Polisi Buru Perusak Gereja Katolik di Sumatera Selatan
2018.03.09
Jakarta

Polisi masih terus memburu enam orang yang diduga terlibat perusakan Kapel Santo Zakharia di Desa Mekar Sari, Kecamatan Rantau Alai, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan (Sumsel). Hingga kini, polisi belum bisa menyimpulkan motif penyerangan itu.
Kapolda Sumsel, Irjen. Pol. Zulkarnain Adinegara, menyebutkan timnya masih melakukan pendalaman dengan mengembangkan keterangan dari para saksi yang berada di lokasi kejadian.
“Sementara ini, para pelaku belum terdeteksi karena peristiwanya berlangsung sangat cepat. Tentu kita akan berusaha menangkap mereka secepat mungkin,” katanya kepada BeritaBenar, Jumat, 9 Maret 2018.
Enam pria yang belum diketahui identitasnya masuk ke dalam gereja umat Katolik itu dengan merusak pintu, memecahkan kaca jendela, Kamis dinihari, 8 Maret 2018.
Mereka merusak kursi dan mengacak-acak seluruh ruangan. Pelaku juga mengumpulkan seluruh barang dalam gereja dan membakarnya.
Menurut saksi mata, para pelaku datang dengan tiga sepeda motor. Setelah ada warga yang melihat aksi para pelaku, mereka langsung melarikan diri dan tidak berhasil dikejar warga.
"Masyarakat sekitar gereja yang melihat langsung membantu menyiram api, sehingga kebakaran besar tidak terjadi, namun pelaku yang juga membawa senjata tajam tidak sempat dikejar oleh warga," jelas Zulkarnain.
Gereja yang dibangun sejak tahun 2000 itu baru selesai direnovasi dan diresmikan kembali oleh Uskup Palembang, pada Minggu, 4 Maret 2018.
Polisi memastikan tak ada sengketa atau konflik antara jemaat dan warga sekitar soal keberadaan Kapel Stasi Santo Zakharia Rantau Alai – Paroki Seberang Ulu tersebut.
"Kalau dari data kami, tidak pernah ada gejolak agama, apalagi konflik tanah. Termasuk apakah keberadaan kapel ini ditolak warga juga tidak ada," kata Kapolres Ogan Ilir, AKBP Ghazali Achmad, seperti dikutip dari Detik.com.
Menurutnya, selama ini warga sekitar menjalani aktivitas dengan damai. Bahkan warga saling gotong-royong dalam melakukan kegiatan kemasyarakatan.
"Tidak ada yang hilang kalau di dalam kapel pasca-perusakan, hanya mesin pompa air saja dan itu letaknya di luar. Kami juga heran kok tiba-tiba ada kabar kapel dirusak. Padahal di sini warga hidup rukun," ujarnya.
Harus diusut
Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, mendesak polisi agar serius menyelidiki motif di balik aksi penyerangan tersebut.
“Sepertinya ada pola untuk membenturkan kerukunan antar-umat beragama yang selama ini terbangun dengan baik. Polisi harus mengusut tuntas,” katanya kepada BeritaBenar.
Dahnil mengucapkan bela sungkawa pada umat Katolik di Sumsel. Ia minta masyarakat tidak terpancing dan tak perlu cemas dengan bentuk provokasi seperti itu.
“Saya kira masyarakat kita sudah cukup bijak dan dewasa. Apalagi menurut keterangan warga sekitar, selama ini tidak ada masalah apapun yang terjadi di sana,” katanya.
Sementara pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh Lhokseumawe di Aceh, Al Chaidar tak yakin aksi perusakan gereja di Sumsel dilakukan orang-orang yang berafiliasi dengan kelompok teroris.
“Biasanya (aksi kelompok teror) pasti ada sasaran orang tertentu. Bahwa hanya sekadar menimbulkan ketakutan memang iya, tapi di sana tidak pernah ada singgungan dengan kelompok radikal,” katanya saat dihubungi.
Menurutnya, jika merujuk pada aksi yang terjadi belakangan ini, memang kuat ada motif lain di balik aksi penyerangan tersebut.
“Ini tahun politik, kan bisa saja ini bagian dari skenario besar lain untuk memecah belah persatuan,” ujarnya.
Penyerangan berulang
Pertengahan bulan lalu Gereja St. Lidwina Bedog di Sleman, Yogyakarta, diserang seorang pemuda dengan bersenjatakan pedang. Lima orang terluka termasuk jemaat dan pendeta dalam serangan yang dilakukan Suliyono, pemuda, yang menurut polisi sempat ingin pergi ke Suriah namun gagal itu.
Kekerasan juga terjadi atas Biksu Mulyanto Nurhalim dan pengikutnya di Desa Caringin, Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang, Banten, 7 Februari 2018.
Mereka dilarang menjalankan kegiatan keagamaan, karena dianggap menyalahgunakan fungsi tempat tinggal menjadi rumah ibadah.
Pada 1 Februari 2018, ustaz HR. Prawoto, Komandan Brigade PP PERSIS di Blok Sawah Kelurahan Cigondewah Kaler Kota Bandung Jawa Barat, tewas dianiaya seorang pria. Menurut polisi, pelaku diyakini mengalami gangguan jiwa.
Belakangan isu penyerangan tokoh agama cukup berkembang di media sosial (medsos). Hal itu disinyalir kepolisian bermuatan politis.
"Dari penelusuran kami, pendalaman peristiwa yang terjadi di medsos, kami lihat motifnya lebih besar pada motif politik," ujar Kepala Satuan Tugas (Satgas) Nusantara Irjen. Gatot Eddy Pramono, Senin lalu.
Menurutnya, dengan tersebarnya berita atau isu penyerangan ulama, pelaku berharap masyarakat jadi resah dan menimbulkan ketakutan di kalangan ulama. Hingga akhirnya menyebabkan perpecahan di tengah masyarakat.
"Dengan adanya hal ini akan muncul konflik sosial yang ganggu persatuan bangsa," katanya.
Polisi telah menangkap belasan tersangka dari anggota Muslim Cyber Army (MCA) yang diduga menyebarkan berita bohong dan ujaran kebencian di medsos.
Konten provokatif bernada kebencian yang disebarkan antara lain terkait isu penganiayaan ulama, isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI), serta fitnah terhadap presiden, pemerintah, dan tokoh-tokoh tertentu.