Pemerintah Didesak Terbitkan Perppu Cegah Perkawinan Anak

Rancangan Perppu yang diusulkan kalangan masyarakat sipil sedang dibahas, tapi belum jelas kapan diterbikan.
Keisyah Aprilia
2018.06.15
Jakarta
180615_ID_childmarriage_1000.jpg Dua pasangan remaja yang mengenakan baju adat Kaili melakukan foto bersama setelah mengikuti pernikahan massal di Palu, Sulawesi Tengah, akhir Januari 2018.
Keisyah Aprilia/BeritaBenar

Kalangan aktivis masyarakat sipil mendesak pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mencegah perkawinan anak, menanggapi maraknya pernikahan pasangan di bawah umur.

Akhir Mei lalu, dunia maya tanah air diramaikan rencana perkawinan siswa SD dengan siswi SMP di Tulungagung, Jawa Timur, karena hamil di luar nikah.

Pasangan itu hendak dinikahkan orang tua mereka, namun Kantor Urusan Agama (KUA) Tulungagung menolak karena keduanya masih di bawah umur.

Orangtua mereka lalu mengajukan dispensasi ke pengadilan agama setempat agar diberi keringanan untuk menikah. Hingga kini, belum ada putusan apakah kedua anak tersebut mendapat dispensasi untuk dinikahkan.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto menyebut, pernikahan bukan solusi dalam menangani kasus seperti itu, karena akan dapat mengakibatkan putusnya pendidikan, dampak negatif psikologis, hingga kerentanan konflik keluarga.

Karena itu, dia meminta pemerintah agar segera menerbitkan Perppu untuk mencegah perkawinan anak.

"Usia anak harus dilindungi karena perwakinan bukan solusi terbaik bagi anak. Apapun bentuk regulasinya amat penting untuk segera diterbitkan. Perppu bisa menjadi solusi. Hal prinsip yang diperlukan ialah memaksimalkan pencegahan perkawinan dini," ujarnya kepada BeritaBenar di Jakarta, Selasa, 12 Juni 2018.

"Dalam sejumlah kasus kami mendapatkan aduan bahwa anak yang menikah dini punya kerentanan tinggi mengalami konflik di tengah keluarga."

Dispensasi

Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, menilai penaikan batas minimal usia pernikahan dan dispensasi pengadilan agama yang diatur dalam Undang-Undang No 1/1974 tentang Perkawinan menjadi poin krusial yang perlu dibenahi.

Mariana berpendapat dispensasi yang dikeluarkan pengadilan agama memberikan celah untuk memudahkan pernikahan anak. Apalagi sebagian besar pengajuan dispensasi atas permintaan pihak keluarga anak.

"Harus diakui memang faktanya masih ada legalitas negara. Oleh karena itu, sebaiknya dispensasi dihapus," katanya.

Dia mengutarakan kasus di Tulungagung bukan yang pertama kali terjadi tahun ini. Pada April lalu, terjadi pernikahan sepasang pelajar SMP yang masih berusia 14 dan 15 tahun di Bantaeng, Sulawesi Selatan.

Pasangan itu semula juga ditolak KUA setempat. Namun, mereka kemudian mengajukan permohonan dispensasi ke pengadilan agama dan dikabulkan, akhirnya dinikahkan.

Juru bicara Kementerian Agama (Kemenag) Mastuki, menyebutkan KUA selalu menolak pasangan yang mengajukan pernikahan usia anak karena UU Perkawinan mengatur usia minimal menikah bagi perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun.

Namun, dia tidak menapik banyak permintaan rekomendasi ke pengadilan agama untuk menikahkan pasangan di bawah umur.

"Kewenangan kami terbatas di KUA. Jika ada permintaan pernikahan, tetapi masih di bawah usia yang sudah ditentukan, akan ditolak," terangnya.

Menurutnya, para penghulu yang menikahkan pasangan bawah umur terdesak karena perintah pengadilan agama yang mengeluarkan dispensasi.

Karena itu, pihaknya mendukung usulan perbaikan regulasi dalam bentuk apapun untuk menaikkan batas minimal usia perkawinan.

"Usulan itu juga telah dibicarakan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Menteri Agama," ucapnya.

340 ribu kasus

United Nations Children’s Fund (Unicef) menyebut Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara dengan perkawinan anak tertinggi di dunia.

Indonesia berada di urutan ketujuh dengan angka absolut dan tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja.

Menurut laporan Unicef dan Badan Pusat Statistik (BPS), setiap tahun, ada rata-rata 340 ribu kasus pernikahan anak di Indonesia. Jumlah itu setara dengan 23% total pernikahan di In­donesia.

Masih menurut laporan yang sama, pada 2008 tercatat perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun mencapai 27,4%. Pada 2015 angka itu menjadi 23%.

Sulawesi Barat, Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Papua Barat merupakan lima provinsi tertinggi yang memiliki kasus perkawinan usia anak.

Sedang dibahas

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, mengakui perkawinan anak dalam situasi darurat. Dia mengaku saat ini tengah membahas usulan Perppu mengenai pencegahan perkawinan anak.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo, sebut Yohana, mendukung pembahasan Perppu yang telah diusulkan organisasi masyarakat sejak dua tahun lalu.

"Jadi rancangan Perppu sudah dibicarakan dan Pak Presiden setuju. Rancangan Perppu sudah dibuat oleh ormas," ucapnya, tanpa bisa memastikan kapan Perppu itu rampung.

Dia menegaskan perkawinan anak harus bisa dicegah. Pasalnya, lanjut Yohana, berbagai kajian membuktikan perkawinan anak berpengaruh terhadap kualitas dan pertumbuhan manusia serta perkembangan generasi selanjutnya.

"Di beberapa daerah terbukti perkawinan anak menurunkan indeks perkembangan manusia, pembangunan kesadaran gender, tingginya kemiskinan, tingginya angka kematian ibu dan pendidikan yang rendah," imbuhnya.

Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden, Sylvana Apituley, mengatakan rancangan Perppu usulan masyarakat sipil sudah dibaca Presiden Jokowi, tetapi dia tidak bisa memastikan kapan beleid itu akan diterbitkan.

"Yang terpenting ada dua substansi dalam Perppu yakni peningkatan usia perkawinan dan penghapusan dispensasi pengadilan. Sehingga perkawinan anak bisa ditekan,” pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.