Petani Kalbar Ragu Berladang, Khawatir Perparah Kabut Asap
2016.08.19
Pontianak

Rahman (42), seorang petani di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat (Kalbar), ragu untuk memulai perladangan tahun ini. Kabut yang mulai muncul menyurutkan niatnya untuk membersihkan ladang dengan cara membakar.
“Saya tak berani membakar padahal lahan sudah penuh ditumbuhi rumput. Membakar merupakan satu-satunya cara kami meningkatkan kesuburan tanah, karena ladang kami miskin unsur hara,” tuturnya kepada BeritaBenar, Jumat, 19 Agustus 2016.
Kekhawatiran petani tradisional seperti Rahman muncul akibat maklumat Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Kalbar pada 7 Juli 2015 yang melarang pembakaran hutan dan kebun.
“Maklumat itu disertai pemasangan banyak spanduk di desa-desa membuat kami petani tradisional khawatir akan ditangkap. Tapi tanpa berladang, kami tak menghasilkan padi,” ucap Rahman.
Laporan Indonesia Economic Quarterly (IEQ) Bank Dunia pada Desember 2015 mengenai bancana kebakaran hutan di Indonesia mengatakan “Krisis ekonomi dan lingkungan yang parah berulang setiap tahunnya, ketika ratusan pengusaha dan beberapa ribu petani berspekulasi untuk mendapatkan keuntungan dari praktek pembukaan lahan dan perkebunan, yang mengakibatkan jutaan rakyat menanggung beban kesehatan dan ekonomi.”
Kalimantan termasuk salah satu dari lima provinsi yang telah ditetapkan dalam siaga darurat kebakaran hutan tahun ini, menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 12 Agustus lalu.
Data dari Stasiun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Pontianak yang diterima BeritaBenar menunjukkan peningkatan hotspot dalam dua hari terakhir yang mencapai 636 titik di 13 dari 14 kabupaten/kota yang ada di Kalbar. Padahal pekan lalu, hanya 144 titik api.
Pontianak yang merupakan satu-satunya daerah tanpa hotspot juga mulai terpolusi asap.
Harus dikritisi
Aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalbar, Hendrikus Adam, mengatakan maklumat Kapolda itu harus dikritisi.
“Larangan itu harus mempertimbangkan kearifan dan karakteristik lokal. Banyak petani khawatir mengerjakan ladang karena takut akan tersangkut kasus hukum,” kata Adam kepada BeritaBenar.
Anggota Badan Pelaksana Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalbar, Agapitus, menuturkan petani tradisional khawatir terhadap maklumat Kapolda yang disertai ancaman hukuman penjara minimal 3 tahun dan maksimal 10 tahun serta denda Rp 15 miliar bagi pelaku pembakaran hutan dan lahan (Karhutla).
Berdasarkan data Walhi Kalbar AMAN, tak ada petani tradisional yang tersangkut hukum karena dalam Karhutla 2015 karena penyebab bencana asap diduga akibat pembakaran lahan perusahaan perkebunan.
Menurut Agapitus, aktivis NGO rutin melakukan sosialisasi Undang-Undang Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009, dimana pasal 69 ayat (2) menyebutkan harus diperhatikannya kearifan lokal daerah masing-masing.
Kearifan lokal yang dimaksud adalah pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal dan dikelilingi sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke daerah sekeliling.
“Praktik perladangan tradisional telah mengantisipasi seperti dinyatakan dalam undang-undang itu. Petani selalu membuat sekat di pinggir ladang, dan tidak ada petani sanggup membuka ladang untuk menanam padi sampai 2 hektare,” jelas Agapitus.
Hendrikus menambahkan petani menanam padi hanya sekali setahun dengan sistem tadah hujan.
Menurut kalender perladangan tradisional, musim bakar lahan berlangsung sepanjang Agustus hingga September. Umumnya petani bergotong-royong menjaga agar api tidak merembet ke tempat lain dan membuat batas untuk menghalau menjalarnya api, yang dalam bahasa lokal disebut “meladang”.
Berdasarkan pantauan Walhi, ada sebagian petani di Kabupaten Kubu Raya yang memberanikna diri membersihkan lahan dengan cara membakar, berpegang pada kearifan lokal, meski dengan perasaan was-was.
Seorang ibu dan anaknya memakai masker melintasi kompleks perumahan di Pontianak, Kalimantan Barat, yang mulai diselimuti kabut asap, 18 Agustus 2016. (Severianus Endi/ BeritaBenar)
Solusi
Kabid Humas Polda Kalbar, Kombes. Pol. Suhadi SW, menyebut maklumat Kapolda yang diterbitkan tahun lalu, masih terus disosialisasikan ke desa-desa yang berpotensi tinggi tingkat kebakaran hutan dan lahan.
Menurut mapping tim gabungan lintas stakeholders, ada 135 desa di Kalbar yang rawan kebakaran sehingga membutuhkan pengawasan intensif, katanya kepada BeritaBenar.
Terkait kekhawatiran petani, Suhadi mengatakan ada strategi lain untuk membersihkan lahan, tanpa harus membakar. Polisi telah bekerja sama dengan Dinas Pertanian Kalbar untuk melakukan rekayasa teknologi pertanian melalui trichoderma.
“Cara kerjanya sangat mudah. Satu hektar lahan bila ditanami padi akan menghasilkan 16 ton jerami. Nah jerami ini tidak perlu dibakar, tetapi diberi jamur trichoderma yang akan menghasilkan 250 kilogram pupuk. Artinya tanpa membakar, lahan tetap subur,” ujarnya.
Tapi, menurut Rahman, solusi ini hanya bisa diterapkan di areal persawahan yang rutin ditanami setiap tahun.
“Sangat berbeda dengan praktik perladangan tradisional yang kondisi lahannya rumput cepat tinggi, dan ditumbuhi jenis kayu-kayuan setelah selesai panen,” katanya.
“Dalam hal perladangan tradisional, sangat rumit membuat pembusukan kayu-kayuan karena perlu waktu bertahun-tahun,” tambahnya.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kalbar, TTA Nyarong, mengatakan ada solusi untuk melakukan pembakaran lahan secara terkendali yaitu dengan koordinasi pelaporan secara berantai dari kepala desa, camat, hingga ke bupati.
“Tentukan waktu membakar dan pastikan unsur terkait yang disampaikan laporan, hadir di lokasi ladang yang sedang dibakar,” jelasnya.