Menanti Keadilan Ekologis atas Kebakaran Hutan Riau

Dina Febriastuti
2016.07.12
Pekanbaru
16071-ID_Forestfire_1000.jpg Hakim Ketua Pengadilan Negeri Pangkalan Kerinci, I Dewa Gede Budhi D. Asmara (tengah, bersafari) memimpin sidang lapangan kasus kebakaran lahan di area konsesi PT Langgam Inti Hibrindo, Kabupaten Pelalawan, Riau, 26 April 2016.
Dina Febriastuti/BeritaBenar

Suasana berubah sedikit riuh setelah ketua majelis hakim yang menyidangkan kasus pidana lingkungan karena kebakaran lahan PT Langgam Inti Hibrindo (LIH) membebaskan terdakwa Frans Katihokang dari segala tuntutan jaksa.

Para pengunjung sontak mengeluarkan ejekan “huuu...” begitu hakim ketua, I Dewa Gede Budhi Dharma Asmara menyatakan Manajer Operasional/Administratur PT LIH tak terbukti melakukan tindak pidana seperti didakwakan.

Frans tak menunjukkan ekspresi yang berarti. Ia menundukkan kepala dan mulutnya terlihat seperti melafalkan kata “amin” saat hakim memvonisnya bebas.

Momen itu terjadi 9 Juni 2016 lalu di Pengadilan Negeri (PN) Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau. Perkara tersebut ialah kasus hukum pertama yang mendakwa perusahaan dalam kebakaran lahan dan hutan (karlahut) besar-besaran di Riau, Agustus hingga Oktober 2015.

18 perusahaan

Made Ali dari Riau Corruption Trial (RCT), lembaga pemantau peradilan di Riau khususnya pada isu lingkungan dan korupsi, menyebutkan ada 18 perusahaan yang sempat diproses hukum terkait kasus-kasus karlahut pada Agustus - Oktober 2015.

“Namun hanya ada dua perusahaan yang kasusnya sampai ke pengadilan, yakni PT LIH dan PLM (Palm Lestari Makmur). Keduanya sudah divonis. Tapi, satu perusahaan mendapat putusan bebas murni,” jelas Made, merujuk pada PT LIH.

Direktur PT PLM, Iing Joni Priyana, dan Plantation Manager, Edmond Jhon Pereira, dihukum masing-masing tiga tahun penjara serta denda sebesar Rp2 miliar dengan subsider tiga bulan penjara, dalam kasus karlahut yang disidangkan PN Rengat di Kabupaten Indragiri Hulu pada 29 Juni lalu.

Dari 18 perusahaan yang disidik Kepolisian Daerah Riau pada akhir 2015, sejauh ini baru ada lima tersangka. Tapi yang sampai ke pengadilan, hanya empat orang dari dua perusahaan tersebut.

Dari vonis “terkesan hakim condong berpihak ke perusahaan. Apalagi, saat sidang lapangan hakim memanfaatkan fasilitas mobil dari perusahaan. Padahal, dana untuk sidang lapangan tersedia,” ujar Made.

Tak memenuhi rasa keadilan

Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Woro Supartinah menilai, putusan hakim dalam kasus karlahut yang melibatkan korporasi cenderung tidak memenuhi rasa keadilan ekologi dan tak menimbang dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

“Ini dibuktikan dengan putusan yang lebih rendah dari tuntutan JPU (jaksa penuntut umum). Denda perbaikan lingkungan tak sepadan untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan,” ujarnya kepada BeritaBenar, Senin, 11 Juli 2016.

Menurut Woro, sejauh ini tak ada hakim yang secara khusus menghukum perusahaan untuk memulihkan kerusakan ekologi akibat karlahut. Padahal, perbaikan ekologi sangat penting agar kondisi alam dapat diupayakan kembali seperti semula.

Pakar hukum dari Universitas Riau, Erdianto, sepakat bahwa tiada keseriusan penegakan hukum di bidang lingkungan dengan menitikberatkan hukuman terhadap kewajiban agar memulihkan ekologi lahan bekas terbakar, menunjukkan pemahaman aparat terhadap hukum lingkungan belum seragam.

“Mestinya, semua penegak hukum satu suara. Lebih ditekankan bagaimana kondisi di lahan bekas kebakaran itu pulih kembali. Tak perlu hukuman penjara. Penjara justru memberatkan pemerintah, dalam hal anggaran,” katanya.

“Jauh lebih penting perusahaan mengembalikan keadaan dan memberi kompensasi kepada rakyat yang terkena dampak atas kerugian ekologis,” tambahnya.

Seperti diketahui bahwa selain di Riau, karlahut juga hampir merata terjadi di semua daerah Pulau Sumatera. Beberapa provinsi di Kalimatan juga terjadi karlahut pada tahun lalu.

Bencana kabut asap

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pernah menyebutkan bahwa luas lahan yang terbakar tahun 2015 di Sumatera dan Kalimantan mencapai 1,7 juta hektar.

Akibat karlahut itu telah membuat bencana kabut asap selama beberapa bulan hingga ke Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina. Beberapa daerah di Indonesia terpaksa harus meliburkan sekolah dan banyak penerbangan dibatalkan.

Bank Dunia pada Desember 2015 menyebutkan akibat karlahut 2015, Indonesia mengalami kerugian hingga US$15,72 miliar atau setara Rp221 triliun. Angka itu dua kali lipat dari dana untuk membiayai rekonstruksi Aceh paska tsunami tahun 2004.

Tahun ini, karlahut mulai terjadi di sejumlah lokasi di Sumatera dan Kalimantan meski belum separah tahun 2015. BNPB dalam pernyataan tertulis 3 Juli lalu, menyebutkan terdapat 288 titik panas dengan rincian 245 hotspot di Sumatera dan 43 titik api di Kalimantan.

Proses hukum mandek

Polda Riau saat dikonfirmasi mengenai kelanjutan proses hukum kasus karlahut tak bersedia memberi keterangan. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Riau, Guntur Aryo Tedjo tak mau menjawab pertanyaan tentang penanganan kasus karlahut yang terjadi tahun lalu, meskipun surat resmi sudah dilayangkan.

Mandeknya proses hukum kasus karlahut, ujar Made, memunculkan rasa penasaran rakyat. Masyarakat masih menanti keadilan ekologis bagi siapapun yang bertanggung jawab dalam kasus-kasus kebakaran hutan di Riau.

“Harapan kita tentu hukum benar-benar ditegakkan sehingga tak ada lagi teriakan ‘huuu...’ sebagai wujud kekecewaan rakyat yang menginginkan keadilan,” pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.