Dilema Pengungsi Menanti Erupsi Merapi
2018.05.25
Yogyakarta

Karyodani (70) dan Kromo Karyo (80) memilih tetap bertahan di pengungsian Balai Desa Glagaharjo, Cangkringan, Yogyakarta, meski keduanya mengaku tak betah berlama-lama berada di tempat itu.
Kedua perempuan itu telah berada di pengungsian sejak Senin malam, 21 Mei 2018, usai Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) menaikkan status Gunung Merapi dari normal menjadi waspada.
“Sudah tua, kalau naik turun susah, biar di sini saja,” ujar Karyodani dalam bahasa Jawa halus kepada BeritaBenar, Jumat, 25 Mei 2018.
Karyodani ingat betul kalau dia sudah menyaksikan enam kali erupsi Merapi.
Bagi janda delapan anak ini, erupsi yang menurutnya paling menakutkan adalah letusan tahun 2010 ketika rumahnya di Kalitengah Lor, Glagaharjo, Cangkringan, Yogyakarta, hancur rata tanah setelah dilewati awan panas merapi.
“Takut saya, sekarang saya pilih turun saja sebelum kabut putih di Merapi berubah jadi abu-abu,” tuturnya.
Tak jauh berbeda, Kromo yang dipaksa turun dengan diantarkan anak-anaknya terpaksa bertahan di pengungsian meski sudah sangat bosan dan merindukan rumahnya.
Kromo sudah turun sejak Senin malam, tapi sempat naik kembali ke rumahnya dan baru kembali turun ke pengungsian Kamis pagi setelah terjadi letusan pada dini hari.
“Saya tidak bisa tidur di sini, banyak pikiran. Saya punya ternak sapi di sana, dan salah satunya mau punya anak,” ujarnya.
Kromo yang bertetangga dengan Karyodani sehari-hari mencari rumput untuk memberi makan sapinya. Suaminya sudah lama meninggal.
Saat ini, dia tinggal bersama dua dari empat anaknya. Tidak berkegiatan di pengungsian membuatnya gelisah dan semakin memikirkan sapinya.
“Setiap pagi anak-anak naik ke atas, urus sapi dan bertani, tapi saya ingin melihat sendiri sapi saya dan menengok rumah,” katanya.
Naik turun
Kalitengah, Glagaharjo, Cangkringan, Yogyakarta, merupakan desa ring 1 yang berjarak kurang dari 5 kilometer dari puncak Merapi.
Tugiyono, relawan yang bertugas di pengungsian Balai Desa Glagaharjo menyebutkan jumlah pengungsi mencapai 249 orang.
“Kalau malam mereka turun ke sini, tapi setiap pagi yang masih kuat bekerja naik, yang tinggal di sini yang usia 70 tahun ke atas, sekitar 52 orang,” ujarnya.
Menurut Tugiyono, yang sudah tiga kali turut serta dalam antisipasi dan evakuasi erupsi Merapi, saat ini warga sudah jauh lebih mudah untuk ditangani.
“Lebih efektif, lebih teredukasi, mungkin karena pengalaman tahun-tahun sebelumnya, terutama tahun 2010 lalu,” jelasnya.
Terkait warga yang mengungsi pada malam hari dan kembali naik pada pagi hingga sore hari untuk mengurus ternak dan bertani, Tugiyono tidak terlalu khawatir.
Menurutnya, warga di ring 1 sudah sangat hapal dengan kondisi Merapi dan kapan harus turun.
“Tahun 2010, warga ring , zero accident, korban banyak jatuh justru di desa-desa di bawahnya, seperti Kinahrejo dan Salem,” ujar Tugiyono.
Kepala BPPTKG, Hanik Humaidah, menyikapi naik turunnya warga dengan tenang karena naiknya status Merapi dari normal ke waspada masih sangat memungkinkan bagi warga untuk melakukan kegiatan di desanya.
Radius yang harus dikosongkan sejauh 3 kilometer dari puncak Merapi, yaitu di Pasar Bubrah yang banyak dijadikan pemberhentian oleh para pendaki.
Erupsi magmatik
BPPTKG menyatakan dua erupsi yang terjadi Kamis sudah bukan freatik – yaitu letusan yang dipicu oleh terbentuknya uap air secara mendadak, melainkan sudah merupakan erupsi magmatik, letusan karena tekanan gas yang berasal dari magma.
Meski sudah berubah menjadi erupsi magmatik, Hanik mengimbau masyarakat tidak salah persepsi karena bukan berarti langsung disusul erupsi besar seperti terjadi tahun 2010.
“Tolong ini dicermati supaya masyarakat tidak panik,” ujarnya.
Menurut Hanik, BPPTKG melihat adanya tanda-tanda deflasi atau pengosongan saluran magma Merapi, tetapi belum ada magma yang keluar dan masih sebatas gas.
“Yang jelas, radius 3 kilometer tak boleh ada aktivitas apapun karena lemparan material masih sangat mungkin terjadi,” ujarnya.
Gunung Merapi yang terletak di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta telah mengalami erupsi sejak tahun 1548.
Meski disebut sebagai gunung berapi teraktif di Indonesia dengan siklus erupsi antara 2 hingga 8 tahun sekali dengan ketinggian 2.930 mdpl, tapi gunung tersebut masih dihuni hingga hampir di puncaknya.
Menurut catatan sejarah, sejak pertama kali meletus tahun 1548, letusan besar tercatat terjadi pada 1786, 1822, 1872, 1930 dan 2010.
Letusan tahun 1930 konon menghancurkan 13 desa yang menewaskan sekitar 1.400 orang.
Sementara erupsi tahun 2010 menyebabkan 273 orang tewas dan belasan desa habis terbakar awan panas. Tidak ada vegetasi yang tersisa pada erupsi tahun 2010.
“Kita mengantisipasi dan akan menginformasikan segera setiap kali ada pergerakan, peringatan dini kita lakukan termasuk menaikkan status ke level waspada,” kata Hanik.
“Kita tidak bisa menebak apakah letusan-letusan (freatik dan awal magmatik) ini nanti akan berjeda atau berlangsung terus-menerus sampai terjadinya erupsi besar.”
Hanik menambahkan pihaknya merekomendasikan pendakian ditutup karena radius 3 kilometer harus steril, kecuali untuk kegiatan penelitian.