Lima Pengungsi Iran Berjuang Dengan Bersepeda Jakarta-Bali

Ismira Lutfia Tisnadibrata
2016.12.23
Jakarta
161212_ID_IR_PENGUNGSI_1000.jpg Mo Bagherian (tengah) dan rekan foto bersama Mitra Salima Suryono dari UNHCR (baju hitam) dan Febi Yonesta (kanan) sebelum memulai perjalanan ke Bali dari kantor UNHCR di Jakarta Pusat, 9 Desember 2016.
Dok. Bike to Freedom

Perjalanan Mo Bagherian bersama istrinya, Shirin, dan tiga teman mereka – Fakhri, Azim dan Ahoora – bersepeda sepanjang sekitar 1.200 kilometer dari Jakarta ke Bali semakin mendekati tujuan.

Kelima pengungsi asal Iran yang telah mengayuh sepeda sepanjang jalur pantai utara Jawa sejak Rabu malam, 21 Desember 2016, berhenti untuk bermalam di Situbondo, Jawa Timur.

“Kami telah bersepeda di bawah hujan lebat dan keadaan jalan yang gelap sepanjang 30 kilometer dari 98 kilometer jarak dari Probolinggo ke Situbondo,” ujar Bagherian kepada BeritaBenar melalui telepon, Kamis, 22 Desember 2016.

Mereka memulai perjalanan Jumat, 9 Desember 2016, dari depan Komisariat Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) Indonesia di Jakarta. Mereka berharap bisa tiba di Denpasar, Bali pada malam Natal atau Hari Natal.

Setiap hari, mereka menargetkan bisa menempuh jarak 100 kilometer atau bersepeda selama 10 hingga 12 jam.

“Namun tergantung stamina, cuaca dan kondisi jalan,” ujar pria asal Iran yang bersama istri dan ketiga rekannya sedang menunggu penempatan di negara ketiga setelah mendapat status pengungsi dari UNHCR.

Sepanjang perjalanan, mereka bermalam di berbagai tempat, seperti gereja atau rumah warga yang bersedia menampung. Ada kalanya, mereka mendirikan tenda di lokasi yang dianggap aman.

Bagherian mengaku sambutan masyarakat cukup baik. Malah warga tidak segan berbagi makanan dan minuman. Masyarakat yang mereka temui terlihat penasaran dan tertarik pada kondisi Bagherian dan timnya sebagai pengungsi.

“Mereka sangat baik kepada kami. Orang Indonesia yang kami temui sangat bersimpati. Banyak dari mereka yang tidak tahu apa artinya pengungsi,” ujar Bagherian yang harus meninggalkan negaranya karena minoritas.

Lewat perjalanan Bike to Freedom atau Bersepeda Untuk Kebebasan, kelima warga Iran itu ingin meningkatkan kesadaran publik akan keberadaan pengungsi dan pencari suaka yang menjadikan Indonesia sebagai rumah sementara, hingga mereka mendapat rumah permanen di negara penempatan.

“Kami ingin bertemu masyarakat Indonesia, berbagi cerita nasib kami dan keberadaan kami yang sedang transit di Indonesia,” papar Bagherian.

Mereka juga berusaha menggalang dana untuk disumbangkan kepada UNHCR sebagai bentuk dukungan terhadap pencari suaka dan pengungsi lain.

13.800 pengungsi

Mitra Salima Suryono, juru bicara UNHCR di Indonesia, mengatakan, pihaknya sudah mengirim pemberitahuan resmi kepada Imigrasi mengenai aksi dan rute yang dilalui kelima pengungsi Iran tersebut.

“Aksi ini memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melihat bahwa pengungsi juga manusia seperti kita, yang punya mimpi, bakat, harapan, tetapi sayangnya harus meninggalkan rumah mereka untuk menghindari konflik dan menyelamatkan hidup,” katanya kepada BeritaBenar.

Febi Yonesta, Ketua Suaka – jaringan masyarakat sipil sukarela beranggotakan individu dan organisasi yang bekerja bagi perlindungan hak-hak pencari suaka dan pengungsi di Indonesia – menyebutkan pengungsi tak bisa dianggap sebagai ancaman.

Mitra menambahkan hingga Oktober 2016, terdapat sekitar 13.800 pengungsi dan pencari suaka yang tinggal di Indonesia. Mereka terdiri dari 6.900 pengungsi dan 6.800 pencari suaka.

Sebagai dasar hukum penanganan mereka, pemerintah sedang membahas penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Penanganan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi karena Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951.

Status rancangan Perpres sedang dalam proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM dengan beberapa kementerian serta lembaga terkait.

Perpres itu merupakan amanat Pasal 27 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, yang akan mengatur substansi masalah dalam penanganan para pencari suaka dan pengungsi.

Menurut Mitra, jumlah orang yang harus meninggalkan negara mereka karena konflik, perang atau penganiayaan di seluruh dunia saat ini mencapai 65 juta jiwa.

Hal ini menjadi hambatan penempatan pengungsi di Indonesia ke negara ketiga karena kebutuhan global untuk penempatan sangat besar, akibat keterbatasan kapasitas untuk menampung mereka di 27 negara.

Febi mengatakan meski secara formal prosedur penempatan pengungsi melalui UNHCR, namun melalui upaya diplomasi, negosiasi yang kuat dan hubungan bilateral, Indonesia bisa meningkatkan kemungkinan memperoleh jatah penempatan permanen di negara penampung.

Direktur Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri, Hasan Kleib mengatakan bahwa Indonesia tak tinggal diam dan terus membantu upaya penempatan pengungsi di negara ketiga.

Menurutnya, Indonesia telah memberangkatkan sekitar 800 pengungsi ke negara ketiga seperti Selandia Baru atau Kanada hingga tahun ini.

“Sekarang harus lebih bersabar karena kuota yang kita dapat dari Eropa agak berkurang menyusul kenaikan jumlah pengungsi yang masuk Eropa,” tuturnya ketika dikonfirmasi BeritaBenar.

“Sementara sudah terdaftar sebagai pengungsi, silahkan tinggal di sini dengan sabar dan terus berkomunikasi dengan UNHCR.”

Bagi kelima pengungsi Iran, yang telah tinggal di Indonesia tiga hingga lima tahun, hanya berharap melalui perjuangan mengayuh sepeda akan dapat membuka mata dunia untuk menghentikan perang serta hidup berdampingan, tanpa diskriminasi dan menghormati perbedaan.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.