Merajut Silaturrahmi Antara Penyintas dan Eks Pelaku Teror
2018.02.26
Jakarta

Perempuan 38 tahun itu tergopoh-gopoh mendatangi rekannya yang berusia lebih tua 10 tahun darinya di lorong sebuah hotel mewah di Jakarta, Senin pagi, 26 Februari 2018.
Tiba-tiba mereka terdiam saat belasan pria melintas di belakangnya. Setelah rombongan itu lewat, keduanya baru berani bersuara.
“Seram-seram ternyata mereka. Aku nggak tahu sanggup apa nggak nih,” ujar seorang dari mereka.
Celotehan itu ditimpali santai rekannya.
“Kalau lagi lihat mereka, ganti saja bayangan mereka jadi Ariel Peter Pan misalnya,” ujarnya, merujuk pada seorang penyanyi ternama.
Kedua perempuan itu tertawa sesaat dan kembali terdiam ketika rombongan lain melintas.
Mereka adalah dua dari seratusan lebih korban selamat dari teror bom yang mengguncang Hotel JW Marriott, Jakarta, 5 Agustus 2003 silam.
Serangan bom mobil yang dikendarai pelaku, Dani Dwi Permana dan Nana Ikhwan Maulana, menewaskan 12 orang.
Kedua perempuan itu dan para rombongan pria tersebut berada di sana untuk menghadiri acara “Silaturahmi Kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Satukan NKRI)”, yang digagas oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris, menyatakan melalui pertemuan itu diharapkan para mantan narapidana terorisme (napiter) yang belum kooperatif akan terbuka matanya.
"Teman-teman yang sudah kooperatif akan membisikkan ke mereka, 'korbannya mereka, bukan kita (para polisi).’ Kok masih mau berulah?" ujar Irfan saat pembukaan acara.
Menurutnya, panitia mengagendakan pertemuan para penyintas dan eks teroris pada hari pertama dan kedua dilakukan secara tertutup. Kemudian pada hari terakhir akan dilakukan dialog yang direncanakan akan dihadiri beberapa menteri.
Ini merupakan kegiatan pertama digelar untuk mempertemukan para penyintas dan mantan napiter sejak serangan teror bom Bali pada 12 Oktober 2002 yang menewaskan 202 orang.
Sekretaris Utama BNPT, Mayjen R. Gautama Wiranegara, saat membuka acara menyebutkan bahwa kegiatan tersebut sebagai terobosan untuk memajukan program penanggulangan terorisme di masa mendatang.
“Semoga dari acara ini bisa menjadi wadah untuk menyalurkan opini dan saran yang produktif kepada pemerintah,” katanya.
“Masukan dari peserta, pastinya cukup beragam sehingga membutuhkan kerja sama lintas sektoral terutama di bidang pendidikan, pemberdayaan ekonomi dan kesehatan. Karena itu kami akan menghadirkan beberapa menteri terkait di akhir acara.”
Sempat khawatir
Kedua perempuan itu menilai pertemuan mereka dan eks teroris sangat bermanfaat meski sempat khawatir karena jumlah mantan napiter yang hadir cukup besar, yakni 124 orang, sementara para penyintas hanya 51 orang.
“Segala sesuatu yang baik harus kita sambut baik, tapi yang namanya kekhawatiran itu pasti ada,” tutur seorang dari mereka kepada BeritaBenar seraya meminta agar nama mereka tak ditulis.
“Saya sendiri sudah ikhlas, jadi dengan silaturahmi ini, saya sambut dengan baik. (Pelaku) juga manusia juga. Kebetulan Muslim juga. Kenapa kita harus antipati, marah-marah lagi. Jadi dengan silaturahmi kita udah senang.”
Ketika ditanya apa yang akan pertama kali dilakukan jika berkesempatan berdiskusi dengan para mantan napiter, dia kembali menjawab dengan santai.
“Assalamu’alaikum. Kita berkenalan dulu. Lalu saya akan tanya apa yang bisa kita lakukan bersama saat ini dan ke depan. Saya ngga mau nanya ‘kenapa sih mas dulu begini? Kenapa sih dulu begitu?’ Udah. It’s already in the past. Sekarang kita mau omongin now and the future. Ngga usah membuka luka lama,” ujarnya.
Rekannya menimpali bahwa mereka hanya berharap Indonesia lebih aman lagi ke depan.
“Kita ingin jangan ada lagi peristiwa-peristiwa teror. Berarti ke depannya keamanan harus ditingkatkan supaya rakyat Indonesia aman, damai, dan tenteram,” tuturnya.
Mereka berharap kepada pemerintah agar memperhatikan kesehatan para korban serangan teror karena masih banyak dari mereka yang membutuhkan.
“Tolong jangan dibatasi perawatan kesehatannya karena banyak masih yang menderita usai kejadian. Karena ternyata masih ada serpihan bom yang tersisa di tubuh, tapi sudah tak bisa check up lagi. Kita mohon sekali kepada pemerintah,” katanya.
Biasa saja
Sofian alias Acong adalah salah seorang mantan napiter kasus Poso di Sulawesi Tengah. Pria asal Jakarta ini menganggap pertemuan tersebut sama seperti kegiatan lain.
“Misalnya pertemuan antara pelaku pembunuhan biasa dengan keluarga korban. Namun karena ini dinilai sebagai extraordinary crime, jadi besar di media. Silaturahim sendiri adalah sifat bangsa Indonesia,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Sofian berkisah bahwa dirinya ikut pergerakan di Poso karena merasa melihat adanya ketidakadilan di sana menyusul konflik komunal antara warga Kristen dan Muslim yang terjadi antara tahun 1998 – 2000 di Poso.
“Ketidakadilan di segala bidang, termasuk ekonomi. Saya berasal dari keluarga menengah ke bawah. Saya merasakan tuntutan ekonomi. Saat ini misalnya biaya listrik cukup membuat saya terengah-engah. Jadi saya merasa terpanggil dalam aksi yang merupakan bentuk perlawanan terhadap pemerintah pusat,” ujar Sofian.
Dia berharap usai pertemuan tersebut ada sesuatu yang bisa diaplikasikan.
“Misalnya bagaimana kita bekerja sama. Jangan sampai jadi seremonial belaka,” tukasnya.