Pemerintah akan Verifikasi Puluhan WNI yang Gabung ISIS di Suriah
2019.03.28
Jakarta

Pemerintah sedang mengkaji keputusan terkait pemulangan warga negara Indonesia (WNI) yang bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), bersama ribuan petempur asing (FTF) dari berbagai negara, setelah kelompok teroris itu dikalahkan di Suriah.
Puluhan orang WNI terdiri dari anak dan perempuan kini dilaporkan berada di kamp pengungsian Al-Hol, di timur Suriah, setelah pertahanan terakhir ISIS di Baghouz, Suriah, berhasil direbut Pasukan Demokratik Kurdi (SDF), pekan lalu.
"Ada beberapa tahap sebelum pemerintah memberikan pelayanan sebagai WNI yakni kita harus memverifikasi apakah betul mereka merupakan WNI atau bukan," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Arrmanatha Nasir dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis, 28 Maret 2019.
Menurutnya, sebagian besar dari mereka saat ke Suriah sudah tidak memiliki dokumen yang resmi dan lengkap seperti paspor dan KTP.
Verifikasi tersebut akan melibatkan Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dengan konfirmasi berbagai pihak, termasuk keluarga.
"Mereka nanti akan menentukan yang mengidentifikasi apakah mereka dulu terlibat (ISIS) atau tidak, apakah WNI atau tidak, setelah itu baru kita tentukan apakah yang akan kita lakukan," jelas Arrmanatha.
Setelah itu, lanjutnya, mereka akan dianalisa kembali apakah mereka mau menerima deradikalisasi.
"Banyak tahapannya baik dilakukan di Suriah dan di Indonesia, bisa memakan waktu tiga bulan lebih, baru ditentukan apakah bisa kembali atau tidak," katanya.
Namun, kata dia, jika memang terbukti WNI, maka mereka memiliki hak untuk pulang ke Indonesia.
Sejak Januari 2019, sekitar 66.000 orang meninggalkan Baghouz, termasuk 5.000 kombatan dan 24.000 anggota keluarga ISIS, demikian dilaporkan oleh Tirto.id dari kamp pengungsian Al-Hol, tanpa menyebutkan sumber angka-angka tersebut.
Disebutkan juga, bahwa 50 orang diantaranya adalah WNI.
Satu dari mereka seperti terlihat di sebuah video di laman Tirto.id adalah Maryam Abdullah yang mengaku berasal Bandung, Jawa Barat, yang datang ke Suriah bersama suaminya, Saifuddin, dan empat anak mereka.
“Suami saya hilang, tidak ada kabar,” katanya. “Mungkin minta bantuan untuk bisa pulang ke negara asal kami, Indonesia.”
Pada 26 Februari lalu, jurnalis Hisham Arafat melalui akun Twitternya memposting video delapan anak-anak Indonesia yang baru dievakuasi dari Baghouz.
Menurut Hisham, ayah anak-anak tersebut masih bertempur bersama ISIS, sedangkan ibu mereka sudah tewas akibat serangan udara pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat.
Sulit
Arrmanatha menjelaskan situasi di Suriah dalam beberapa tahun terakhir tidak kondusif, sehingga akses kepada setiap WNI sangat sulit.
"Kita tidak bisa bayangkan operasional di Suriah itu seperti negara biasa. Mereka berada di tengah konflik," katanya.
Arrmanatha menambahkan tidak ada data akurat tentang jumlah WNI yang bergabung ISIS, namun sejak adanya repatriasi tahun 2012 - 2016 sebagian besar WNI sudah keluar.
"Kita deteksi ada beberapa masuk secara ilegal ke Suriah," ujarnya.
"Permasalahannya adalah waktu mereka pergi, mereka tidak melaporkan diri kalau akan ke Suriah untuk ikut ISIS atau tinggal di sana. Jadi yang bisa kita lakukan apabila ada WNI ke luar negeri harus lapor diri."
Sementara itu juru bicara BNPT, Irfan Idris, mengatakan pihaknya belum memutuskan langkah apa yang akan dilakukan terkait WNI tersebut karena masih menunggu keputusan dari Kemlu dan Kemenkopolhukam.
Berdasarkan data BNPT tahun 2017, terdapat 1.321 WNI yang bergabung dengan ISIS. Jumlah itu terdiri dari 594 WNI terdeteksi berada di Suriah dan Irak, termasuk 84 orang yang dinyatakan tewas.
Sementara 482 WNI dideportasi saat hendak memasuki Suriah, 62 WNI kembali dari Suriah dan 63 orang digagalkan berangkat ke Suriah di bandara Indonesia.
Sedangkan, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan November 2018 lalu bahwa sekitar 700 WNI bergabung dengan ISIS di Suriah dan Irak.
Dilema
Pengamat terorisme dari Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR), Adhe Bhakti, menilai pemerintah mengalami dilema dalam merespons hal ini; antara memilih aspek kemanusiaan atau keamanan.
"Bukan tindakan yang bagus membuat status orang stateless atau terkatung-katung," katanya kepada BeritaBenar.
Menurutnya, di antara mereka ada yang telah melepaskan paspor dan membakarnya, tapi ketika dalam keadaan tidak memungkinkan di sana, mereka berubah pikiran untuk pulang.
"Dari sudut keamanan ada yang terusik, karena mereka ini bukan orang yang main-main ke Suriah. Mereka memang sudah berniat bertempur di sana dan tingkat kekerasannya tinggi," ujarnya.
Adhe menambahkan, orang-orang yang telah berikrar untuk berubah ideologi adalah penghianatan bagi negara dan banyak yang menjual semua aset harta demi berangkat ke Suriah.
Kemungkinan untuk menjalankan aksi teror apabila mereka kembali ke Indonesia, kata Adhe, selalu ada.
"Jangankan yang pernah ke Suriah, yang belum pernah saja bisa melakukannya karena ada seruan ladang jihad di buka dimanapun. Terlebih lagi dalam kondisi marah, impian jihad di sana sirna, ekonomi di Indonesia jadi terpuruk," katanya.
Hal senada disampaikan Direktur Institut Analisis Kebijakan Konflik (Institute for Policy Analysis of Conflict/IPAC), Sidney Jones, dengan menyebut siapa saja yang sudah berada di Suriah untuk bergabung ISIS harus dilihat sebagai potensi risiko tindak terorisme.
"Demi alasan kemanusiaan, lebih baik mereka dipulangkan karena posisi mereka sangat sulit. Mereka ingin pulang dan pemerintah sebaiknya menolong warganya," katanya.
Namun, tambah Sidney, sebaiknya ada syarat tertentu sebelum mereka dipulangkan ke Indonesia seperti bersedia bertobat dan tidak kembali radikal.
"Harus ada satu program khusus untuk eks-kombatan. Program satu bulan di Kemensos tak cukup karena mereka harus diidentifikasi dari orang instansi yang bisa mendampingi, atau menjadi mentor mereka," pungkas Sidney.