Terkait PLTA Batang Toru, Walhi Minta Bertemu Perwakilan Bank of China
2019.03.20
Jakarta

Kelompok lingkungan hidup Walhi mengatakan, Rabu, 20 Maret 2019, bahwa pihaknya telah meminta pertemuan dengan perwakilan Bank of China untuk membahas proyek PLTA Batang Toru di Sumatra Utara yang menurut para aktivis dan ilmuwan mengancam kelangsungan hidup spesies orangutan paling langka di dunia.
Permintaan Walhi itu menyusul pernyataan Bank of China awal bulan ini bahwa mereka akan mengevaluasi proyek PLTA Batang Toru setelah muncul kekhawatiran akan dampaknya bagi satwa langka.
Dana Tarigan, Direktur eksekutif Walhi Sumatra Utara, mengatakan pihaknya menyambut keputusan bank, tetapi pembicaraan langsung sangat penting untuk mencapai pemahaman bersama menyangkut masalah tersebut.
"Soal ancaman lingkungan, sosial, dan keanekaragaman hayati ini cukup kompleks, dan kami berharap pertemuan itu dapat membantu mengklarifikasi dan meluruskan kesalahpahaman mengenai dampak nyata dari proyek ini," kata Dana, seraya menambahkan bahwa pihaknya telah mengusulkan pertemuan dengan perwakilan Bank of China pada 28 Maret.
Dana mengatakan Bank of China juga telah mengirim email ke Walhi tahun lalu dan berjanji untuk menyelidiki, tetapi tidak pernah diberitahu tentang hasil penelitian.
"Kami berharap bahwa kami akan mendapatkan jawaban yang tegas, bukan hanya kata-kata normatif dari pejabat Bank of China," katanya kepada BeritaBenar.
"Kami menghargai pernyataan itu, tetapi tidak ada artinya jika proyek berjalan terus," tambahnya.
PT North Sumatra Hydro Energy (NSHE), produsen listrik independen, di mana ZheFu Holding China memiliki saham mayoritas, adalah perusahaan yang membangun PLTA yang kapasitasnya 510 megawatt di hutan Batang Toru.
Kalangan aktivis dan ilmuwan lingkungan telah memperingatkan pembangkit listrik senilai $1,6 miliar tersebut akan membelah habitat dari 800 orangutan Tapanuli, dan meningkatkan risiko kepunahannya.
Erik Meijaard, Direktur Konservasi pada Borneo Futures dan dosen di Universitas Queensland, mengatakan pembangunan itu akan menghancurkan habitat orangutan di dataran rendah yang paling kritis, memutus hubungan antara habitat blok timur dan barat.
Dalam sebuah pernyataan di situs webnya pada 4 Maret, Bank of China mengatakan "mencatat kekhawatiran yang diungkapkan beberapa organisasi lingkungan tentang proyek bendungan pembangkit listrik tenaga air".
“Kami sangat mementingkan tanggung jawab sosial perusahaan dalam kegiatan global kami dan memastikan bahwa kegiatan bisnis kami mematuhi hukum dan peraturan setempat. Kami berkomitmen untuk mendukung perlindungan lingkungan secara global dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keuangan yang lestari,” katanya.
"Bank of China akan mengevaluasi proyek dengan sangat hati-hati dan membuat keputusan yang hati-hati dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan, pemenuhan tanggung jawab sosial, dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip komersial."
Direktur Jenderal Kelistrikan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Rida Mulyana, seperti dilansir sejumlah media massa, mengatakan proyek PLTA Batang Toru itu mengalami kemajuan dan akan selesai tahun 2022.
Proyek yang merupakan bagian One Belt, One Road Beijing – menyoroti bagaimana penggerak infrastruktur global China dapat mengancam lingkungan, menurut Bill Laurance, Direktur Pusat Ilmu Lingkungan Hidup dan Keberlanjutan Tropis di James Cook University di Australia.
Aliansi Peneliti dan Pemikir Lingkungan Terkemuka (ALERT) yang dipimpin Laurance mengirim surat ke Presiden Joko “Jokowi” Widodo, tahun lalu, yang mendesaknya untuk menghentikan pembangunan di habitat orangutan tersebut.
Pengadilan Tata Usaha Negara di Sumatra Utara awal bulan ini menolak gugatan yang diajukan Walhi yang menuntut izin untuk proyek dicabut dan memutuskan bahwa pembangunan dapat dilanjutkan.
Walhi Sumatra Utara telah mengajukan banding atas putusan tersebut, pada 13 Maret lalu.
Ekosistem Batang Toru adalah satu-satunya habitat bagi orangutan Tapanuli, yang ditemukan pada 1939 dan diidentifikasi sebagai spesies berbeda tahun lalu.
Baru-baru ini orangutan Tapanuli dimasukkan dalam daftar spesies yang terancam punah oleh Ikatan Internasional untuk Konservasi Alam.
NSHE membantah proyek itu akan mengancam habitat hewan yang dilindungi.
Dikatakannya bahwa proyek hanya akan mencakup area seluas 122 hektar, atau hanya 0,07 persen dari Ekosistem Batang Toru.
Hanya sebagian kecil dari wilayah proyek yang merupakan wilayah jelajah tujuh orangutan, katanya.
Ahli konservasi meramalkan bahwa proyek itu akan berdampak langsung pada 10 persen dari habitat orangutan yang semakin berkurang.
Proyek PLTA itu didukung China Export & Credit Insurance Corporation, juga dikenal sebagai Sinosure, sebuah perusahaan besar milik negara Cina, dan Bank of China.
Perusahaan teknik pembangkit listrik tenaga air Sinohydro yang berbasis di Beijing telah diberikan kontrak untuk membangun pembangkit listrik tersebut.
PLTA Batang Toru merupakan salah satu proyek prioritas pemerintahan Jokowi.
Cina bertujuan menghubungkan Beijing dengan Asia, Eropa dan Afrika dengan membangun jalan raya, kereta api, pelabuhan dan infrastruktur lain melalui program yang dinamai One Belt, One Road (OBOR).
PLTA Batang Toru bukan satu-satunya proyek yang didanai China yang memicu kontroversi di Indonesia.
Greenpeace menuduh pembangkit listrik tenaga uap Celukan Bawang di Bali telah "meracuni" masyarakat.
Pada Agustus lalu, pengadilan di Bali menolak gugatan yang diajukan oleh Greenpeace terhadap gubernur Bali dan memutuskan bahwa keputusan pemerintah daerah untuk mengeluarkan izin untuk proyek itu sah.