Rencana Pemindahan Ibu Kota Direspons Perdebatan
2017.07.11
Jakarta

Pengamat memiliki respons berbeda sehubungan dengan semakin seriusnya pemerintah dalam wacana pemindahan ibu kota ke luar Jakarta yang ditandai dengan telah dilakukannya kajian kelayakan atas rencana tersebut.
Instruksi mengkaji lokasi baru untuk menggantikan Jakarta telah disampaikan kepada Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Hanya saja sampai saat ini lokasi pasti pengganti Jakarta belum ditetapkan, meskipun Palangka Raya yang merupakan ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah digadang-gadang sebagai ibu kota negara yang baru.
Soal kemungkinan akan memilih Palangka Raya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional dan Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, enggan memastikan.
"Enggak ada yang bilang ke Palangka Raya. Ada beberapa kandidat," katanya tanpa merinci lebih lanjut, kepada wartawan —termasuk BeritaBenar— di kantornya.
"Tim kami saat ini masih menganalisis kriteria wilayah dan ketersediaan lahan."
Bambang menargetkan kajian pemindahan ibu kota, termasuk estimasi biaya, bakal rampung tahun ini.
Perdebatan
Terkait rencana pemindahan ibu kota keluar Jakarta, pengamat tata kota Universitas Trisakti, Nirwono Joga, mengatakan pemindahan itu belum mendesak dilakukan.
"Butuh biaya besar. Musti bangun berapa gedung?" katanya kepada BeritaBenar.
"Kalaupun pemerintah benar-benar punya anggaran besar, lebih baik digunakan saja untuk perbaikan Jakarta dan pengembangan kawasan lain untuk mendukung Jakarta."
Sebagai pengganti rencana pemindahan ibu kota, Nirwono menyarankan penyebaran dan distribusi kegiatan di kota-kota besar Indonesia. Hal ini dilakukan agar beban yang terpusat di Jakarta bisa tersebar.
Ia mencontohkan Bandung yang dikonsepkan menjadi pusat pengembangan teknologi, Yogyakarta sebagai pusat seni dan budaya, dan Surabaya yang bakal dijadikan pusat kemaritiman.
"Itu lebih masuk akal," tegas Nirwono.
Adapun pengamat tata kota dari Institut Teknologi Bandung, Krishna Nur Pribadi, tidak mempermasalahkan jika ibu kota dipindah dari Jakarta, bahkan hingga ke Kalimantan.
"Kalimantan tempat yang tepat," katanya saat dihubungi.
Ia merujuk pada masih luasnya lahan yang tersedia di Kalimantan. Dengan luas 544.140 kilometer persegi wilayah yang dimiliki Indonesia, pulau itu hanya dihuni 14 juta jiwa.
Palangka Raya, tambah Krishna, wilayah yang terbangun bahkan baru 50 kilometer persegi dari total 2.400 km persegi.
Hanya saja, dia memberi catatan agar pemerintah betul-betul mempelajari rencana pemindahan ibu kota ini, sehingga tak membebani Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Merujuk pada APBN 2017, pendapatan negara ditargetkan Rp1.750 triliun, lebih sedikit dari estimasi total belanja negara yang mencapai Rp2.080 triliun. Sehingga, pemerintah memiliki defisit anggaran sebesar Rp330 triliun.
Sedangkan Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, dikutip dari laman Kompas.com, menilai pemindahan ibu kota tidak masuk akal saat kondisi negara yang tak memiliki uang seperti saat ini.
"Banyak proyek infrastruktur terancam mangkrak karena kesulitan dana. Jadi konsentrasi dulu-lah, enggak usah memikirkan pindah ibu kota," kata politisi Partai Gerindra tersebut.
Mengomentari hal tersebut, Bambang mengatakan akan merangkul pihak swasta dalam pemindahan ibu kota, agar tak membebani anggaran negara. Hanya saja, ia belum bisa merincikan teknis kerja sama yang siap ditawarkan.
"Masih dikaji mendalam," pungkas Bambang.
Rencana lama
Setelah tertunda bertahun-tahun, Pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo mulai serius mempertimbangkan pemindahan ibu kota negara.
Mencuatnya nama Palangka Raya sebagai calon ibu kota negara sejatinya telah ada semenjak era presiden pertama Indonesia, Soekarno. Ketika itu, dia berdalih Palangka Raya berada di tengah-tengah wilayah Indonesia.
Selain itu, untuk menjauhkan pengaruh era kolonial. Jakarta – yang kini berpenduduk sekitar 10 juta jiwa—pernah lama dikuasai Belanda.
Perihal agar ibu kota berada lebih di tengah-tengah negara, Bambang tak menampiknya. Tapi yang lebih penting, tambahnya, pemindahan ibu kota dipicu kondisi Jakarta tak lagi kondusif karena macet dan pemerataan ekonomi selama ini terpusat di Pulau Jawa.
"Beban Jakarta sudah terlalu berat. Tak hanya ibu kota, tapi juga sebagai pusat industri dan jasa," kata Bambang lagi.
Dalam perhitungan Dinas Perhubungan DKI Jakarta pada tahun 2016, kerugian akibat kemacetan di ibu kota ditaksir mencapai Rp150 triliun per tahun.
Angka ini lebih besar dari biaya pemindahan pusat pemerintahan Malaysia, dari Kuala Lumpur ke Putra Jaya yang sebesar USD 8,1 miliar atau Rp106,4 triliun pada 1999.
Tanda tanya warga
Wacana pemindahan ibu kota tak urung menuai tanda tanya sebagian warganya.
"Nanti keluarga saya bagaimana?" kata Kiki Sofia (31) kepada BeritaBenar, Selasa, 11 Juli 2017.
Bersama suaminya yang bekerja di sebuah perusahaan swasta di ibu kota, Kiki mendirikan rumah di Bekasi, salah satu kota penyangga Jakarta.
Ia sendiri bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Kementerian Pekerjaan Umum yang berkantor di Jakarta Selatan.
"Kalau kantor pindah. Saya harus pindah juga dong?" tambahnya.
Kiki bukan satu-satunya pegawai negeri sipil yang kini dalam kegamangan. Boy Eka (31) yang bekerja di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi di kawasan Jakarta Selatan memiliki kegagapan serupa.
Hal serupa mungkin juga dialami ribuan pengawai negeri sipil, yang bekerja di berbagai kementerian dan lembaga pemerintah pusat, terutama warga dari luar Jakarta.
“Engga tahu deh. Lihat nanti saja," ujar Boy singkat.