Pentagon Ajukan Dakwaan Baru atas Hambali
2019.04.12
Washington

Jaksa penuntut di Pentagon mengajukan dakwaan baru terhadap Hambali, tahanan di Guantanamo asal Indonesia yang dituduh mendalangi dua pemboman yang menewaskan lebih dari 200 orang di Bali, kata seorang jurubicara komisi militer Amerika Serikat (AS), Jumat.
Tuduhan baru itu mencakup dakwaan kedelapan yang menuduh bahwa Hambali (55) bersekongkol dengan pemimpin Al-Qaeda Osama bin Laden dan 47 orang lainnya untuk melakukan serangan teroris di seluruh Asia Tenggara dan di tempat lain.
Di antara rekan-rekan komplotannya, menurut berkas tuntutan yang diajukan pada 5 April, adalah juga dua orang Malaysia yang ditahan di Guantanamo dan Khalid Sheikh Mohammad, terduga arsitek serangan teror 11 September 2001 yang menewaskan lebih dari 3.000 orang di AS.
"Kami telah menerima pemberitahuan tentang dakwaan baru itu," Ron Flesvig, juru bicara Otoritas Penunjukan Kantor Komisi Militer, mengatakan kepada BeritaBenar.
Flesvig mengatakan dia tidak bisa menjelaskan mengapa jaksa mengajukan dakwaan baru, meskipun otoritas militer tidak pernah menindaklanjuti tujuh dakwaan awal yang diajukan pada Juni 2017 dan pada bulan Desember tahun yang sama.
Pengacara Hambali, Mayor James Valentine, mengatakan pengajuan tuduhan konspirasi itu sebagai "upaya putus asa" untuk menyelamatkan kredibilitas komisi militer. Dia menuduh pihak berwenang Amerika tidak ingin kasus Hambali dibawa ke pengadilan karena persidangan akan mengungkap penyiksaan yang diderita kliennya sebagai seorang tahanan milliner.
"Saya tidak mengira AS memiliki otoritas moral atau kemampuan praktis untuk mengadili kasus ini karena untuk menyidangkan kasus ini, sesuai dengan standar hak asasi manusia dan standar aturan hukum, mereka harus mengungkap kejahatan penyiksaan," demikian kata Valentine kepada BeritaBenar.
Dia mempertanyakan langkah pemerintah AS untuk menegaskan yurisdiksi atas kasus ini, dan tidak membiarkan Hambali diadili di Indonesia, di mana sebagian besar kejahatannya dilakukan
"Dia adalah warga negara Indonesia dan dia didakwa atas kejahatan yang terjadi di tanah Indonesia," kata Valentine. "Saya pikir itu adalah penghinaan bagi Republik Indonesia ketika AS menangkapnya dan mengadilinya di AS daripada mengembalikannya ke Indonesia."
Sama seperti dua tuduhan sebelumnya yang diajukan pada bulan Juni dan pada bulan Desember 2017, berkas tuduhan terbaru masih menuduh Hambali terlibat dalam pemboman 12 Oktober 2002 yang menewaskan 202 orang, termasuk 88 warga Australia, di Bali.
Tujuh dakwaan itu termasuk pembunuhan, terorisme, dan perusakan properti. Hambali juga dituduh mengatur serangan bom mobil Agustus 2003 yang menewaskan 11 orang, termasuk seorang pria Belanda, dan melukai 150 lainnya di J.W. Hotel Marriott di Jakarta.
Dalam dakwaan terbaru itu, jaksa penuntut juga menyebut ulama radikal Abu Bakar Bashir, yang saat ini dipenjara di Indonesia, sebagai salah satu dari konspirator utamanya. Dokumen hukum terbaru juga memberikan rincian tentang keterlibatannya dalam pendanaan Bom Bali dan rencana teror lainnya di Asia Tenggara, termasuk Filipina.
Dikirim ke jaringan penjara rahasia CIA
Hambali, yang memiliki nama asli Encep Nurjaman (alias Riduan Isamuddin), ditangkap di Thailand pada Agustus 2003 bersama warga Malaysia Bashir Lap (alias Lilie) dan Mohd Farik Bin Amin (alias Zubair). Setelah tertangkap, mereka dikirim ke jaringan penjara rahasia CIA sebelum mereka dipindahkan ke Guantanamo, sebuah penjara militer AS di Kuba, pada 4 September 2006.
Otoritas militer di bawah Presiden Barack Obama telah mengklasifikasikan ketiganya sebagai "tahanan tak terbatas" di bawah Hukum Perang, dengan tuduhan terlibat dalam kejahatan perang dari tahun 1993 dan dianggap terlalu berbahaya untuk dilepaskan.
Di bawah sistem hukum militer AS, dakwaan yang telah diputuskan oleh jaksa akan membutuhkan persetujuan dari Otoritas Penunjukan yang berada di atas komisi militer itu, yang dapat memutuskan apakah kasus tersebut akan disidangkan.
Pejabat Indonesia telah mengindikasikan tiga tahun yang lalu bahwa jika Hambali dibebaskan, mereka akan enggan menerima pemulangannya karena takut kepulangannya dapat memicu kebangkitan sel-sel teror domestik.
Valentine, pengacara Hambali, mengatakan kepada BeritaBenar pada hari Kamis bahwa pejabat Indonesia tidak pernah diizinkan untuk mengunjungi kliennya, yang dirantai di lantai saat berada di sel isolasi.
"Dia dirantai di lantai sepanjang waktu," kata Valentine, menambahkan bahwa kliennya "telah melemah karana efek penyiksaan terhadapnya." Dia menolak untuk menguraikan lebih lanjut.
Hampir 18 tahun setelah serangan teror 11 September 2001, sistem komisi militer masih bergulat dengan seberapa banyak bukti terkait penyiksaan dapat digunakan selama persidangan di Guantanamo, demikian menurut New York Times.
"Mereka tidak akan pernah membiarkan dunia tahu apa yang mereka lakukan padanya, jadi bagaimana mereka bisa melakukan peradilan yang adil?" kata Valentine.
Para pejabat yang diwawancarai oleh BeritaBenar mengatakan mereka tidak dapat menjelaskan mengapa jaksa-jaksa Pentagon memerlukan lebih dari 10 tahun untuk menyiapkan dakwaan terhadap Hambali.
Menurut apa yang disebut Senat "Laporan Penyiksaan," yang disetujui untuk dirilis ke publik pada Desember 2012, Hambali tidak diinterogasi dengan “waterboarding” tetapi "teknik interogasi canggih" lainnya termasuk dibelenggu dalam posisi yang menyakitkan, ditabrakkan ke dinding atau dimasukkan dalam kotak seperti peti mati dalam keadaan telanjang.
‘Tidak ada opsi seperti itu’
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Arrmanatha Nasir, mengkonfirmasi pada hari Jumat bahwa akses Jakarta ke Hambali terbatas karena ia ditahan di fasilitas militer.
"Prosesnya mengikuti aturan militer, semua pengacaranya adalah pengacara militer. Ada proses militer di sana karena ia dianggap sebagai tahanan militer dan mereka mengikuti hukum militer," kata Arrmanatha kepada BeritaBenar.
Dia juga mengatakan staf kedutaan Indonesia telah bertemu dengan pengacara Hambali.
Ditanya apakah Indonesia telah meminta repatriasi Hambali, Arrmanatha menjawab, "Apakah ada opsi itu?"
"Tidak ada opsi seperti itu," katanya.
"Ini karena dia ditahan di penjara militer."
Tia Asmara dan Ahmad Syamsudin di Jakarta turut berkontribusi dalam laporan ini.