Pemimpin Asia Afrika Sepakat Bersatu Melawan Ancaman Terorisme
2015.04.24

Pemimpin Asia dan Afrika mengakhiri Konferensi Asia Afrika (KAA) di Indonesia pekan ini dengan menyetujui kerja sama melawan terorisme dan ekstremisme tetapi tidak mempunyai strategi praktis melawan ancaman, terutama yang ditimbulkan oleh kelompok militan Negara Islam (ISIS).
"Kita mengutuk tindakan ekstremisme dan terorisme yang mengatasnamakan agama, dan akan mempromosikan dialog antar budaya dan agama," kata Presiden Indonesia Joko "Jokowi" Widodo dalam pidato penutupan KAA hari Kamis tanggal 23 April.
Para pemimpin dan pejabat lebih dari 100 negara di Asia dan Afrika yang menghadiri pembicaraan dua hari kesepakatan dalam deklarasi untuk menindaklanjuti usaha memberantas jaringan teroris yang merugikan dan membawa pengaruh negatif terhadap pembangunan, stabilitas politik, sosial dan nilai-nilai budaya.
Pemimpin Asia dan Afrika sepakat untuk bekerja sama melawan terorisme, ekstremisme, kekerasan dan penggunaan internet untuk melancarkan aksi radikal. Forum ini juga berjanji untuk memeriksa pendanaan terorisme, termasuk melalui pembayaran uang tebusan.
"Kami mengecam keras dan akan menindak tegas terorisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, serta menggarisbawahi bahwa kita tidak akan menyerah pada terorisme," kata mereka dalam salah satu dokumen yang disetujui pada akhir Konferensi Tingkat Tinggi (KTT).
Selain sebagai tuan rumah KTT, Jokowi ikut dalam pembicaraan penting ini bersama dengan pemimpin lain seperti Presiden Tiongkok Xi Jinping, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, Presiden Iran Hassan Rouhani, Perdana Menteri Mesir Ibrahim Mahlab dan Raja Yordania Abdullah Hussein.
Ancaman terus berkembang
Laporan KAA menuliskan bahwa Indonesia telah mengundang 109 pemimpin dari negara Asia dan Afrika, tetapi tidak lebih dari 2 dosin jumlah pemimpin negara yang menghadiri pertemuan tersebut. KAA 2015 untuk memperingati 60 tahun organisasi yang bertujuan melawan kolonialisme dan menunjukkan netralitas dalam gerakan non blok ketika terjadi perang dingin antara blok Barat dan blok Timur.
Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar, serta negara-negara Islam lainnya prihatin dengan ancaman yang ditimbulkan oleh ISIS, yang mengontrol wilayah Timur Tengah termasuk Irak, Suriah dan Libya, dalam upaya untuk membangun kekhalifahan.
Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina menekankan bahwa kerja sama keamanan adalah kunci untuk memusnahkan ancaman terorisme.
"Bersama kita bisa melawan teroris dan radikal di kedua benua," katanya.
India, yang memiliki populasi Muslim terbesar kedua di dunia, mengatakan dalam konferensi tersebut bahwa ISIS telah muncul sebagai penyebab "keprihatinan," menurut laporan berita.
"Kita harus tegas dalam ISIS yang telah menantang peradaban kita," kata Menteri Luar Negeri Sushma Swaraj pada pertemuan tingkat menteri.
Perdana Menteri Mesir Ibrahim Mahlab mengatakan bahwa terorisme sebagai "tindakan kolonialisme yang masih ada di banyak bagian dunia," menurut dokumen KAA.
"Kita bertanggung jawab dalam memerangi terorisme, suatu tindakan yang hampir sama dengan kolonialisme," katanya.
Penilaian beragam
Pakar mencatat meskipun KAA di Indonesia menyuarakan usaha untuk meningkatkan kerjasama melawan terorisme dan isu-isu lainnya yang terjadi di Asia dan Afrika, tetapi tidak ada strategi kunci yang dirancang.
Tetapi pakar hubungan internasional Indonesia Makarim Wibisono menjelaskan Kemitraan Baru Strategis Asia-Afrika (NAASP) yang ditanda tangani dalam KAA "lebih komprehensif" daripada yang diadopsi pada NAASP yang disetujui pada peringatan 50 tahun KAA tahun 2005.
"Saya percaya bahwa NAASP akan meningkatkan kerja sama antara negara-negara Asia dan Afrika," tambahnya.
Pejuang HAM merasa bahwa konferensi gagal untuk secara efektif menangani konflik di Timur Tengah, termasuk pertempuran di Yaman.
"Meskipun hasil KAA baik, saya tidak melihat tindakan nyata menyatakan untuk mengakhiri situasi di Yaman. Banyak orang yang tidak bersalah telah tewas dalam serangan udara Saudi ini," kata Hariyati, direktur dari Yayasan Karena Kasih.
Laporan PBB yang keluar hari Jumat mengatakan Jumat bahwa korban yang tewas sejak awal serangan koalisi yang dipimpin oleh Arab Saudi untuk melawan pemberontak Syiah di Yaman dalam satu bulan terakhir telah mencapai 500 orang tewas kebanyakan adalah masyarakat sipil, 115 diantaranya adalah anak-anak.
Serangan ini telah menyebabkan kelaparan, kurangnya bahan pasok bahan makanan, bahan bakar, air dan obat-obatan. Pejabat Palang Merah menyebut situasi di Yaman sebagai bencana kemanusiaan, menurut laporan tersebut.
KTT Asia-Afrika juga menyetujui deklarasi kemerdekaan untuk Palestina, menegaskan kembali dukungan terhadap perjuangan Palestina untuk mendapatkan kembali hak mereka menentukan nasib sendiri.
Para pemimpin tetap berkomitmen mengusung prinsip-prinsip penentuan nasib sendiri seperti yang diadopsi KAA pertamakali tahun 1955, dan sesuai dengan Piagam PBB.
"Kami tidak akan pernah melupakan Palestina," kata pemimpin Mesir Mahlab.
"Mereka memiliki hak untuk memiliki negara mereka sendiri ... Jalan masih panjang tetapi telah dimulai oleh pendiri kami. Kita perlu terus [bekerja menuju tujuan]. "
Seorang pakar Timur Tengah dari Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta, Siti Mutiah Setiawati, mengatakan bahwa deklarasi pertemuan di Palestina "adalah langkah yang baik ke depan."
Aditya Surya memberikan kontribusi dalam artikel ini