Pakar: Penggunaan Perempuan, Strategi Baru Terorisme di Indonesia
2016.12.16
Jakarta

Munculnya perempuan yang disiapkan sebagai calon pembom bunuh diri di Indonesia dilihat pengamat sebagai strategi baru kelompok teroris dalam mencapai tujuannya.
Pakar terorisme dari Universitas Indonesia, Ridlwan Habib, menjelaskan meski selama ini perempuan sering jadi martir di beberapa negara Timur Tengah, Dian Yulia Novi (27) yang ditangkap Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88 Sabtu pekan lalu adalah perempuan pertama yang dipersiapkan sebagai pembom bunuh diri di Indonesia.
“Ini modus baru dan strategi cerdas dari Bahrun Naim yang mencari kelemahan aparat keamanan,” katanya saat dihubungi BeritaBenar, Jumat, 16 Desember 2016.
Bahrun Naim adalah warga Indonesia yang menjadi salah satu pemimpin ISIS di Suriah. Dia, menurut polisi, adalah dalang teror di Jakarta 14 Januari lalu yang menewaskan delapan orang, termasuk keempat pelaku.
Penggunaan perempuan juga dilihat sebagai mudah mengecoh aparat keamanan, selain alat provokasi agar pria lebih berani melakukan aksi teror, demikian disampaikan sejumlah pakar.
Mengecoh aparat dan provokasi
Menurut Ridlwan, persepsi orang selama ini pengebom adalah laki-laki dengan tas punggung, sehingga menggunakan kaum hawa bisa mengecoh aparat keamanan yang tak akan mengira kalau pelaku adalah perempuan.
“Ditambah lagi, jika perempuan membawa tas jinjing dan mengenakan jilbab, sehingga akan sulit mengidentifikasi screening saat banyak orang berkumpul,” katanya.
Deputi II Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Arif Darmawan, mengatakan bahwa selama ini perempuan sering dianggap makhluk tidak berbahaya.
“Orang pasti mikirnya perempuan nggak tega melakukan tindakan keras. Selama ini mereka memang berniat berbuat teror tanpa diketahui aparat. Itu kan namanya mengecoh,” katanya saat dikonfirmasi.
Sementara itu Harits Abu Ulya, direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), mengatakan perempuan bisa dieksploitasi di internal jaringan teroris untuk menyinggung laki-laki.
“Pengantin wanita dapat menjadi amunisi baru untuk memantik keberanian para lelaki pengikut ISIS (Negara Islam Iran dan Suriah) yang sedang ‘tidur’ menunaikan amaliyah,” kata Harits.
“Pengantin” adalah istilah jaringan teror bagi calon pelaku bom bunuh diri. Sedangkan, amaliyah merupakan tindakan melakukan aksi bom bunuh diri.
Pendapat hampir sama diungkapkan peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi yang menyebutkan perempuan cenderung lebih berani dan total dalam bersikap.
Pelaku perempuan, tambahnya, biasanya salah jalur dan terekrut oleh kelompok teroris karena mengagumi seseorang sehingga terpengaruhi dan perilaku berubah drastis.
“Mereka tak ragu memilih cara ekstrim yang diyakini sebagai kebahagiaan,” kata Fahmi kepada BeritaBenar.
“Ekspektasinya, ‘jadikan bidadari para syuhada di surga nanti.’ Kira-kira begitu. Mereka dibutakan oleh obsesi.”
Empat perempuan
Menurut polisi, Dian, perempuan bercadar yang pernah menjadi tenaga kerja di Singapura dan Taiwan itu, disiapkan untuk melakukan bom bunuh diri di depan Istana Kepresidenan pada Minggu, 11 Desember 2016, saat pergantian pasukan pengamanan presiden. Polisi juga menyita bom seberat 3 kilogram yang dirakit dalam panci, di rumah kostnya.
Sehari setelah penangkapan Dian, polisi menangkap Arinda Putri Maharani (25) istri pertama Muhammad Nur Solihin yang disebut polisi sebagai otak pelaku bom panci. Arinda diduga mengetahui dan merahasiakan rencana pembuatan bom panci itu. Ia juga disebut fasilitator penerima dana pembuatan bom.
Kamis dini hari, polisi menangkap Tutin alias Ummu Abza di Tasikmalaya, Jawa Barat, seperti dikutip di The Jakarta Post. Tutin diduga memperkenalkan Dian dan Solihin. Keduanya kemudian menikah meski Dian tahu kalau Solihin sudah beristri.
Tim Densus 88 juga menangkap Ika Puspitasari alias Salsabika Taslimah di Purworejo, Jawa Tengah, Kamis petang. Belum ada penjelasan peran Ika – yang pernah bekerja di Hongkong – dalam jaringan teror.
Menurut Ridlwan, selama ini perempuan sering berperan di balik layar seperti menyiapkan logistik, menjaga anak-anak, atau mendampingi suami di medan perang.
“Memang ada yang bergerilya di hutan, memegang senjata seperti isti Santoso di Poso, namun kan tidak frontal di depan begini,” ujarnya.
Santoso merupakan pemimpin Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang tewas dalam baku tembak dengan TNI di Poso, 18 Juli lalu. Istri keduanya, Jumiatun Muslimayatun, telah ditangkap pada 23 Juli 2016.
Selain itu, terdapat dua perempuan lain dalam kelompok MIT yaitu Nurmi Usman, yang merupakan istri Muhammad Basri alias Bagong – pengganti Santoso. Mereka ditangkap aparat pada 14 September 2016.
Seorang lagi adalah Tini alias Susanti Kaduku – istri tokoh MIT lain, Ali Kalora – yang saat ditangkap dalam keadaan hamil pada 11 Oktober lalu.
Merekrut anak-anak
Tak hanya perempuan, kelompok teroris juga menggunakan anak-anak untuk dijadikan pelaku bom bunuh diri.
“Strategi mereka siapa saja yang bersedia melakukan akan direkrut dan pasti dikerjakan. Sudah banyak juga anak-anak yang direkrut untuk dijadikan pelaku,” jelas Deputi II Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Arif Darmawan.
Menurut Arif, kendala yang dihadapi untuk mengatasi modus baru ini karena undang-undang yang ada belum bisa memproses rencana jaringan teroris sebagai sebuah kasus pidana.
“Selain itu, terkendala karena terbatasnya anggota di lapangan sehingga tidak bisa mengikuti satu persatu gerakan jaringan teroris,” tuturnya.