Pernikahan Dini, Rantai Sulit Terputus

Media sosial juga ikut digunakan untuk mempropagandakan nikah muda.
Kusumasari Ayuningtyas
2017.09.12
Klaten
170912_ID_NikahMuada_1000.jpg Ayuk menggendong putrinya usai menyaksikan dua temannya ikut lomba peringatan HUT RI ke-72 di Desa Delanggu, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, 13 Agustus 2017.
Kusumasari Ayuningtyas/BeritaBenar

Bukan hal mudah bagi Hastuti (37) menceritakan kembali kisah pernikahannya belasan tahun silam. Ia baru berusia 16 tahun ketika menikah dengan teman sekelasnya.

Hastuti sudah hamil dua bulan. Orang tuanya menentang pernikahannya karena selain masih sama-sama di bawah umur, mereka juga beda agama.

Beruntung keluarga pihak lelaki menerimanya dengan tangan terbuka.

Orang tua yang melarangnya pulang ke rumah di Klaten, Jawa Tengah, selama hampir setahun.

Hastuti tak siap dengan perubahan yang terjadi pada tubuhnya, dan juga saat harus menyesuaikan diri dengan tugas baru sebagai seorang istri sekaligus menantu.

“Banyak bertengkar, banyak sedihnya. Apalagi saat anakku lahir, kaget karena istilahnya ngurus diri sendiri saja belum bisa saat itu,” kenang Hastuti ketika ditemui BeritaBenar, Rabu, 7 September 2017. Putri semata wayangnya kini berusia 21 tahun.

Kisah sedih juga dialami Kartini (19), yang menikah pada usia belia. Ia dan putrinya yang baru 2 tahun tinggal bersama kedua orang tua kandungnya setelah terjadi pertengkaran dengan mertuanya.

“Setiap hari bertengkar, tetangga sampai mendengar, suaminya juga tak ada,” tutur Eko Widiarto (25), tetangga terdekat Kartini yang juga teman suaminya sejak kecil.

Berbeda dengan Ayuk (20), warga Delanggu, Klaten. Karena keterbatasan ekonomi, Ayuk tak melanjutkan pendidikan setelah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA).

Usai menganggur setahun, dia memutuskan untuk menikah dengan pujaan hatinya yang selisih usia tidak jauh berbeda.

Meski menikah pada usia dini dan telah punya anak, tapi saat bermain dengan teman-temannya, Ayuk tak canggung.

“Mantap menikah daripada menganggur tanpa kegiatan,” katanya, menambahkan ia bebas dari bahan gunjingan di desanya yang melihat negatif pemuda pemudi pengangguran.

Berbagai faktor

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto, menyebutkan banyak anak Indonesia berusia di bawah 18 tahun yang menikah karena berbagai faktor, antara lain dorongan orang tua, alasan ekonomi dan hamil.

“Begitu lulus (SMP/SMA), mereka dilamar dan orang tua menerima. Apa lagi pandangan masyarakat tertentu bahwa perempuan yang menikah di atas usia 20 disebut sebagai perawan tua,” ujar Susanto, saat dihubungi BeritaBenar.

Al Munawar, seorang tokoh Nahdlatul Ulama Kota Solo mengemukakan jika ditilik dari agama Islam, batasan usia menikah adalah sudah baligh. Untuk perempuan ditandai dengan menstruasi, sedangkan pria sudah mimpi basah.

“Solusi banyaknya pernikahan dini yang berakhir buruk bukan dengan menaikkan batas usia pernikahan, tapi memberikan bimbingan dan pendampingan,” ujarnya.

Pernyataan Al Munawar ini tidak mengejutkan.

Sebagian masyarakat Indonesia yang cenderung bergerak menuju konservatisme tampak memberikan ruang bagi pernikahan dini, melihatnya sebagai suatu tuntutan agama. Media sosial ikut berperan mempropagandakannya dalam bungkus yang mewah. Sejumlah akun Instagram dengan ratusan ribu followers seperti gerakannikahmuda dan indonesiatanpapacaran, aktif mempromosikan pernikahan dini.

Rentan dan UU Perkawinan

Perempuan yang menikah dini rentan mengalami putus sekolah sehingga sebagian besar mereka hanya berpendidikan rendah. Mereka yang menikah karena alasan ekonomi, banyak tetap berada dalam kemiskinan.

“Tantangan saat ini cukup berat karena kebutuhan tidak hanya pada relasi biologis, tapi juga kebutuhan pematangan secara psikologis. Tantangan mengasuh anak juga semakin kompleks,” ujar Susanto.

Berbagai upaya dilakukan untuk menghentikan pernikahan dini seperti menginisisasi kota layak anak, advokasi perkawinan usia 21 tahun yang disampaikan langsung kepada anak, keluarga, sekolah, dan masyarakat, serta mendorong wajib belajar 12 tahun.

“Memang pendewasaan usia menikah itu menjadi ikhtiar kita,” ujarnya

Namun hal ini tampaknya tidak mudah. Sementara Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak mengatakan anak-anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, UU Perkawinan no. 1/ 1974 mensyaratkan batas minimal usia pernikahan untuk perempuan adalah 16 tahun dan pria 19 tahun.

Pada tahun 2015 sempat dilakukan usaha merevisi UU tersebut untuk menaikkan batas usia menikah, dimotori oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), didukung sejumlah kementerian dan jaringan LSM peduli perempuan dan anak.

Kepala BKKBN Pusat saat itu, Fasli Jalal, seperti dikutip di detik.com. mengatakan salah satu penyebab tingginya angka kematian ibu di Indonesia adalah banyaknya perempuan yang menikah di usia muda.

"Sebenarnya dari sisi kesehatan 18 tahun juga masih belum cukup, idealnya 20 tahun ke atas. Kalau wanita hamil di bawah umur ada risiko pendarahan dan preeklampsia, nah anaknya lahir berat badan rendah dan gangguan perkembangan otak," ungkap dr Mujaddid, MMR, Kepala Sub Direktorat Bina Kesehatan Anak Kementerian Kesehatan pada saat itu, dikutip di laman yang sama.

Upaya revisi UU Perkawinan mendapat penolakan dari Kementerian Agama dan organisasi besar Islam yang beralasan kenaikan batas usia nikah akan mendorong pergaulan bebas. Mahkamah Konstitusi juga tidak meloloskan revisi itu.

Kembali meningkat

Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) dan UNICEF tahun 2016, angka pernikahan di bawah usia 18 tahun dari 2008 hingga 2015 berada di kisaran 23 persen.

Meski telah mengalami penurunan tiga kali lipat dalam tiga dekade terakhir, tapi jumlah tersebut masih tinggi di kawasan Asia Timur dan Pasifik.

“Prevalensi pernikahan usia anak di Indonesia tidak hanya tetap tinggi tetapi prevalensi tersebut juga telah kembali meningkat,” papar Ketua BPS, Suryamin dalam laporan yang diterima BeritaBenar.

Menurut Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) yang digelar tahun 2008 hingga 2012 sekitar 340.000 perempuan menikah sebelum mencapai usia dewasa setiap tahun atau lebih dari seperenam perempuan di Indonesia.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.