AS: Satu Pendekatan untuk Semuanya Tidak Tepat untuk Atasi Ekstrimisme

TIdak ada satu pendekatan seragam untuk menanggulangi terorisme di Indonesia, Malaysia dan Filipina, namun ketiga negara bisa saling berbagi.
Zam Yusa
2018.04.13
Kota Kinabalu, Malaysia
180412-MY-extremism-620.jpg Pasukan Khusus berpartisipasi dalam latihan untuk memerangi terorisme menyusul diluncurkannya patroli udara trilateral Malaysia, Indonesia dan Filipina di pangkalan udara militer Subang di Petaling Jaya, Malaysia, 12 Oktober 2017.
AP

Pemerintah Asia Tenggara harus meningkatkan persiapan mereka untuk melawan ancaman Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) sehubungan dengan upaya kelompok ekstrimis itu membangun tempat perlindungan yang aman di kawasan tersebut menyusul kekalahan mereka di Suriah dan Irak, kata seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri AS.

Irfan Saeed, direktur Biro Penanggulangan Kekerasan Ekstrimisme (CVE), secara khusus menyebut Malaysia, Indonesia dan Filipina. Pada saat yang sama ia juga memuji upaya penanggulangan teroris ketiga negara, dalam konferensi melalui telepon minggu ini dari Washington dengan para wartawan di Asia.

"Kita perlu memahami baik penggerak global dan lokal dari kekerasan ekstrim itu karena situasi tidak sama di lapangan," katanya, menambahkan bahwa kelompok penggerak radikalisasi di Filipina berbeda dari yang di Indonesia atau Malaysia.

Saeed menekankan perlunya penelitian untuk mengidentifikasi penggerak ekstremisme kekerasan dan tidak menggunakan satu pendekatan untuk semua. Penelitian, menurutnya, adalah yang pertama dari lima pendekatan untuk memerangi CVE diikuti dengan pencegahan, deradikalisasi dan reintegrasi, bersama dengan pesan penanggulangan.

Dia memuji ketiga negara atas upaya yang sudah dilakukan untuk melawan ekstremisme.

"Malaysia melakukan kinerja CVE yang baik di sektor pendidikan dan dalam perspektif reformasi pemerintah serta dengan memiliki inisiatif seperti Pusat Regional Asia Tenggara untuk Penanggulangan Terorisme," katanya kepada wartawan dalam konferensi telepon hari Rabu itu.

"Filipina menjalankan program anti-ekstremisme jangka panjang sementara Indonesia cukup baik dalam memahami penggerak ekstremisme kekerasan tersebut."

Saeed memperingatkan bahwa kawasan itu harus tetap waspada, meskipun ISIS kehilangan wilayah di Irak dan Suriah.

"Pada saat ini tahun lalu saya pikir kita akan memfokuskan pada lebih dari 1.000 militan asing yang telah meninggalkan Asia Tenggara menuju Suriah dan Irak untuk bergabung dengan perjuangan ISIS," katanya.

"Setahun kemudian banyak kerja bagus yang dilakukan oleh mitra kami di Asia Tenggara, mitra kami di seluruh dunia, Koalisi Global, dan kabar baiknya adalah bahwa kita tidak berbicara tentang arus besar militan yang pergi ke Suriah dan Irak lagi."

Namun kabar buruknya, adalah ISIS sekarang mengincar bagian lain di dunia untuk melakukan operasinya, katanya.

“Mereka melihat berbagai belahan dunia, dan sayangnya saya pikir Asia Tenggara berada dalam radar mereka. Mereka mencari dengan sangat jelas tentang bagaimana membangun tempat aman di sepanjang mungkin Filipina Selatan dan bagian lain di Asia Tenggara. Jadi, ketika kita ingin melawan ekstremisme kekerasan dan melawan terorisme, penting untuk memastikan bahwa kita tidak memberi mereka ruang aman yang mereka butuhkan, ”kata Saeed.

Negara-negara juga perlu waspada terhadap ancaman bahwa ISIS dan kelompok militan lainnya "tidak menyusun kembali, tidak memperkuat, dan tidak terus menginspirasi orang lain untuk melakukan tindakan kekerasan," katanya, menambahkan Jemaah Islamiyah (JI) dan Abu Sayyaf jangan diizinkan untuk hidup.

"Kami tidak dapat membiarkan mereka tumbuh dalam kekesongan yang biasa digunakan ISIS," kata Saeed.

Saling belajar satu sama lain

Untuk melawan upaya tersebut, pejabat Departemen Luar Negeri Amerika itu mengatakan setiap negara memiliki sesuatu untuk ditawarkan kepada yang lain dan penting agar mereka belajar satu sama lain untuk mengatasi ancaman teror yang masih ada. Negara-negara juga bisa belajar dari inisiatif negara lainnya termasuk Uni Emirat Arab, Arab Saudi ,dan Inggris.

Negara-negara Asia Tenggara juga harus mengikuti jejak ISIS dalam menggunakna media sosial dan melawannya dengan media yang sama dengan mengintensifkan kampanye untuk mengusir kelompok militan, kata Saeed. I

Ia menambahkan bahwa ketika ISIS kehilangan kekuatan di Irak dan Suriah, kelompok itu telah menggunakan media sosial untuk membangun kilafah baru.

Di Malaysia, Mohamad Abu Bakar, seorang pensiunan analis keamanan internasional dari Universitas Malaya, mendukung pesan Departemen Luar Negeri AS tersebut. Berbagi praktek-praktek CVE terbaik di antara negara-negara Asia Tenggara diperlukan karena keadaan dan situasi yang unik, katanya.

“Apa yang cocok untuk Malaysia saat ini mungkin tidak dapat digunakan untuk Indonesia, misalnya,” katanya kepada BeritaBenar.

“Tetapi karena saling berbagi, Indonesia akan siap jika ada pengerak ekstremisme kekerasan di masa depan. Dan untuk penggerak seperti itu, orang Indonesia akan tahu cara mengatasinya berkat pelajaran dari negara lain yang memiliki pengalaman yang sama di masa lalu,” tambahnya.

Abu Bakar juga mengatakan bahwa negara-negara Asia Tenggara dapat belajar dari Timur Tengah dalam menangani konflik semacam itu.

"Keluhan dunia Arab, yang berakar pada zaman kolonial, telah lama berubah menjadi konflik dalam apa yang saya sebut 'zona krisis'," katanya. “Di Asia Tenggara, konflik kita baru saja dimulai, jadi kita juga bisa belajar dari pengalaman negara-negara Timur Tengah.”

Staf BeritaBenar di Washington ikut berkontribusi dalam laporan ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.