Pengadilan HAM bebaskan mantan perwira yang didakwa dalam kasus Paniai 2014
2022.12.08
Jakarta

Persidangan Hak Asasi Manusia di Pengadilan Negeri Makassar pada Kamis (8/12) menyatakan seorang mantan anggota TNI tidak bersalah dalam kasus penembakan warga sipil di Papua yang menewaskan empat orang tahun 2014, kendati hakim mengakui peristiwa itu merupakan pelanggaran hak asasi manusia berat.
Majelis hakim menyatakan pensiunan mayor Isak Settu, mantan perwira penghubung Koramil Enarotali di Kabupaten Paniai, tidak layak bertanggung jawab atas peristiwa tersebut dan harus dibebaskan.
Jaksa sebelumnya menuntut Isak divonis 10 tahun penjara dalam kasus Paniai.
“Berdasarkan uraian tugas Pabung (perwira penghubung), terdakwa tak ada kewenangan kendalikan pasukan. Terdakwa tidak punya kewenangan komando militer di Enarotali,” kata ketua majelis hakim Sutisna Sawati dalam persidangan yang disiarkan melalui YouTube Pengadilan Negeri Makassar.
“Unsur komando militer tidak terpenuhi sehingga terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan,” kata Sutisna.
Dua dari lima anggota majelis hakim memberikan dissenting opinion atau pendapat berbeda dan menyatakan Isak bertanggung jawab karena dia perwira paling senior saat kejadian.
Selain empat korban tewas, peristiwa Paniai yang terjadi 7-8 Desember 2014 juga melukai 17 warga sipil lain.
Isak, 64, yang mengenakan batik lengan pendek bercorak merah dan celana panjang hitam hanya terdiam sepanjang hakim membacakan putusan. Tangisnya baru pecah seusai hakim mengetuk palu menutup persidangan.
"Saya sangat bersyukur Tuhan menolong saya. Semoga tidak ada lagi kasus seperti ini, menuntut (orang) yang sepantasnya tidak dihakimi," ujar Isak, dikutip dari Suara Sulsel.
Isak merupakan satu-satunya tersangka dalam kasus ini. Ia tidak ditahan sepanjang menjalani persidangan.
Dalam pembelaan yang dibacakan pada 28 November lalu, Isak mengatakan tuduhan jaksa terhadapnya terlalu dipaksakan. Ia pun merasa difitnah karena masih ada sosok lain yang lebih layak dijadikan tersangka dalam kasus Paniai.
Jaksa penuntut menyatakan mereka berencana mengajukan kasasi setelah menerima berkas putusan dan menelaahnya, kata Juru Bicara Kejaksaan Agung Ketut Sumedana.
"Kami pelajari dan telaah apa yang sebabkan perkara ini bisa bebas. Jika sudah pasti bagaimana, nanti ada upaya hukum kasasi," kata Ketut kepada BenarNews.
Keluarga korban tuntut pemerintah selidiki ulang
Juru bicara keluarga korban Paniai Yones Douw mengaku tak kaget dengan putusan bebas kepada Isak. Pasalnya sejak awal kejaksaan terlihat tidak serius karena hanya menetapkan seorang tersangka dalam perkara ini.
"Dari awal proses (hukum) tidak memihak keluarga. Untuk itu, kami menuntut pemerintah menyelidiki ulang (kasus Paniai)," ujar Yones kepada BenarNews.
Para keluarga korban Paniai tidak hadir secara langsung dalam pengadilan tersebut.
“Kami keluarga korban dan korban (jika) menghadiri pengadilan juga tetap kami tidak bisa dihargai sebagai manusia itulah sebabnya kami menolak hadir, karena pengalaman pengadilan pelanggaran HAM sebelumnya di Papua,” demikian pernyataan keluarga korban yang diterima BenarNews.
Dalam pertimbangan yang menyatakan peristiwa Paniai sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, majelis hakim berpendapat bahwa TNI dan Polri yang ada di lokasi kejadian telah bertindak tidak proporsional menangani protes warga.
Anggota Koramil 1705-02/Enarotali, misalnya, disebut hakim didapati menembakkan senjata berpeluru tajam ke arah massa meski mengetahui bahwa mereka yang hadir tidak membawa senjata api. Fakta itu didapat dari pemeriksaan sejumlah saksi di persidangan.
Bahkan saat massa kabur usai senjata meletus, seorang anggota koramil mengejar warga dan menusuknya dengan pisau sembari meneriakkan “mati kau”.
Adapula tentara yang menembak dua orang yang berupaya kabur dengan memanjat pagar Bandar Udara Enarotali, kata hakim anggota Siti Nurlela.
"Ada serangan bersama-sama yang mengakibatkan empat orang meninggal dan memberikan trauma bagi korban dan keluarga korban," kata Siti dalam persidangan.
"TNI/Polri telah bertindak tidak proporsional karena mereka tahu bawa pendemo tidak membawa senjata api, tapi melakukan serangan langsung sehingga unsur pembunuhan terhadap warga sipil dan tindakan sistematis terpenuhi secara hukum."
“Vonis aneh”
Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah menilai majelis hakim telah memutus harapan keadilan bagi korban dan keluarga korban seiring vonis bebas untuk Isak.
"Proses pembuktian tidak berjalan maksimal karena ketiadaan partisipasi aktif dari saksi korban dan keluarga. Tidak transparan sehingga menyebabkan ketidakpercayaan terhadap peradilan ini," kata Anis kepada BenarNews.
Sebelum akhirnya mulai disidang pada 21 September lalu, kasus Paniai sempat tertahan bertahun-tahun. Kejaksaan Agung beberapa kali mengembalikan berkas penyelidikan ke Komnas HAM dengan alasan berkas perkara belum lengkap, sampai akhirnya dinyatakan lengkap 6 April 2022.
Dalam investigasinya, Komnas HAM yang tergabung ke dalam tim investigasi bentukan Presiden Joko Widodo pada 2014 menyatakan bahwa kasus Paniai tergolong pelanggaran HAM berat.
"Jaksa Agung harus segera menindaklanjuti putusan ini dengan memproses hukum kembali pelaku yang memiliki tanggung jawab komando dalam kasus Paniai sesuai hasil penyelidikan Komnas HAM," ujar Anis.
Beberapa pihak yang dinilai bertanggung jawab dalam peristiwa Paniai sesuai penyelidikan Komnas HAM yakni komandan pasukan Angkatan Udara di Bandara Enarotali, komandan Brimob dan Dalmas Paniai, komandan Koramil dan Timsus 753, serta Kopassus.
Sejalan dengan Anis, pegiat HAM Amirudin Al Rahab juga mendesak kejaksaan untuk kembali menyidik kasus Paniai.
"Naik banding pun saya kira keputusan akan terus bebas. Jadi jaksa harus bersedia melakukan penyidikan ulang dari awal," kata Amirudin yang juga mantan komisioner Komnas HAM yang terlibat dalam investigasi perkara Paniai.
Anggota Koalisi LSM HAM Paniai Berdarah, Latifah Anum Siregar, menilai majelis hakim menjatuhkan vonis aneh dalam perkara Paniai lantaran bersepakat telah terjadi pelanggaran HAM berat, tapi tidak memutuskan siapa yang bertanggung jawab.
"Ini aneh. Terbukti ada pembunuhan dan serangan terhadap masyarakat sipil secara sistematis, seharusnya pelakunya juga ada," kata Latifah kepada BenarNews.
"Masih banyak yang bisa dicari seperti pelaku lapangan dan pembuat kebijakan. Setidaknya, dua tingkat di atas pelaku lapangan bisa kena," pungkas Latifah.
Merujuk kronologis yang disusun Kejaksaan Agung, insiden Paniai bermula dari seorang anggota TNI yang mengendarai sepeda motor hampir menabrak warga yang meminta sumbangan di jalan pada 7 Desember 2014, yang memicu adu mulut.
Anggota TNI itu kemudian mengajak rekan-rekannya untuk mendatangi warga peminta sumbangan dan berujung pemukulan terhadap warga.
Memprotes insiden tersebut, keesokan harinya sekelompok warga kemudian memalang jalan di titik pemukulan. Kepolisian setempat sempat bernegosiasi dengan warga, tapi situasi kian memanas tatkala seorang anggota TNI yang ikut mengamankan aksi berteriak memaki ke arah warga.
Tak lama, rentetan 5-6 tembakan terdengar dari salah satu sudut jalan. Berdasarkan laporan Kejaksaan, tembakan berasal dari anggota Satgas Yonif 753/AVT.
Warga kemudian melancarkan protes di markas Koramil 1705-02/Enarotali. Beberapa di antaranya memanjat pagar Koramil, tapi dibalas tentara dengan melepas tembakan ke arah massa.