Pesantren Belum Dimanfaatkan Maksimal untuk Deradikalisasi

Mantan anggota Gafatar menolak bila kelompoknya yang sudah dibubarkan pemerintah itu disebut radikal.
Ismira Lutfia Tisnadibrata
2018.02.20
Jakarta
180220_ID_Ponpres_1000.jpg Dalam foto tertanggal 14 Juni 2006 ini para santri di Pondok Pesantren Al Mukmin di Solo menyambut kedatangan pimpinan mereka, ulama radikal Abu Bakar Ba’asyir, yang juga adalah pemimpin spiritual Jemaah Islamiyah, kelompok teroris yang berada di balik Bom Bali dan sejumlah aksi teror lainnya di Indonesia.
AP

Pesantren dinilai belum terintegrasi dalam penanganan kelompok militan dan ekstremis karena lembaga pendidikan Islam tersebut belum menyediakan cukup ruang untuk mereka yang ingin tobat setelah terpapar ideologi radikal, demikian hasil penelitian Indonesian Muslim Crisis Center (IMCC) yang dipublikasikan Senin, 19 Februari 2018.

“Selama ini yang baru terjadi adalah pesantren untuk rehabilitasi korban narkoba, sementara untuk kasus terorisme tidak ada, “ ujar Direktur Eksekutif IMCC, Robi Sugara dalam acara diseminasi hasil penelitian tersebut di Jakarta, Senin.

“Kendala yang paling menonjol adalah pesantren merasa khawatir bahwa justru ketika kelompok itu berada di pesantren akan mempengaruhi santri lainnya,” tambah Robi.

Penelitian melalui wawancara terstruktur itu dilakukan oleh IMCC bersama Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah atau PPIM-UIN.

Penelitian dilakukan pada periode Oktober – November 2017 dengan 46 responden yang terdiri dari 20 mantan aktivis Negara Islam Indonesia (NII), 10 keluarga deportan atau returni dari Negara Islam Irak dan Suriah (IS), dan 16 mantan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).

Menanggapi hasil penelitian tersebut, mantan anggota Gafatar, Jefri, yang hanya menyebutkan nama depannya dan hadir dalam acara tersebut, menolak bila kelompoknya yang sudah dibubarkan pemerintah itu disebut kelompok radikal.

“Ini (Gafatar) organisasi terbuka, penganut semua agama ada. Opini yang dibuat oleh pemerintah saat kami dipulangkan menjadi stigma negatif buat kami dan keturunan kami,” ujarnya.

“Kami mau merubah lahan gambut menjadi lahan produktif, untuk ketahanan pangan. Tidak ada niat untuk menjadi radikal atau makar atau bertujuan menjadi partai politik,” tambahnya, merujuk pada lahan pertanian yang mereka buka di Kalimantan Barat dimana ribuan anggota Gafatar hijrah dari daerah asalnya masing-masing dan memulai hidup baru di sana sampai akhirnya dipulangkan oleh pemerintah pada 2016.

Dukung pesantren moderat

Ahmad Syafi’i Mufid, pendiri dan pengelola Pesantren Entrepreneur Kyai Demak di Purwakarta dan salah satu pembicara pada diseminasi hasil penelitian itu, meminta agar semua pihak mendukung pesantren yang moderat, namun dia juga tidak menampik adanya pesantren yang mengajarkan ajaran radikal.

Ahmad berharap dukungan pemerintah dalam hal seperti persyaratan untuk berdiri dipermudah dan legalitasnya diperjelas. Ketika sudah berdiri, pesantren juga berhak dapat bantuan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

“Guru-guru dan pengasuh pesantren juga perlu mendapat pemberdayaan dan pembaruan pengetahuan dalam hal kebijakan-kebijakan pemerintah supaya mereka tidak menafsirkannya sendiri,” ujar Ahmad kepada BeritaBenar.

Ahmad mengatakan bahwa salah satu target yang ingin dicapai oleh pesantrennya adalah mendirikan divisi khusus untuk edukasi kembali mereka yang pernah terpapar paham-paham bermasalah, walau saat ini program tersebut menjadi proses yang terus berjalan.

Selain peranan pesantren, penelitian juga mendapatkan pentingnya pengaruh orang terdekat yang sudah tobat. Mereka dianggap efektif dalam menyadarkan rekan-rekannya yang masih berideologi kekerasan karena orang terdekat mempunyai peranan penting dalam proses perekrutan masuk kelompok pro-kekerasan.

Belum maksimal

Pengamat terorisme Rakyan Adibrata membenarkan temuan itu bahwa pesantren belum dimanfaatkan secara maksimal oleh pemerintah untuk menangani mantan aktivis kelompok radikal dan deportan ISIS.

“Pesantren akan lebih baik dimanfaatkan daripada pembinaan di panti sosial, terutama di pesantren-pesantren yang moderat serta untuk menangani mereka yang simpatisan dan bukan pemikir utamanya,” ujar Rakyan kepada BeritaBenar.

“Kita tidak kekurangan mereka yang berpikiran moderat di Indonesia. Mereka harusnya bisa berperan lebih aktif,” tambahnya.

Pada akhir acara, para mantan militan membacakan deklarasi setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Nasir Abas, mantan kombatan di Afghanistan yang kini pegiat deradikalisasi dan Farihin, ketua Forum Komunikasi Alummi Afghanistan Indonesia, juga ikut membaca deklarasi.

“Itu sebenarnya suatu hal yang sangat bagus, dari para mantan NII, JI, Gafatar untuk berkomitmen menolak terorisme,” kata Nasir kepada BeritaBenar.

“Kami ikut deklarasi untuk tetap jaga Indonesia karena merupakan rahmat Tuhan dan semua warga negara berhak dan wajib menjaga persatuan dan kesatuan,” sambung Farihin.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.