Ratusan Pengungsi Rohingya Menunggu Dalam Ketidakpastian Di Medan

Oleh Nurdin Hasan
2015.06.08
150608_ID_NURDIN_ROHINGYA_MEDAN_700.jpg Pengungsi keluarga Rohingya di teras Hotel Sentabi Medan, Sumatera Utara, tanggal 6 Juni 2015.
BeritaBenar

Sekitar 270 pengungsi Muslim Rohingya menunggu dalam ketidakpastian di Medan, Sumatera Utara, sejak beberapa tahun lalu. Hingga kini mereka belum juga mendapatkan suaka politik dari negara ketiga.

Warga etnis Rohingya, Myanmar, yang tinggal sementara di empat “hotel” di Medan telah menanti proses penempatan di negara ketiga dari Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) selama dua hingga lima tahun, tetapi tidak ada seorang pun dari mereka sudah mendapat suaka politik.

Keempat “hotel” tempat mereka tinggal dibiayai oleh Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM).

IOM juga memberikan biaya hidup kepada setiap pengungsi Rohingya senilai Rp 1,250.000 per bulan dan setiap anak diberikan Rp 500.000.

Nur Alam (39) telah empat tahun tinggal di Hotel Sentabi, Medan, bersama istri dan lima anaknya.

Ia mengaku sangat sedih kalau putra sulungnya bertanya status kewarganegaraan karena hingga kini belum mendapatkan negara ketiga yang mau menerima mereka.

“Anak saya yang tua sudah 14 tahun. Dia sering bertanya sebenarnya kami ini warga negara apa karena dia sering ditanya oleh teman-temannya di sekolah,” ujar Nur saat diwawancara BeritaBenar tanggal 7 Juni.

Sentabi adalah hotel kelas melati yang disewa IOM untuk menampung pengungsi Rohingya, sejak lima tahun lalu.

Di sini, sembilan keluarga pengungsi suku Rohingya yang telah menikah. Belasan anak-anak telah lahir di hotel ini, termasuk dua putra Nur.

“Saya tidak tahu harus menjawab apa. Biasanya saya hanya bilang untuk bersabar,” tutur Nur menceritakan tentang pertanyaan anaknya tentang status kewarganegaraan.

“Anak saya sering bilang kalau tidak jelas kewarganegaraan untuk apa dia dilahirkan ke dunia. Saya hanya diam saja dan kalau malam sering menangis sendiri.”

Nur meninggalkan daerah Rakhine yang dihuni oleh mayoritas Muslim, tahun 1997 setelah tanahnya diambil pemerintah.

Ia merantau ke Malaysia untuk bekerja secara ilegal sebagai buruh bangunan selama 14 tahun di negara jiran itu.

“Saya melarikan diri dari Myanmar karena tidak ada yang bisa saya kerjakan di sana. Pemerintah mengambil sawah saya. Jiwa saya terancam sehingga memutuskan pergi dari Myanmar,” jelasnya.

Ingin ke Australia

Saat putra pertamanya berusia tujuh tahun, Nur mau memasukkan ke sekolah di Malaysia. Tetapi tidak ada sekolah yang bersedia menerima anaknya karena status Nur sebagai pengungsi.

Beberapa pengungsi Rohingya yang tinggal sementara di Medan mengaku mereka sebenarnya ingin pergi ke Australia karena mendengar ada harapan untuk memulai hidup baru disana.

Akhirnya Nur mau membawa istri dan ketiga anak mereka ke Australia. Ia membayar agen perjalanan ilegal 28.000 Ringgit Malaysia untuk ongkos keluarganya.

Perjalanan ke Australia melalui Sumatera Utara – kasus serupa dialami kebanyakan pengungsi Rohingya di Medan – ditempuh dengan sebuah perahu.

Nur dan 13 pengungsi Rohingya, terkatung-katung di jalan setelah ditinggalkan agen, ditangkap petugas Imigrasi di Medan.

Mereka ditahan selama enam bulan tujuh hari di Imigrasi Belawan, Sumatera Utara. IOM datang dan membawa mereka untuk tinggal di Hotel Sentabi.

Keluarga Nur tinggal berdampingan dengan keluarga Abdul Wahed (29), pengungsi Rohingya lain. Mereka mengaku sedikit bersyukur karena anak-anak bisa bersekolah di Medan.

Tapi mereka tidak diperkenankan bekerja.

“Kami boleh keluar hotel dan berjalan-jalan di seputaran kota Medan, tapi kami tidak diperkenankan untuk bekerja di Indonesia,” ungkap Abdul Wahed (29) bersama istri dan empat anaknya telah berada di Medan sejak tahun 2013.

Wahed dan keluarganya terdampar di Meulaboh, ibukota Kabupaten Aceh Barat, tahun 2013.

Waktu mereka meninggalkan Malaysia, istrinya sedang hamil. Dua bulan kemudian, istrinya melahirkan putri mereka di Banda Aceh.

Istrinya kembali melahirkan putri mereka di Medan, empat bulan lalu.

Untuk menambah biaya hidup, Wahed memelihara belasan ekor ayam dan menanam sayur-sayuran di halaman kamar hotelnya. Ia mengajarkan anak-anak mengaji di kamarnya.

Wahed yang dapat menghafal Al Quran mengaku meninggalkan  Myanmar tahun 2008, karena diburu tentara setelah dia kabur dari penjara dimana ia dipukul dan disiksa.

Wahed bersama istri dan kedua anaknya menyeberang ke Bangladesh. Lalu, mereka naik perahu ke Thailand.

Setelah dua pekan di Thailand, mereka menyeberang ke Malaysia dan bekerja sebagai buruh konstruksi secara ilegal.

“Saya pergi dari Malaysia karena anak-anak saya tidak bisa bersekolah,” katanya.

Tak ada Rohingya mendapat suaka politik

Nur dan Wahed mengaku sejak mereka tinggal di Medan, tak ada seorang pun warga etnis Rohingya yang mendapatkan suaka politik di negara ketiga.

“Kami kadang sedih karena pengungsi dari Afghanistan, Somalia, Irak dan beberapa negara lain yang mendapat resettlement setelah setahun atau dua tahun tinggal di Medan,” ujar Nur.

“Ketika kami tanya kepada UNHCR, mereka bilang mereka terus bekerja untuk kami mendapat suaka di negara ketiga. Kami disuruh bersabar. Tetapi sampai kapan kami harus bersabar.”

Jurubicara IOM Indonesia, Paul Dillon yang dikonfirmasi BeritaBenar melalui telepon, Senin, 8 Juni, menyatakan bahwa pihaknya hanya membantu menyediakan bantuan logistik kepada pengungsi Rohingya di Medan.

“Kami tidak melakukan proses resettlement karena itu wewenang UNCHR,” katanya.

Nur, Wahed dan ratusan pengungsi Rohingya di Medan masih terus menunggu.

Ketika ditanya bagaimana nasib hampir 1.000 pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh dalam tiga gelombang, Mei lalu, Nur menjawab, “Mungkin nasib mereka akan sama seperti kami.”

“Saya selalu berdoa kepada Allah agar suatu hari nanti bisa pulang ke Rakhine kalau pemerintah mengaku suku Rohingya sebagai warga negara Myanmar dan kami dapat hidup dengan damai,” ujar Wahed.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.