Pemerintah Dinilai Berlebihan Jika Jatuhkan Sanksi pada Eks-HTI

Sidang perdana uji materi Perppu Ormas yang diajukan HTI digelar Rabu.
Arie Firdaus
2017.07.25
Jakarta
170725_ID_HTI_1000.jpg Massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menggelar unjuk rasa untuk memprotes serangan Israel terhadap Palestina di Palu, Sulawesi Tengah, Juni 2014.
Keisyah Aprilia/BeritaBenar

Rencana pemerintah menjatuhkan sanksi kepada aparatur sipil negara yang tergabung dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dinilai sebagian pengamat sebagai hal tak beralasan.

"Berlebihan itu," kata pengamat politik dari Universitas Padjadjaran, Idil Akbar ketika BeritaBenar meminta tanggapannya, Selasa, 25 Juli 2017.

Menurut Idil, terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) yang berujung pada pembubaran HTI sudah cukup untuk menghadang laju kelompok tersebut.

"Karena secara de jure hubungan seseorang, entah aparatur sipil negara atau siapa pun dia, sudah terputus dengan HTI seiring terbitnya Perppu."

Penilaian tak jauh berbeda disampaikan pengamat politik dari Universitas Parahyangan, Asep Warlan, yang menyebut rencana sanksi itu sebagai tindakan membabi-buta.

Menurutnya, jika pemerintah bersikeras tetap menjatuhkan sanksi kepada eks-anggota HTI, masyarakat justru akan semakin tak percaya pada pemerintah.

"Jadi makin kuat dugaan bahwa Perppu tidak semata-mata menyasar HTI, tapi punya tujuan lain," tutur Asep.

Tetapi, penilaian berbeda disampaikan pengamat politik Universitas Gajah Mada, Erwan Purwanto, yang menyatakan pilihan untuk mundur dari posisi aparatur sipil negara bagi eks-anggota HTI sebagai perihal masuk akal dan wajar.

"Soalnya, kan, mereka disumpah untuk setia pada Negara Kesatuan Republik Indonesia," kata Erwan saat dihubungi, “nah, jika berbeda gagasan, bagaimana konsisten dengan sumpah tersebut?"

Rencana pemberian sanksi terhadap aparatur sipil negara yang terlibat HTI disampaikan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Asman Abnur di Istana Kepresidenan, Senin, 24 Juli 2017.

"Saya cari pasal yang melarang itu sekaligus undang-undang. Nanti kalau pasal menyatakan jelas, pasti ada sanksi," katanya kepada wartawan.

Pernyataan Asman itu setali tiga uang dengan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, dan Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi, Mohammad Nasir.

Dalam pidatonya di Institut Pemerintahan Dalam Negeri, pada Minggu, Tjahjo sempat mendorong aparatur negara yang terlibat di HTI untuk mundur, jika masih memegang paham anti-Pancasila.

"Kalau dia sudah anti-Pancasila, padahal tugas-tugasnya adalah menjabarkan sila-sila Pancasila," kata Tjahjo.

Begitu juga Nasir yang melontarkan dua pilihan kepada dosen dan pegawai negeri yang terlibat HTI, yakni meninggalkan organisasi tersebut atau tetap bergabung dengan HTI dengan syarat menanggalkan jabatan dosen yang diemban.

“Silakan keluar dari HTI dan tetap jadi PNS (Pegawai Negeri Sipil). Kalau tetap ingin di situ (HTI) harus keluar dari PNS,” kata Nasir seperti dikutip dari laman Tempo.co.

Bentuk Perundungan

Soal dorongan mundur dari posisi aparatur sipil negara bagi anggota HTI, juru bicara HTI Ismail Yusanto menilai sebagai bentuk perundungan (bullying).

"Mereka sudah berkontribusi juga terhadap negara ini. Jadi, saya menilai itu (desakan memilih) sudah terlalu jauh," kata Ismail kepada BeritaBenar.

Kuasa hukum HTI, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan pembubaran HTI seiring terbitnya Perppu Ormas di satu sisi telah menjadi sanksi bagi HTI.

Walhasil, ia menilai rencana sanksi dan dorongan memilih seperti yang disampaikan Tjahjo dan Nasir sebagai tekanan baru pemerintah.

"HTI sudah dibubarkan. Sudah tidak ada lagi secara hukum," kata Yusril seperti dilansir laman Detik.com.

"Kalau ada orang pemerintah tanya, pilih HTI atau aparatur sipil negra, itu bahlul sendiri."

Soal sanksi, Erwan berharap pemerintah berhati-hati agar tak tergelincir dalam insiden "pembersihan", seperti terjadi kepada pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) pasca insiden 30 September 1965.

Salah satunya, saran Erwan, dengan menerbitkan aturan tambahan yang mengatur pihak yang menanganai serta klasifikasi pengikut HTI yang bisa dikenai sanksi.

Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan berharap pemerintah tak memberi sanksi untuk eks-HTI.

“Saya kira zamannya sudah tak tepat,” kata Zulkifli yang juga Ketua Majelis Permusyawaratan Rakat, dikutip dari Detik.com.

Sementara itu politikus PDI-P, Eva Kusuma Sundari, enggan berkomentar perihal rencana sanksi. PDI-P adalah partai pendukung utama pemerintah. Hal serupa juga ditunjukkan juru bicara Kepresidenan, Johan Budi.

Namun keduanya menepis anggapan bahwa rencana pemberian sanksi tersebut sebagai wujud sikap represif pemerintah.

Sidang uji materi

HTI resmi dibubarkan pemerintah Rabu pekan lalu, menyusul terbitnya Perppu Ormas pada 10 Juli lalu. Salah satu beleid Perppu adalah melarang keberadaan ormas yang tak sejalan dengan konsep Pancasila.

HTI yang diperkirakan memiliki anggota hingga 2 juta orang di seluruh Indonesia ini memang menyuarakan pendirian khilafah atau konsep negara multinasional berdasarkan syariat Islam.

HTI melawan penerbitan Perppu itu dengan mendaftarkan Perppu tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk uji materi, Selasa pekan lalu.

Dalam pertimbangannya, Yusril menilai Perppu tersebut membahayakan perkembangan demokrasi di Indonesia lantaran memiliki ancaman hukuman pidana seumur hidup bagi pimpinan ormas.

Sidang perdana uji materi akan digelar, Rabu, 26 Juli 2017 dengan agenda pemeriksaan pendahuluan.

Perlawanan lain adalah tekanan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar menolak Perppu Ormas.

Sesuai aturan, DPR memang tak boleh merevisi Perppu yang diajukan pemerintah, tapi berhak menolak. Jika ditolak, maka aturannya kembali kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2013 tentang Ormas.

Hingga kini DPR belum menentukan sikap.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.