Rohaniawan Papua Lakukan Aksi Bisu bagi Korban Penembakan Paniai
2015.12.10
Jayapura

Peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) tanggal 10 Desember digunakan oleh ratusan massa di Papua yang terdiri dari rohaniawan Katolik, mahasiswa dan masyarakat sipil untuk mempertanyakan pengungkapan kasus penembakan di lapangan Karel Gobay, Enarotali, Paniai, pada 8 Desember tahun lalu yang menewaskan empat siswa dalam aksi demonstrasi.
Ratusan massa ini bergerak dari depan Gereja Gembala Baik di Jayapura menuju Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Di kantor ini mereka juga melakukan aksi bisu sebagai pertanyaan atas penembakan dan pembunuhan yang dialami oleh orang Papua selama ini.
Pastor Irenius Gosalit Saur OFM, usai aksi bisu yang berlangsung selama 1,5 jam itu mengatakan aksi para biarawan dan biarawati Katolik pada Hari HAM Sedunia ini sesuai dengan seruan Paus Fransiskus.
“Paus Fransiskus sudah menyerukan kerahiman dan kemurahan kepada semua,” ungkap Pastor yang membawahi 92 anggota religius yang berkarya di lima Keuskupan di Tanah Papua kepada BeritaBenar.
Seorang biarawati yang turut serta dalam aksi bisu, Suster Winandi SMSJ menambahkan aksi mereka ini secara khusus untuk mempertanyakan pengungkapan kasus penembakan di Paniai.
“Pembunuhan empat siswa di Paniai sebenarnya tidak harus terjadi kalau negara melaksanakan fungsinya. Mereka yang terbunuh itu memiliki hak dilindungi, terutama oleh Negara. Negara tidak punya alasan untuk tidak mengadili pelakunya. Pelakunya harus diproses hukum. Itu yang kami pertanyakan disini,”ungkapnya serius.
Menurut laporan Human Rights Watch, penembakan itu yang menyebabkan terbunuhnya empat warga dan 17 lainnya luka-luka dilakukan oleh polisi dan militer sebagai respons terhadap demonstrasi yang dilakukan oleh sekitar 800 warga di Enarotali, Paniai, 8 Desember 2014. Demonstrasi yang diikuti temasuk oleh anak-anak dan perempuan itu merupakan protes mengecam pemukulan terhadap sekelompok anak oleh kelompok militer Tim Khusus 753 pada malam sebelumnya. Pemukulan terhadap anak tersebut dilakukan setelah kelompok anak dan pemuda di daerah tersebut meneriaki mobil Tim Khusus yang tidak menyalakan lampu ketika mobil tersebut melewati sekelompok orang yang sedang mendekorasi hiasan Natal di dekat sebuah gereja di Enarotali.
Dalam kunjungannya ke Jayapura 27 Desember lalu, Presiden Jokowi mengutuk insiden penembakan di Paniai tersebut dan berjanji untuk mengusut tuntas kejadian itu dengan membentuk tim investigasi khusus.
Dalam setahun 10 meninggal dan 268 orang ditangkapi
Sejak November tahun lalu, setidaknya terjadi 11 kasus kekerasan yang mengakibatkan sejumlah orang Papua tewas. Ini disebutkan oleh Peneas Lokbere, Kordinator Bersatu Untuk Kebenaran (BUK) yang pernah menjadi korban kesewenang-wenangan aparat kepolisian.
“Tanggal 8 Desember 2014, penembakan di Paniai, empat siswa dan satu warga sipil meninggal dunia, 17 luka-luka. Sebelumnya 19 November 2014, terjadi penangkapan delapan aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di Nabire,” ujar Peneas.
Ia melanjutkan, 8 Maret 2015 terjadi penembakan di Yahukimo, menyebabkan satu orang meninggal dunia, lima luka-luka dan 11 orang ditangkap. 14 April 2015 empat delegasi Komite Independen Papua ditangkap.
20 Mei 2015, dua aktivis KNPB di Biak ditangkap setelah sebelumnya, selama dua hari 30 April-1 Mei 2015, 178 aktivis pro-demokrasi ditangkapi oleh polisi di berbagai tempat di Papua saat berencana melakukan aksi demo memperingati hari Papua menjadi bagian Indonesia.
Sementara tanggal 28 Mei 2015, 47 anggota KNPB di Jayapura ditangkap. Sebelumnya, tanggal 21 Mei 2015, di Biak, 25 orang ditangkap. Pada 25 Juni 2015, penembakan di Dogiyai menyebabkan satu orang meninggal dan satu orang dalam kondisi kritis. 22 Juni 2015, penangkapan 14 mahasiswa anggota Forum Independen Mahasiswa (FIM) di Jayapura. 28 Agustus 2015, penembakan di Mimika menyebabkan satu orang meninggal dunia dan empat luka-luka.
Insiden yang sama di tempat yang sama terjadi pada 28 September 2015, menyebabkan satu orang meninggal dan dua luka-luka. Sebelumnya, 17 Juli 2015 terjadi penembakan di Tolikara yang menewaskan satu orang dan 11 luka-luka.
“Kita masih ingat juga pada 8 Oktober 2015, pembubaran aksi SKP (Solidaritas Korban Pelanggaran) HAM Papua di depan gereja Katholik Gembala Baik Abepura. Delapan belas orang ditangkap. Dan 9 Oktober 2015, tiga aktivis KNPB ditangkap di Sentani,” kata Peneas di depan ratusan massa aksi.
Peneas mengaku mencatat serangkaian kekerasan ini telah mengakibatkan korban 10 orang meninggal dan 39 orang luka-luka dan sedikitnya 268 orang ditangkap aparat keamanan.
Gubernur batal muncul
Aksi bisu ratusan massa ini diterima oleh para pimpinan DPRP yang mengaku tidak ingin disebut tak berupaya mengungkap siapa pelaku penembakan di Paniai itu.
“Saya Ketua DPR Papua pertaruhkan nyawa saya untuk kasus Paniai. Kasus Paniai bisa jadi pintu masuk mengungkap semua kasus di Papua. Kami juga punya data. Kami tahu siapa pelaku. Hanya saja kami tak punya kewenangan,” kata Yunus Wonda, Ketua DPRP di hadapan para aktivis HAM Papua yang demo di halaman DPR Papua.
Dalam peringatan Hari HAM ini pemerintah Provinsi Papua berjanji untuk bertemu dengan sejumlah aktivis HAM maupun korban pelanggaran HAM. Namun sayangnya, para aktivis HAM yang dijanjikan bertemu dengan gubernur pukul 10.00 terlanjur kecewa, sebab hingga jam 14.00, Gubernur Papua, Lukas Enembe tak datang menemui mereka.
“Kami pulang karena jam dua siang belum ada tanda-tanda Gubernur muncul. Padahal ini pertama kali seorang gubernur Papua menerima peringatan 10 Desember secara resmi. Kami yang ikut mendorong proses ini kecewa berat dan pulang,” kata Fien Jarangga, aktivis Jaringan Kerja HAM Perempuan Papua.