Polisi Dianggap Punya Alasan Kuat Tangkap Aktivis atas Dugaan Makar

Kapolri Tito Karnavian pernah mengatakan polisi mendapat informasi akan ada pihak yang menyusup dan berpotensi menggulingkan pemerintah dalam demo 2 Desember.
Ismira Lutfia Tisnadibrata
2016.12.02
Jakarta
161202_ID_rachmawati_1000.jpg Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, berbicara dengan Rachmawati Sukarnoputri, adik mantan Presiden Megawati Sukarnoputri, saat berkunjung ke Jakarta, 25 Juli 2016.
AFP

Tindakan polisi menangkap 10 aktivis atas dugaan makar harus disikapi dengan pandangan hukum yang melihat apakah ucapan atau perbuatan mereka melanggar hukum sehingga polisi punya alasan kuat, kata pengamat politik.

Hal ini dikatakan Emrus Sihombing, pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan kepada BeritaBenar, menanggapi penangkapan yang dilakukan polisi di rumah-rumah kediaman mereka dan sebuah hotel di Jakarta Pusat, Jumat pagi, 2 Desember 2016.

“Kita harus jernih melihat masalah ini, jangan di pihak polisi atau di pihak yang ditangkap,” ujarnya.

Mereka yang ditangkap adalah Rachmawati Soekarnoputri, Mayjen Purn TNI Kivlan Zein, mantan politisi Sri Bintang Pamungkas, Brigjen Purn Adityawarman, aktivis Ratna Sarumpaet, musisi yang juga calon wakil walikota Bekasi Ahmad Dhani Prasetyo, ketua Gerakan Solidaritas Sahabat Cendana Firza Huzein, dan tiga aktivis lain, yaitu Rizal Kobar, Jamran, dan Eko Suryo,

Mereka telah ditetapkan sebagai tersangka dan diperiksa di Markas Komando Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, yang biasa digunakan untuk menahan para tersangka terorisme.

“Delapan dari mereka dikenakan pasal 107 junto 110 dan junto 87 Kitab Undang Undang Hukum Pidana dan dua orang dikenakan pasal 28 Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE),” ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Kombes (Pol) Rikwanto dalam jumpa pers.

Menurut polisi, mereka diduga merencanakan menggiring massa Aksi Bela Islam III yang digelar di pelataran Monumen Nasional (Monas), Jumat, menuju Gedung DPR/MPR.

Pasal 107 tentang makar mengancam hukuman pidana penjara maksimal 15 tahun untuk tindakan makar dan para pemimpin atau pengatur makar diancam hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara paling lama 20 tahun.

Sedangkan pasal 28 UU ITE berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)” dengan ancaman hukuman penjara paling lama enam tahun dan denda Rp1 milyar.

Sebelumnya pada 21 November lalu, Kapolri Tito Karnavian mengatakan polisi mendapat informasi akan ada pihak yang menyusup dan berpotensi menggulingkan pemerintah dalam Aksi Bela Islam III yang awalnya direncanakan pada 25 November 2016.

Dalam jumpa pers di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Senin lalu, Tito menegaskan pihak yang dimaksudnya bukan mereka yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI selaku motor penggerak aksi Bela Islam, untuk mendesak Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama ditangkap atas dugaan penistaan Alquran. 

Menurut Emrus, makar adalah upaya penuh tipu muslihat untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah dengan melakukan cara agar pemerintah tidak bisa melakukan fungsi-fungsinya sesuai undang-undang.

Terkait apakah mereka yang ditangkap itu mempunya pengaruh dan sumber daya untuk melakukan makar, Emrus mengatakan sebaiknya hal itu dipertarungkan di praperadilan.

“Bila mereka merasa tidak diperlakukan adil, silakan saja bertarung di praperadilan dan ranah hukum daripada berdebat di level yang abstrak,” ujarnya, “saya lihat polisi ada alasan kuat untuk melakukan (penangkapan) itu.”

Tapi, pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Chudry Sitompul, berpendapat mereka yang ditangkap belum bisa dibilang makar karena makar jika ada perbuatan persiapan.

"Saya kira mereka belum memenuhi syarat karena belum ada perbuatan permulaan," katanya seperti dikutip dari laman Tempo.co.

Makar, menurutnya, jika dalam proses pemakzulan itu menggunakan kekerasan fisik atau senjata seperti Gerakan Aceh Merdeka dan Organisasi Papua Merdeka.

Sidang istimewa MPR

Dalam sebuah video yang dapat diakses di YouTube dan diunggah 27 November lalu, Bintang sedang berorasi dalam sebuah acara mengatakan, “Suharto yang didukung militer saja bisa jatuh, masak Jokowi tidak bisa jatuh. Pasti bisa jatuh!”

“Kalau saudara-saudara bersatu, mari berbondong-bondong ke MPR, menuntut supaya MPR mencabut mandat Jokowi sebagai presiden. Cabut!" ujarnya dalam video tersebut.

Hari Kamis, 1 Desember, Rachmawati dan Ahmad Dhani berkata dalam jumpa pers bahwa mereka akan meminta MPR melakukan sidang istimewa untuk mengembalikan konstitusi UUD 45 ke versi asli karena versi yang sudah diamandemen dianggap terlalu liberal.

Ketua MPR RI Zulkifli Hasan mengatakan Rachmawati pernah meminta izin kepadanya untuk mengadakan aksi di depan gedung DPR/MPR.

"Iya, dia sering ke sini dan bicara juga aksi 2/12 (istilah lain untuk Aksi Bela Islam III). Dia minta aksi di sini setelah aksi di Monas," ujar Zulkifli seperti dikutip Beritasatu.com.

Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Neta S. Pane mengkritik penangkapan 10 aktivis tersebut dan mengatakan hal itu adalah wujud arogansi Kapolda Metro Jaya yang bertolak belakang dengan sikap Kapolri yang intens melakukan pendekatan dengan tokoh masyarakat menjelang aksi damai 2 Desember.

“Kapolda Metro Jaya tidak punya dasar hukum yang jelas dalam menangkap kedelapan tokoh itu. Jika Polda Metro Jaya menangkap mereka dengan alasan telah melakukan upaya makar, tolok ukurnya tidak jelas secara hukum,” ujar Neta dalam sebuah pernyataan.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.