Aktivis dan warga kecam tindakan mahasiswa Aceh usir pengungsi Rohingya
2023.12.28
Jakarta dan Banda Aceh

Sejumlah aktivis hak asasi manusia dan pengamat pada Kamis (28/12) menduga mahasiswa yang menyerbu pengungsian orang Rohingya di Aceh telah dipengaruhi oleh kampanye disinformasi "terorganisir".
Dugaan itu muncul seiring derasnya kecaman terhadap insiden pengusiran itu.
Sejumlah 137 pengungsi yang ketakutan karena diusir mahasiswa pada Rabu, kebanyakan perempuan dan anak-anak, telah diangkut dengan truk ke tempat lain dan mendapatkan pengawalan, kata seorang menteri senior.
Pengamat mengatakan bahwa demonstrasi penolakan terhadap pengungsi Rohingya tidak seperti demonstrasi mahasiswa pada umumnya di provinsi Aceh.
Kejadian pengusiran terekam video dan disebarluaskan di media sosial, mengundang kecaman dari banyak warga Indonesia yang menilai tindakan mahasiswa itu tidak manusiawi.
Ahmad Humam Hamid, sosiolog dan guru besar Universitas Syiah Kuala, mengatakan tindakan mahasiswa mengusir 137 pengungsi Rohingya sama sekali tidak menggambarkan budaya Aceh.
“Ini orang-orang bodoh. Lalu mereka nyanyi-nyanyi, joget-joget. Itu bukan perilaku mahasiswa,” ujar Ahmad kepada BenarNews, Kamis (28/12).
Menurut Humam, tindakan memusuhi pendatang Rohingya tersebut disebabkan propaganda terhadap para pengungsi tersebut.
Chairul Fahmi, pengamat Rohingya dan pengajar ilmu Hukum di Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh, mengatakan mahasiswa yang melakukan demonstrasi tidak mempresentasikan kampus-kampus besar di Aceh.
“Banyak sekali pihak-pihak di Aceh yang tidak setuju dan mengutuk tindakan mereka karena bertentangan dengan prinsip masyarakat Aceh yang harus menolong sesama Muslim dan orang-orang teraniaya,” kata Chairul kepada BenarNews.
Chairul menduga ada keterlibatan aparat dalam disinformasi terhadap pengungsi Rohingya. ”Kita bisa lihat dalam demonstrasi kemarin. Itu kan bukan ciri khas mahasiswa dalam pergerakan,” jelasnya.
Karakter mahasiswa Aceh, kata Chairul, adalah membantu orang-orang yang lemah dan tidak melakukan kekerasan. Dia mencontohkan pertolongan mahasiswa Aceh kepada warga pada masa konflik di masa lalu.
“Bagaimana kala itu mahasiswa menjadi pelindung bagi para pengungsi Aceh dari Kabupaten Bener Meriah untuk mengungsi ke Banda Aceh ketika terjadi konflik pada tahun 2000-an,” kata Chairul.
Chairul menilai disinformasi terjadi antara lain karena pemerintah belum bersikap tegas dalam merespons kedatangan pengungsi Rohingya, padahal kata dia Indonesia memiliki aturan untuk menyelamatkan pengungsi, yaitu Peraturan Presiden nomor 125 tahun 2016.
Salah satu disinformasi yang merebak mengklaim para pengungsi Rohingya akan menjajah Aceh lalu mengambil lahan kerja warga setempat, kata Chairul.
“Ini tidak masuk akal. Indonesia hanya negara transit pengungsi Rohingya, jadi kewajiban kita hanya memenuhi kebutuhan dasar mereka selama proses registrasi dengan UNHCR (badan PBB untuk urusan pengungsi),” jelasnya.
Sekretaris Jenderal Panglima Laot Aceh Azwir Nazar menegaskan tindakan mahasiswa yang menyerang pengungsi tidak dapat dibenarkan apa pun alasannya.
"Bagi saya aksi ini adalah akumulasi dari persepsi yang dirancang melalui platform media sosial secara sistemis dan masif akan ujaran kebencian terhadap pengungsi Rohingya sehingga mempengaruhi sikap masyarakat Aceh,” kata dia kepada BenarNews.
Rohingya 'berbuat kegaduhan'
Della Masnida, 20, seorang mahasiswa Universitas Abulyatama yang ikut aksi pengusiran Rohingya, menyampaikan tindakan tersebut dilakukan untuk merespons perilaku negatif pengungsi.

“Mereka melakukan hal-hal yang tidak masuk akal, seperti mogok makan, minta tempat yang layak. Datang saja mereka tidak diundang, tapi seperti merasa ini negara mereka,” kata Della.
“Pemerintah tolong lebih tegas karena kami sudah berkoar-koar di kantor tapi tidak ada suara apa pun. Kami berharap tolong ditindaklanjuti, jangan hanya mahasiswa yang bersuara,” tambahnya.
Dalam pernyataannya, kelompok mahasiswa yang menamakan diri BEM Nusantara itu menolak etnis Rohingya karena telah membuat kegaduhan di masyarakat Aceh.
“Kita ketahui bersama bahwasanya Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa ada dugaan kuat ada tindak pidana perdagangan orang. Bahkan pihak Polda Aceh menyampaikan bahwasanya ini adalah kejahatan internasional. Oleh karena itu kami menolak Rohingya di Aceh," ujar kelompok tersebut dalam pernyataannya.
Rohingya dipindahkan ke lokasi aman
Setelah insiden pengusiran, pemerintah mengatakan akan memindahkan ratusan pengungsi Rohingya ke tempat yang lebih aman.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud MD mengatakan, langkah itu diambil guna mencegah insiden serupa tidak terulang di masa mendatang.
"Hari ini saya sudah mengambil keputusan dan tindakan agar pengungsi itu ditempatkan di tempat yang aman. Saya sudah berpesan agar aparat keamanan menjaga (para pengungsi) karena ini soal kemanusiaan," ujar Mahfud.
Menurut Mahfud, pemerintah menyiapkan dua lokasi penampungan aman bagi para pengungsi yakni Gedung Palang Merah Indonesia (PMI) dan Gedung Yayasan Aceh.
"Orang Rohingya kalau diusir tidak bisa pulang ke negerinya. Daripada terkatung-katung, kita tampung dulu sementara. Nanti dikembalikan melalui UNHCR dari PBB karena yang punya aturan kan PBB," kata Mahfud yang ditugaskan Presiden Joko "Jokowi" Widodo untuk menuntaskan polemik pengungsi Rohingya.
Terkait aksi kemarin, Mahfud menyebut masyarakat semestinya tak menolak dan bersedia membantu para pengungsi lantaran tatkala Aceh dilanda tsunami pada 2004, masyarakat dunia berbondong-bondong memberikan bantuan.
"Aceh dulu terserang tsunami, tapi berbagai dunia, manusia dari berbagai penjuru dunia datang menolong. Masa sekarang tidak mau tolong, kan begitu," ujar Mahfud lagi.
"Kita memang tidak terikat konvensi PBB tentang pengungsi. Kita tidak terikat dengan itu, tapi kita punya ikatan lain yaitu kemanusiaan."
Koordinator Project Jesuit Refugee Service (JRS) Indonesia Aceh Hendra Saputra mengatakan pengusiran di Banda Aceh kemarin sejatinya bukan perlakuan buruk pertama yang diterima pengungsi Rohingya.
Hendra merujuk peristiwa perobohan tenda dan pengusiran pengungsi Rohingya di Sabang serta pengusiran pengungsi lain di Pidie pada hari yang sama.
"Di Pidie, mereka dipindahkan ke lokasi yang tidak ada akses dan sinyal handphone. Saat dipindahkan, bahkan ada pemukulan," ujar Hendra dalam diskusi daring.
Hal sama disampaikan pengajar studi konflik dari Universitas Presiden, Nino Viartasiwi, yang menyebut aksi tersebut juga digalakkan secara terstruktur via media sosial.
Nino merujuk laporan lembaga pemantau media sosial Drone Emprit yang mendapati bahwa reaksi negatif terhadap pengungsi Rohingya diinisiasi oleh akun anonim.
"Saya tidak tahu siapa di belakang, tapi ada indikasi seperti itu (terorganisir)," kata Nino dalam diskusi daring.
"Lalu ada fakta bahwa mahasiswa itu kemarin menggunakan truk. Itu truk dari mana? Siapa yang menyewakan? Indikasi terorganisir sangat terlihat."
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai pemerintah gelagapan dalam menangani polemik pengungsi Rohingya, padahal sejatinya pemerintah dinilai telah memiliki dasar hukum penanganan pengungsi.
"Tapi pemerintah bingung, apakah ikut dalam narasi memilih antara memenuhi kesejahteraan masyarakat Aceh atau Rohingya," ujar Peneliti KontraS, Nadine Sherani.
Merujuk data KontraS Aceh, sejak Januari 2009 tercatat 39 kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh dengan lima titik pengungsian yakni di Sabang, Banda Aceh, Pidie, Bireuen, dan Aceh Timur.
Indonesia tak banyak tampung Rohingya
Juru Bicara UNHCR di Indonesia Mitra Suroyo menilai Pemerintah Indonesia semestinya dapat menunjukkan bahwa mereka tengah memainkan peran berbagi tanggung jawab dalam penanganan pengungsi Rohingya di kawasan Asia Tenggara saat ini.
Merujuk catatan UNHCR, jumlah pengungsi Rohingya di Indonesia sendiri sejatinya tidak lebih banyak dari negara-negara lain seperti Malaysia atau India.
UNCHR mencatat Malaysia hingga saat ini menampung 105 ribu pengungsi, India 22 ribu, dan Bangladesh sekitar 1 juta pengungsi. Pengungsi Rohingya di Indonesia saat ini tercatat sekitar 2000 orang.
"Jumlah itu bukan lebih besar dibanding negara lain. Jadi di sini lah Indonesia semestinya memainkan peran berbagi tanggung jawab dalam penanganan pengungsi Rohingya di kawasan Asia Tenggara," ujar Mitra.
Sementara itu, TNI Angkatan Laut melakukan monitor terhadap sebuah kapal kayu yang diduga mengangkut korban perdagangan manusia etnis Rohingya pada Rabu (27/12) di perairan Timur Pulau Weh.
KRI Bontang-907 melaksanakan pengamatan saat kapal berada di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia yang berbatasan dengan ZEE India.
“Setelah dipastikan kapal itu dalam keadaan baik dengan tidak dalam keadaan darurat, unsur TNI AL terus memantau kapal kayu itu melanjutkan pelayaran hingga keluar ZEE Indonesia-India,” tulis Dinas Penerangan Angkatan Laut dalam keterangannya pada Kamis (28/12).
Dalam kesempatan terpisah, Kepala Staf TNI AL Laksamana TNI Muhammad Ali telah menegaskan seluruh jajaran prajuritnya agar meningkatkan kesiapsiagaan operasi dalam menjaga keamanan wilayah perairan Indonesia.
“Pemerintah Indonesia bertekad memburu para pelaku perdagangan orang, khususnya pada permasalahan yang terjadi di Aceh,” terang Dinas Penerangan Angkatan Laut.