Pemberantasan Perbudakan di Industri Perikanan Perlu Kerjasama Menyeluruh
2016.08.16
Jakarta

ASEAN dan masyarakat internasional harus terus memberantas perdagangan manusia dalam industri perikanan melalui kerjasama menyeluruh menyusul terungkapnya kasus-kasus perbudakan modern di laut, demikian seruan dari Lokakarya ASEAN tentang Perdagangan Manusia dan Pekerja Paksa dalam Industri Perikanan di Jakarta, 15 – 16 Agustus 2016.
“Melindungi korban perdagangan manusia harus dilakukan dan didukung oleh kemauan politik yang kuat dari negara anggota ASEAN,” ujar Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, saat pembukaan acara tersebut.
“Ini tanggung jawab seluruh negara, tak hanya Indonesia. Kita tidak bisa melakukannya sendirian. Ini tugas kita!” tambahnya.
Ia mengatakan perdagangan manusia di laut merupakan bentuk perbudakan modern yang melanggar hak asasi manusia (HAM) dan menempatkan anak buah kapal (ABK) yang jauh dari negara asalnya, menjadi salah satu modusnya.
“Korban terbesar adalah dari Indonesia, banyak ABK dari Indonesia yang ditempatkan di Bangladesh, Thailand dan Myanmar, begitupun sebaliknya sehingga sulit didata,” papar Susi, yang menyebutkan negara-negara ASEAN berkontribusi 20,7 persen dari total tangkapan ikan dunia.
Data organisasi PBB untuk Pangan dan Pertanian (FAO) mencatat China menempati urutan pertama dalam total tangkapan ikan dunia dengan produksi 15,7 juta ton per tahun, diikuti Myanmar (3 juta ton/tahun), Vietnam (2,4 juta / tahun), Filipina (2,5 juta/ tahun), Thailand (1,8 juta/ tahun) dan Malaysia (1,4 juta/tahun).
“Harus diingat kalau produk seafood yang kita makan sehari-hari berasal dari keringat, airmata dan kerja keras para nelayan,” ujar Susi.
Hal senada disampaikan Duta Besar Australia untuk Indonesia, Paul Grigson, dalam workshop tersebut.
“Berbagai pemerintah mesti bekerja sama dalam kemitraan dengan LSM dan masyarakat, dengan sektor swasta dan satu sama lain, untuk menghadapi tantangan ini,” katanya.
Eksploitasi pekerja
Paul mengatakan setidaknya sekitar 45,8 juta orang masih terjebak dalam perbudakan modern di seluruh dunia. Dua pertiga dari jumlah itu berasal dari kawasan Asia Pasifik.
Perdagangan manusia dan eksploitasi sumber daya manusia menghasilkan laba illegal sekitar AUS$150 miliar setiap tahunnya, termasuk antaranya berhubungan dengan perdagangan obat-obatan dan senjata.
“Mereka tinggal di kapal dan lama tidak melihat daratan, dengan tidak didukung kesehatan,” ujar Paul merujuk pada situasi ABK yang kerap mengenaskan.
Hal ini juga ditegaskan juga oleh Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri. Irjen. Ari Dono.
“Perusahaan dapat keuntungan yang banyak namun pekerjanya dieksploitasi,” katanya.
Ari menyebutkan kasus Benjina di Kepulauan Aru, Maluku Tengah, sebagai satu contoh besar masalah perdagangan dan perbudakan manusia yang berhasil dibongkar tahun lalu.
Ia merinci terdapat total 658 kru ABK yang menjadi korban perbudakan di Benjina, pulau yang menjadi markas perusahaan penangkapan dan pengalengan ikan PT. Pusaka Benjina Resources. Dari jumlah tersebut, 512 orang berasal dari Myanmar, 98 orang berasal dari Kamboja, 8 orang dari Laos dan 40 orang dari Thailand.
Dikutip dari kantor berita Associated Press, para korban mengaku dipaksa bekerja sedikitnya 20-22 jam perhari, dan mendapat hukuman cambuk dengan menggunakan buntut ikan pari beracun jika mengeluh atau mencoba beristirahat. Dilaporkan bahwa banyak dari “budak” tersebut yang akhirnya mati di laut.
“Sementara tersangka berasal dari Thailand dan tiga orang Indonesia,” kata Ari.
Seperti gunung es
Kepala Perwakilan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) di Indonesia, Mark Getchell, mengatakan kasus perdagangan manusia sudah menjadi seperti gunung es yang sulit dipecahkan.
“Data sulit diungkapkan per kasus karena untuk kasus di daratan saja sulit ditangani apalagi di lautan,” katanya.
Berkat kerjasama dengan pemerintah, lanjutnya, pihaknya telah membebaskan 1.152 korban perdagangan manusia dan membantu mereka mendapatkan haknya dengan total US$ 900.000 yang sebelumnya ditahan oleh perusahaan.
Edukasi dan penegakan hukum
Mark mengatakan mengedukasi para kru kapal mengenai modus perdagangan manusia di perairan menjadi salah satu cara pencegahan.
“Berikan contoh seperti apa itu perdagangan manusia yang ada, dan sebab bagaimana mereka bisa terjerumus ke sana,” ujar Mark.
IOM melalui Departemen Imigrasi dan Perlindungan Perbatasan Australia dan Kedutaan, membiayai lebih dari AUS$2 juta (Rp 22 miliar lebih) untuk memberikan bahan-bahan pokok, seperti makanan, air dan fasilitas-fasilitas kesehatan dan sanitasi untuk korban perdagangan manusia di Benjina.
“Pendanaan tersebut membantu, yang lebih penting lagi, memulangkan sejumlah besar mereka ke negara mereka dan mendukung mengintegrasikan mereka kembali ke masyarakat,” ujarnya.
Sementara Ari menegaskan perlunya penegakan dan kerangka hukum yang jelas untuk mencegah dan menindak kasus perdagangan manusia.
“Peraturan yang disepakati bersama dan sanksi yang diterima apabila melanggar,” ujarnya, “kami akan terus berupaya untuk memerangi perdagangan manusia.”