Pengadilan bebaskan dua aktivis yang dituduh mencemarkan nama baik Luhut
2024.01.08
Jakarta

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada Senin (8/1) membebaskan dua aktivis yang dituduh menghina dan mencemarkan nama baik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam sebuah siniar di Youtube tiga tahun lalu.
Majelis berisi tiga hakim berpendapat kedua aktivis yakni Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti tidak terbukti bersalah menghina Luhut, kala menyebutnya terlibat dalam bisnis tambang di Papua dalam podcast di akun YouTube milik Haris yang dipublikasikan pada Agustus 2021.
Dalam siniar berjudul “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya” tersebut, Haris dan Fatia menyebut Luhut terlibat bisnis tambang di Papua lewat perusahannya yakni Toba Sejahtera yang didapati bekerja sama dengan perusahaan asal Australia, West Wits Mining, yang menambang di Intan Jaya.
"Apa yang diperbincangkan bukan termasuk penghinaan... Bukan berita bohong sehingga terdakwa lepas dari dakwaan kedua," ujar hakim ketua yang dipimpin Cokorda Gede Arthana dalam pembacaan putusan Haris di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur.
Hakim anggota Muhammad Djohan Arifin menambahkan perbincangan pada siniar tersebut merupakan telaah atau analisa atas hasil kajian koalisi masyarakat sipil.
Jaksa dalam tuntutannya menilai kata “Lord” yang digunakan Haris dan Fatia mengandung makna negatif, namun hakim Djohan berpendapat frasa tersebut bukan dimaksud sebagai penghinaan nama baik.
"Bukan menggambarkan kata buruk, jelek, atau hinaan fisik, tapi merujuk pada status-status hubungan dengan kedudukannya," kata Djohan.
Majelis hakim juga memerintahkan untuk memulihkan hak dan martabat Haris dan Fatia.
Putusan bebas tersebut disambut pendukung Haris dan Fatia yang mengikuti persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Mereka yang berada di ruang persidangan terlihat berpelukan merayakan kebebasan keduanya, sementara ratusan orang lain yang mengikuti persidangan di luar gedung pengadilan mengangkat beragam poster, bertepuk tangan, dan meneriakkan, "Bebas... Bebas...!"
Jaksa sebelumnya menuntut hukuman empat tahun penjara untuk Haris Azhar dan penjara 3,5 tahun untuk Fatia.
Terkait putusan tersebut, jaksa penuntut akan mempelajarinya sebelum mengambil langkah hukum lanjutan. "Kami menyatakan pikir-pikir," ujar salah seorang jaksa.
Adapun Haris dan Fatia menerima putusan bebas tersebut. "Kan bebas. Menerima (putusan)," ujar Haris tatkala diminta tanggapan atas putusan oleh majelis hakim.
Luhut melaporkan Haris dan Fatia ke Kepolisian Daerah Metro Jaya pada 22 September 2021, sebulan setelah siniar dirilis.
Sepanjang proses hukum, Luhut sempat dua kali meminta Haris dan Fatia untuk meminta maaf, tapi keduanya menolak.
Dalam siniar tersebut, Haris dan Fatia membahas riset yang dirilis oleh Walhi, JATAM, Greenpeace, Yayayan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, KontraS, Bersihkan Indonesia, da Trend Asia.
Riset tersebut mengkaji perihal keterkaitan antara operasi militer ilegal dan industri tambang di Papua dengan menggunakan kacamata ekonnomi-politik. Riset tersebut mendapati bahwa terdapat dua dari empat tambang di Intan Jaya yang teridentifikasi terhubung dengan militer dan polisi, termasuk Luhut.
Luhut juga sempat hadir di persidangan sebagai saksi pelapor dan mengaku tidak menyukai panggilan 'Lord'.
"Kerugian materiel tidak perlu dihitung tapi secara moral. Anak-cucu saya, saya dibilang penjahat. Saya dibilang lord. Coba saya menuduh Anda sebagai penjahat, sebagai pencuri, itu Anda tidak bisa terima juga," ujar Luhut kala itu.
Preseden baik
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai putusan bebas terhadap Haris dan Fatia dapat menjadi preseden baik dalam kebebasan berpendapat di Indonesia.
"Ini pesan jelas dari hakim bahwa kebebasan pendapat itu dijamin. Orang tidak boleh lagi takut sampaikan kritik kepada pejabat publik dan pejabat publik juga tidak boleh antikritik," kata Isnur kepada BenarNews.
Menurutnya, majelis hakim yang menyidangkan perkara Haris dan Fatia telah berani dan tegas karena berpegang pada bukti-bukti yang dihadirkan di persidangan seperti bukti surat-menyurat dan komunikasi antara perusahaan Luhut yakni Toba Sejahtera dengan perusahaan Australia, West Wits Mining, yang menambang di Intan Jaya.
"Kami mengapresiasi kepada hakim yang menjahit bukti di persidangan, bahwa memang Luhut bisa dibilang bermain dalam pertambangan," lanjut Isnur.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Ismail Hasani, menyampaikan hal senada. Ia mengatakan bahwa putusan majelis hakim itu dapat menjadi pedoman bagi aparat kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan dalam merepons laporan- delik penghinaan, pencemaran nama baik, dan sejenisnya di masa mendatang.
"Ini harus jadi yurisprudensi yang kokoh sebagai pelindung kebebasan berpendapat. Apalagi yang dikritik adalah pejabat publik atau institusi negara yang memang sahih untuk dikritik," ujar Ismail kepada BenarNews.
Begitu pula pernyataan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebut putusan bebas ini membawa harapan baru di tengah masih maraknya intimidasi dan kriminalisasi atas kritik terhadap pemerintah.
"Vonis ini harus memberikan pesan jelas kepada penegak hukum. Kritik tidak boleh dibungkam," ujarnya kepada BenarNews.
Masih banyak korban lain
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Nur Ansar menambahkan sampai akhir 2023 masih terdapat korban-korban kriminalisasi seperti Haris dan Fatia.
Ia merujuk sejumlah pesakitan seperti Bintatar Sinaga yang didakwa menghina mantan pejabat pada suatu kampus dan dijerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
Ansar menilai penggunaan UU ITE dalam kasus itu sangat janggal karena Bintatar bahkan menyampaikan kritiknya melalui orasi di muka umum, bukan melalui media sosial.
Adapula kasus aktivis lingkungan Pulau Karimunjawa, Daniel Frit, yang ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat UU ITE karena mengkritik tambak udang yang merusak lingkungan.
"Ke depannya, pertimbangan majelis hakim dalam putusan Haris dan Fatia perlu menjadi preseden kasus-kasus tadi," ujar Ansar kepada BenarNews.
Merujuk catatan KontraS, masih terdapat sejumlah pelanggaran oleh pemerintah dan aparat hukum terhadap pegiat sosial sepanjang 2023, dengan kasus terbanyak berupa pengerahan kekuatan berlebih oleh aparat yang mencapai 39 kasus.
Ada juga laporan serangan psikis (36 kasus), penangkapan sewenang-wenang (30), kriminalisasi (25), serangan fisik (19), serangan digital (7), dan tindakan pelarangan kebebasan berekspresi (4).
Terkait putusan bebas Haris dan Fatia, Luhut menyayangkan langkah majelis hakim yang disebutnya tidak mempertimbangkan sejumlah fakta dan bukti penting yang ada di persidangan. Hanya saja, ia tak merinci bukti penting yang diabaikan tersebut.
"Kami menyayangkan bahwa ada beberapa fakta dan bukti penting selama persidangan yang tampaknya tidak menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan oleh majelis hakim," ujar Luhut dikutip dari Tempo.co.