Setelah 15 Tahun di Guantanamo, Terduga Pelaku Bom Bali akan Disidang

Hambali dan dua warga Malaysia akan menjalani persidangan di Guantanamo, 30 Agustus terkait dakwaan terorisme.
Shailaja Neelakantan
2021.08.27
Washington
Setelah 15 Tahun di Guantanamo, Terduga Pelaku Bom Bali akan Disidang Polisi Indonesia memeriksa jasad korban serangan bom di klub malam Paddy’s Club di Kuta, Bali, 13 Oktober 2002.
Reuters

Tiga tersangka Bom Bali 2002, termasuk “Osama dari Asia Tenggara,” akhirnya akan menjalani persidangan mulai hari Senin, 15 tahun setelah dibui di penjara militer AS di Teluk Guantanamo, Kuba.

Berdasarkan banyak data dan laporan, ini akan menjadi pertama kalinya media Amerika akan melihat ketiga tahanan – dua warga negara Malaysia dan seorang warga negara Indonesia – sejak mereka dikirim ke penjara yang terkenal itu. Seorang analis mengatakan persidangan mereka hanya akan mengingatkan kembali pada tuduhan pelecehan dan penyiksaan di Gitmo, nama lain dari penjara Guantanamo dan menjadi cermin buruk bagi Washington, tidak lama setelah Taliban mengambil alih kembali kekuasaan di Afghanistan.

Persidangan tersebut akan kembali menarik perhatian ke beberapa serangan bom di Bali dan Jakarta selama 2002-2003 – yang menewaskan total 214 orang. Sebab, sebagaimana dijelaskan Juru Bicara Kantor Komisi Militer, jaksa penuntut umum akan membacakan dakwaan terorisme terhadap ketiga tersangka yang akan dihadirkan di ruang sidang.

“Selama  bertahun-tahun, tidak ada yang pernah melihat para terdakwa, kecuali pengacara mereka,” kata juru bicara Ron Flesvig kepada BenarNews, merujuk pada Hambali dan dua warga negara Malaysia yang akan disidang.

Pada sidang dakwaan ini, ketiga terdakwa seharusnya mengajukan pembelaan apakah mereka bersalah atau tidak bersalah. Tapi dalam proses ini, seorang terdakwa dapat menunda mengajukan pembelaan juga, jika hakim mengizinkannya, katanya.

“Terdakwa juga dapat melepaskan hak mereka untuk mendengarkan dakwaan, tetapi penuntut akan tetap membacakan dakwaan kepada mereka,” kata Flesvig.

Tuduhan tersebut termasuk konspirasi, yaitu tuduhan jaksa bahwa terdakwa berkonspirasi dengan pemimpin al-Qaeda Osama bin Laden dan lainnya untuk melakukan serangan teroris di kawasan Asia Tenggara dan di tempat-tempat lain. Pemerintah Amerika mengatakan bahwa Hambali disebut-sebut telah bertemu Osama pada tahun 1996 di Afghanistan.

Hambali, yang bernama asli Encep Nurjaman, ditangkap di Thailand pada Agustus 2003 bersama dua orang Malaysia, Mohammad Nazir Lep dan Mohd Farik Bin Amin. Mereka dikirim ke jaringan penjara rahasia CIA sebelum dipindahkan ke penjara di Teluk Guantanamo pada September 2006.

Hambali, yang dijuluki “Osama bin Laden Asia Tenggara,” menghadapi delapan dakwaan teror terkait bom Bali, sedangkan kedua warga Malaysia menghadapi sembilan dakwaan, namun mereka tidak terancam dengan hukuman mati dari dakwaan tersebut.

 

Seorang turis duduk di dekat tugu peringatan untuk korban yang meninggal dunia dalam Bom Bali 2002 yang dibangun di lokasi Paddy's Pub yang hancur di Jalan Legian, di Kuta, Bali, 24 November 2008. [Reuters]
Seorang turis duduk di dekat tugu peringatan untuk korban yang meninggal dunia dalam Bom Bali 2002 yang dibangun di lokasi Paddy's Pub yang hancur di Jalan Legian, di Kuta, Bali, 24 November 2008. [Reuters]

Hambali orang yang ‘sangat pintar, kreatif dan karismatik’

Zachary Abuza, pakar keamanan Asia Tenggara dan profesor di National War College di Washington, mengatakan tidak ada waktu yang lebih buruk bagi Indonesia dan Malaysia dengan mulainya persidangan para tersangka bom Bali ini.

Pengambilalihan Taliban atas Afghanistan dapat memberi energi kepada militan di Asia Tenggara dan jika Hambali dikirim kembali ke Indonesia – tergantung pada bagaimana dia memohon – Jakarta “tidak ingin pusing karenanya,” kata Abuza.

Hambali adalah dalang operasional Jemaah Islamiyah (JI), sebuah kelompok militan Asia Tenggara yang berafiliasi dengan al-Qaeda, kata AS.

Dan JI telah melihat kebangkitan di Indonesia, kata Abuza.

“[Pihak berwenang di Indonesia] gugup dengan pertumbuhan JI – ketika kepala operasional JI dipulangkan ke sana. Hal itu akan memotivasi komunitas [militan],” kata Abuza kepada BenarNews.

“Gagasan bahwa adanya orang lain yang melawan dan diperlakukan secara mengerikan oleh Amerika adalah dapat menjadi seperti rejeki nomplok bagi para militan. Hambali adalah contoh utama tentang kegigihan dalam memerangi ‘musuh kafir’ yang besar,” tambahnya, merujuk pada perlakuan para tahanan di Gitmo.

Nasir Abbas, mantan anggota JI di Indonesia, sependapat dengan Abuza.

Hambali adalah “orang yang sangat cerdas, kreatif, dan karismatik, sehingga orang mudah terpengaruh olehnya,” ujar Nasir, yang kini bekerja dengan polisi dalam upaya deradikalisasi, kepada BenarNews.

“Dia telah berhasil bertahan di Guantanamo selama ini. … Seperti yang Anda tahu, tidak mudah menjadi tahanan di Guantanamo. Ini adalah poin kredit baginya di mata para jihadis.”

Nasir mengaku kenal dengan Hambali saat keduanya menjalani pelatihan di akademi militer di Afghanistan. AS mengatakan Hambali juga berperang melawan pasukan Soviet di Afghanistan pada 1986-1987.

 

Encep Nurjaman, alias Hambali, dalam foto yang tidak ada tanggalnya, yang disediakan oleh Kantor Jaksa Federal di pangkalan militer AS di Teluk Guantanamo, Kuba. [Kantor Jaksa Federal via AP]
Encep Nurjaman, alias Hambali, dalam foto yang tidak ada tanggalnya, yang disediakan oleh Kantor Jaksa Federal di pangkalan militer AS di Teluk Guantanamo, Kuba. [Kantor Jaksa Federal via AP]

Tuduhan AS terhadap terdakwa adalah ‘mimpi buruk’

Pejabat Indonesia telah mengindikasikan di tahun 2016 bahwa jika Hambali dibebaskan, mereka enggan menerima pemulangannya karena khawatir kepulangannya dapat memicu kebangkitan sel-sel teror domestik.

Ternyata hingga kini mereka masih merasakan hal yang sama.

Ketika BenarNews bertanya mengenai prospek persidangan Hambali, Teuku Faizasyah, juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, mengklaim Hambali bukanlah warga negara Indonesia.

Sementara di Malaysia, mereka “telah bersiap untuk momen ini”, kata Abuza.

“Kedua terdakwa Malaysia [di Gitmo] tetap sangat yakin akan tindakannya dan sangat berkomitmen … mereka benar-benar garis keras,” kata Abuza, mengutip informasi yang dia dapatkan dari pejabat Malaysia yang melakukan perjalanan ke Gitmo dan bertemu dengan terdakwa.

“Malaysia selama ini memantau dan mengasumsikan Amerika akan melakukan sesuatu.”

Kepala pasukan antiterorisme Malaysia, Normah Ishak, mengulangi apa yang dia katakan pada Januari: bahwa persidangan akan memberi kesempatan kepada terdakwa untuk membela diri.

Ketika ditanya apakah keduanya harus kembali ke Malaysia, dia tidak menjawab "ya" atau "tidak."

Kepada BenarNews, Normah hanya mengatakan bahwa “sebagai warga negara Malaysia, mereka memiliki hak untuk pulang.”

Abuza mengatakan dia terkejut ketika tanggal pengadilan disebutkan pertama kalinya pada bulan Januari.

“Saya tadinya yakin bahwa mereka telah mencapai tawar-menawar pembelaan …. Lalu bagaimana Amerika akan terlihat bagus karena hal ini?” ujarnya.

Menurut analis yang juga kontributor tetap BenarNews itu, dari sisi hukum, kasus ketiganya adalah “mimpi buruk”. Analis tersebut mengatakan bahwa setiap informasi yang diperoleh dari interogasi terhadap terdakwa jadi meragukan karena tuduhan penyiksaan Gitmo.

“Itulah sebabnya saya sangat yakin akan ada semacam kesepakatan di mana Hambali mengaku bersalah atas beberapa tuduhan dan dikembalikan ke Indonesia, mungkin dengan vonis yang sudah dijalaninya.”

Tria Dianti di Jakarta, dan Muzliza Mustafa dan Noah Lee du Kuala Lumpur, berkontribusi pada berita ini .

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.