Aparat Selidiki 'Permufakatan Jahat Korupsi' Skandal Freeport

Dewi Safitri
2015.12.08
Jakarta
perempuan-anti-korupsi-620 Kelompok Perempuan Anti-Korupsi mengadakan latihan yoga sambil menuntut pengunduran diri Ketua DPR Setya Novanto terkait skandal dugaan pemerasan terhadap PT Freeport Indonesia, Taman Suropati, Menteng, Jakarta, 6 Desember 2015.
AFP

Raut muka presiden Joko Widodo nampak serius seperti biasa, Senin malam saat memberi keterangan pers setelah koordinasi final kesiapan Pilkada serentak di Istana Negara.

Namun dengan suara agak meninggi, kalimat yang kemudian muncul dari bibirnya menunjukkan kemarahan yang jarang muncul.

"Saya nggak apa-apa dikatakan presiden gila, presiden saraf, presiden koppig, nggak apa-apa. Tapi kalau sudah menyangkut wibawa, mencatut, meminta saham 11 persen, itu yang saya tidak mau. Nggak bisa!" seru Presiden Jokowi.

Pernyataan itu merupakan jawaban dari pertanyaan wartawan terkait berlangsungnya sidang Majelis Kehormatan Dewan (MKD) yang pada hari yang sama baru menyidangkan terlapor, Setya Novanto, Ketua DPR.

Sidang berlangsung tertutup dan menurut anggota MKD tak membawa hasil baru, kecuali pembelaan diri Novanto dan bantahan bahwa dirinya tak bersalah.

Dalam nota pembelaan setebal 12 halaman, Novanto mempersoalkan posisi hukum Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said yang melaporkannya pada MKD.

Ia juga mempersoalkan keabsahan rekaman percakapan dirinya yang dibuat Direktur Utama Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin.

Rekaman itulah yang mengungkap bagaimana Novanto antara lain menyebut Presiden koppig (keras kepala) dan berujung pada pencatutan namanya.

Sebagian publik mempercayai rekaman itu sebagai bukti Novanto melanggar kode etiknya selaku ketua DPR dengan membujuk Freeport memberi saham dengan mencatut nama Presiden dan Wapres.

Koordinasi kejar ‘MRC’

Meski MKD belum membuat kesimpulan apakah Novanto akan dijatuhi sanksi terkait dugaan pelanggaran etik, aparat telah menyelidiki perkara ini lebih jauh.

Jaksa Agung HM Prasetyo telah memeriksa Maroef Sjamsoeddin dan Sudirman Said, serta memegang bukti telepon genggam yang dipakai sebagai alat rekam.

Kesimpulan sementara penyidik, menurut Prasetyo, ada permufakatan jahat untuk melakukan upaya korupsi sebagaimana ditunjukkan dalam percakapan yang direkam Maroef (MS) antara Setya (SN) dan M Riza Chalid (MRC), seorang pengusaha yang disebut sebagai pebisnis kuat bidang migas.

Adalah Riza yang dalam rekaman itu mengusulkan permintaan saham sebesar 20% kepada Freeport, dengan alasan dibagi 11% untuk Presiden dan 9% untuk Wapres.

Riza juga yang menjelaskan rincian permintaan tentang pembiayaan proyek pembangkit listrik pada Freeport.

Kejaksaan seperti diberitakan sejumlah media lokal menyatakan sedang memburu Riza. Kepada situs berita Detik.com hari Selasa 8 Desember, Kapolri Jendral (Pol) Badrodin Haiti membenarkan telah dimintai bantuan agar Riza ditemukan.

Namun menurut Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly, Riza, yang belum berstatus sebagai tersangka, sudah empat hari berada di luar negeri.

Meski demikian, Kejaksaan sementara menyimpulkan kasus dapat dilanjutkan sebagai penyelidikan pidana karena ditemukan dugaan 'permufakatan jahat' sebagaimana dimuat dalam pasal 15 UU Tindak Pidana Korupsi No. 33/1999.

Namun pengamat hukum pidana Chairul Huda meragukan kesimpulan cepat ini.

"Kalau kita lihat peran MRC disitu besar sekali ya. Tapi ini belum periksa SN, belum (periksa) MRC bagaimana bisa langsung sampai pada kesimpulan mufakat jahat?" tukasnya.

Meski mendukung pengusutan lewat jalur hukum, Chairul juga berpendapat temuan mufakat jahat tidak tepat.

"Definisi permufakatan jahat itu kalau ada dua orang atau lebih setuju untuk berbuat jahat dalam hal ini tindak korupsi. Ini kan yang mengajak baru SN dan MRC, MS sementara bukan termasuk," kritik doktor hukum pidana termuda di Indonesia ini.

Tak campur tangan

Chairul mengingatkan aparat wajib menjaga independensi dalam mengusut kasus ini, mengingat kepentingan politik yang campur-baur didalamnya.

Dugaan pengusutan kasus dilakukan tergesa-gesa demi menjaga nama baik pemerintah Jokowi misalnya, menurut Choirul bisa muncul dari kesimpulan yang tergesa-gesa  diambil Jaksa Agung.

"Ingat, dia ditunjuk dari partai pendukung pemerintah. Dia sendiri juga dikaitkan dengan skandal korupsi (mantan Sekjen Partai Nadem) Rio Capella", tambah Chairul.

Hanya dengan melakukan penyelidikan sesuai aturan, menurut Chairul aparat dapat dipercaya akan menuntaskan kasus ini.

Meski nampak jelas Presiden Jokowi marah akibat kasus ini, Istana membantah mengerahkan aparat untuk mengebut pengusutan kasus.

"Presiden tidak intervensi, itu jelas. Dari awal pernyataannya selalu hormat pada proses di MKD," kata anggota tim Komunikasi Istana, Eko Sulistyo.

Eko mengakui presiden menunjukkan amarah yang jarang tampak dalam sikapnya sehari-hari sebagai bentuk kekesalan atas pencatutan namanya.

Eko tak menjawab apakah Presiden Jokowi juga meluapkan kemarahan pada pembantu dekatnya, Menko Politik Hukum dan Keamanan Luhut Panjaitan, yang dalam rekaman Novanto-Riza-Maroef, disebut hingga 66 kali.

Luhut sendiri mengaku tak mempersoalkan namanya dicatut.

Secara terbuka ia bahkan berkali-kali mengkritik langkah koleganya, Menteri ESDM, yang melaporkan dugaan pencatutan pada MKD.

Sementara itu dalam rapat kabinet di Istana Bogor yang berlangsung hingga Selasa sore, Presiden untuk kesekiankalinya memperingatkan kabinet agar memusatkan tenaga pada urusan kerja."Menteri fokus bekerja, jangan sibuk jadi komentator."

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.