juga bisa mengirim dokumen lain tanpa menetapkan besarannya. Pengguna juga dapat membuat grup dengan 5.000 anggota.
Adapun ke-11 DNS yang diblokir adalah t.me, telegram.me, telegram.org, core.telegram.org, desktop.telegram.org, macos.telegram.org, web.telegram.org, venus.web.telegram.org, pluto.web.telegram.org, flora.web.telegram.org, dan flora-1.web.telegram.org.
Pemblokiran itu telah mengakibatkan layanan Telegram versi website tidak bisa diakses. BeritaBenar yang mencoba membuka laman web.telegram.org tidak bisa diakses lagi. Tetapi, Telegram melalui gawai masih bisa diakses.
Menurut Semuel, aplikasi Telegram dapat membahayakan keamanan negara karena tak menyediakan SOP dalam penanganan kasus terorisme.
“Saat ini kami juga sedang menyiapkan proses penutupan aplikasi Telegram secara menyeluruh, apabila Telegram tidak menyiapkan SOP penanganan konten-konten yang melanggar hukum,” tegasnya.
Dia mengaku, pemblokiran itu telah dikoordinasikan dengan lembaga penegak hukum, termasuk Kepolisian Indonesia (Polri) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Pemblokiran itu juga disebut sesuai dengan Pasal 40 UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Terburu-buru
Pemblokiran Telegram mendapat reaksi dari berbagai kalangan. Sikap pemerintah itu dianggap mengambil jalan pintas dan terburu-buru.
Pegiat media sosial, Enda Nasution, menyebutkan seharusnya pemerintah menempuh beberapa tahapan terlebih dulu seperti peringatan kepada penyedia Telegram sebelum memutuskan untuk pemblokiran. Apalagi selama ini aplikasi itu dinilai banyak pengguna sangat bermanfaat.
“Harusnya ada pemberitahuan kepada pengguna dan penyedia aplikasi. Pemblokiran seharusnya menjadi langkah terakhir kalau pemberitahuan dan cara lain sudah dilakukan,” katanya kepada BeritaBenar.
Enda menilai, jika memang benar selama ini Telegram dijadikan jaringan teroris sebagai tempat merancang serangan atau menyebarkan paham radikal, pemerintah seharusnya dapat memanfaatkannya juga.
“Intelijen bisa masuk ke grup-grup Telegram yang dicurigai. Itu akan memudahkan untuk mengetahui rencana-rencana mereka, tidak dengan memblokir seperti ini,” ujarnya.
Untuk menangkal penyebaran konten radikal, kata Enda, pemerintah dapat menempuh berbagai cara, selain memblokir aplikasi. Misalnya dengan melawan lewat memproduksi konten anti-radikalisme dan menyebarkannya dengan lebih massif di media sosial.
“Selama ini, itu masih sangat kurang. Mestinya penyebaran konten radikal dilawan juga dengan konten anti-radikalisme. Memblokir hanya cara terakhir yang dapat dilakukan,” katanya.
Ketua Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Iman D. Nugroho, mengaku aplikasi Telegram sangat bermanfaat dan juga digunakan organisasinya untuk berkomunikasi dengan anggotanya di seluruh Indonesia melalui grup khusus.
Ia menilai pemblokiran itu sebagai bentuk kemalasan pemerintah dalam membendung penyebaran konten radikal.
“Ini ibarat karena ada tikus yang memakan padi di lumbung kita, lantas lumbungnya dibakar,” katanya kepada BeritaBenar.
“Ini langkah yang malas, padahal publik banyak mendapatkan manfaat dari aplikasi ini.”
Iman menambahkan pemblokiran Telegram sebagai bentuk kegagapan pemerintah dalam menjawab permasalahan penyebaran konten radikal di media sosial. Padahal media sosial yang ada dirasa sangat banyak manfaatnya bagi masyarakat.
“(Presiden) Jokowi dan anaknya juga menggunakan media sosial. Malah dia membuat akun video blog di Youtube dan disebarkan ke media sosial lainnya. Jadi menurut saya pemblokiran adalah tindakan yang sangat malas dan tidak menyelesaikan masalah,” paparnya.
Gagal pahami masalah
Peneliti terorisme dan intelijen Universitas Indonesia (UI), Ridlwan Habib, menilai bahwa Telegram hanyalah salah satu cara komunikasi kelompok ISIS.
Kemenkominfo, menurutnya, gagal memahami esensi masalah ISIS dan Telegram.
"ISIS punya banyak cara untuk berkomunikasi, dengan WA (WhatsApp), dengan Line, dan aplikasi media sosial lain. Jika itu diblokir, pemantauan intelijen jauh lebih sulit, " katanya saat dihubungi.
Menutup Telegram, tambahnya, justru akan menimbulkan resistensi dari masyarakat.
Direktur riset di Indonesian Terrorism Monitoring itu menilai, Menkominfo Rudiantara mendapat bisikan yang salah dari para pembantunya.
"Publik jadi marah pada pemerintah, suasana itu yang ditunggu ISIS, yakni saat rakyat marah pada negara, " kata Ridlwan.
ISIS, kata Ridlwan, tidak akan terpengaruh walaupun Telegram diblokir.
"Mereka pasti akan menemukan cara baru. Kemenkominfo tak menyelesaikan masalah terorisme, tapi justru memperkeruh suasana media sosial,” pungkasnya.