Pemerintah lantik penjabat gubernur di tiga provinsi baru Papua
2022.11.11
Jakarta dan Jayapura

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pada Jumat (11/11) melantik penjabat gubernur untuk memimpin tiga provinsi baru di Papua, kendati pembentukan daerah otonomi baru itu banyak dikecam warga dan aktivis karena dianggap akan meminggirkan suku asli dan memperparah konflik.
Tito mengambil sumpah Apolo Safanpo sebagai penjabat gubernur Papua Selatan, Ribka Haluk sebagai penjabat gubernur Papua Tengah, dan Nikolaus Kondomo sebagai penjabat gubernur Papua Pegunungan.
“Saya berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai Penjabat Gubernur Papua Selatan, sebagai Penjabat Gubernur Papua Tengah, sebagai Penjabat Gubernur Papua Pegunungan, dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,” kata ketiganya dalam pelantikan di Jakarta.
Ketiga penjabat gubernur, yang ditunjuk oleh presiden itu, memiliki latar belakang akademisi dan pejabat pemerintahan, ungkap situs Sekretariat Kabinet Indonesia.
Apolo Safanpo merupakan Rektor Universitas Cenderawasih; Ribka Haluk adalah Kepala Dinas Sosial, Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak, Pemerintah Provinsi Papua; sedangkan Nikolaus Kondomo adalah Kepala Kejaksaan Tinggi Papua.
Mereka akan menjabat paling lama selama setahun. Gubernur definitif akan dipilih melalui pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024.
Tito meminta tiga penjabat gubernur yang dilantik langsung mempercepat pembangunan.
"Kita harapkan dengan adanya provinsi baru maka rentang managemen pemerintahan, layanan publik, akan cepat,” kata Tito, menambahkan bahwa model pemekaran seperti pada Provinsi Papua Barat membuktikan pelayanan publik menjadi lebih cepat.
“Daerah-daerah yang terisolasi hampir terbuka semuanya," ujar Tito.
Menurut Tito, Presiden Joko “Jokowi” Widodo meminta agar ketiga daerah otonomi baru itu dipimpin langsung oleh orang asli Papua.
"Bapak Presiden dalam sidang tim penilai akhir sangat mengharapkan bahwa tiga penjabat itu adalah orang asli Papua, maka kita mencari para calon pemimpin yang bagus," ucap Tito.
Penolakan
Undang-undang tentang pembentukan tiga provinsi baru disahkan Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Juni.
Aktivis dan warga Papua menilai pengesahan RUU daerah otonomi baru dilakukan tanpa konsultasi dengan masyarakat asli dan merupakan taktik memecah-belah.
Undang-undang otonomi khusus untuk Papua yang disahkan tahun lalu memungkinkan pemerintah pusat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota di Papua tanpa persetujuan pemerintah provinsi dan Majelis Rakyat Papua.
Ribuan warga Papua telah melakukan aksi untuk menolak pembentukan provinsi baru.
Rencana pemecahan wilayah Papua sejak awal menghadapi penolakan di kota-kota utama di Papua seperti Jayapura, Wamena, Yahukimo, Timika, Nabire dan Lanny Jaya.
Di Yahukimo bahkan dua orang tewas dan enam lainnya luka karena ditembak aparat keamanan Indonesia saat aksi demo penolakan pemekaran pada 15 Maret.
“Kepentingan investor”
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua Imanuel Gobay menilai bahwa pemekaran tersebut akan menambah kepala daerah yang memiliki hak menerbitkan operasi perusahaan di atas tanah dan air adat Papua.
“Sesuai dengan analisa awal bahwa DOB (daerah otonomi baru) usulan sepihak Jakarta akan menjadi gerbang hadirnya investasi di atas tanah dan air adat Papua yang akan mengorbankan hak masyarakat adat Papua sebagaimana terjadi sebelumnya, baik di Provinsi Papua dan Papua Barat,” kata Gobay kepada BenarNews.
Menurut Gobay, hak masyarakat adat dijamin secara hukum di Indonesia sehingga pada praktiknya hak tersebut menjadi korban pasca diresmikan tiga provinsi baru.
“Jelas tujuan pembentukannya bukan untuk melindungi hak masyarakat adat namun justru untuk meloloskan kepentingan investor di atas hak masyarakat adat Papua,” kata Gobay.
Selain itu, kata dia, adanya tiga provinsi baru tersebut dijadikan legitimasi untuk menguatkan pendekatan keamanan di atas tanah air adat Papua yang akan melahirkan pelanggaran hak asasi manusia.
Aktivis hak asasi manusia Papua, Yones Douw, menegaskan pemekaran tersebut tidak bisa menyelesaikan akar masalah Papua. Dia menuduh pembentukan provinsi baru merupakan program Badan Inteligen Negara dan bukan permintaan masyarakat.
“Walaupun tiga provinsi disahkan dan dilantik penjabatnya tetapi pemerintah Indonesia buta melihat apa yang terjadi di tanah Papua dan operasi militer masih berlanjut di Kabupaten Nduga, Kabupaten Puncak Papua, Kabupaten Intan Jaya, dan masyarakat sipil Kiwirok,” kata Douw kepada BenarNews.
Douw menambahkan kontak senjata antara pasukan keamanan pemerintah dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) sedang terjadi di tanah Papua.
“Karena sulit menghadapi kekuatan TPNPB-OPM, sehingga pemerintah Indonesia menambah tiga provinsi dalam rangka militerisasi di tanah Papua,” kata Douw.
“Mengapa saya katakan demikian, nanti ada lima Panglima Kodam, lima Kapolda, batalion seluruh kabupaten, markas komando Brimob seluruh kabupaten, seluruh kekuatan militer akan dibuka di provinsi baru.”
Douw berargumen bahwa hal itu akan memperburuk pelanggaran hak asasi manusia, meningkatnya pembabatan hutan, semakin banyaknya penduduk non-Papua menguasai tanah Papua, dan meningkatkan kenakalan generasi muda serta kebencian terhadap pemerintah Indonesia.
“Pemekaran dan otonomi khusus tidak akan menyelesaikan masalah tetapi menambah masalah. Pemekaran adalah penambah korupsi sebab orang lama yang menduduki,” kata Douw.
Ones Suhuniap, Juru Bicara Komite Nasional Papua Barat, organisasi pro-referendum untuk penentuan nasib sendiri rakyat Papua, mengatakan peresmian tiga provinsi daerah otonomi baru hanya untuk kepentingan investasi dan demi kesejahteraan orang Indonesia non-Papua di sana.
“Di sisi lain pemekaran juga bagian dari praktik kolonialisme Indonesia di Papua dan tidak bermanfaat untuk orang asli Papua,” kata Suhuniap kepada BenarNews.
Suhuniap mengatakan yang mendapatkan manfaat dan keuntungan dari pemekaran itu orang non-Papua, terbukti dari dua dekade masa otonomi khusus pertama tahun 2001 sampai dengan tahun 2021.
“Orang Papua sudah menolak pemaksaan pengesahan otonomi khusus jilid dua dan pemekaran daerah otonom baru melalui Petisi Rakyat Papua yang tergabung 122 organisasi,” kata dia.