Jokowi: Indonesia Model Keberagaman
2017.04.18
Jakarta

Presiden Joko “Jokowi” Widodo menyatakan bahwa Indonesia dapat menjadi contoh penerapan keberagaman bagi negara-negara di Asia dan Afrika.
Hal itu disampaikannya saat berpidato pada peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA) ke-62 tahun di Istana Negara Jakarta, Selasa, 18 April 2017.
“Indonesia banyak dijadikan rujukan oleh negara-negara lain. Utamanya bagaimana mengelola keberagaman, suku, agama, ras,” kata Jokowi di hadapan perwakilan negara sahabat.
“Untuk menghormati keberagaman, saya mengajak seluruh pemimpin dunia untuk terus menyuarakan penghormatan terhadap kemajemukan.”
Ketika melakukan kunjungan ke beberapa negara, lanjut Jokowi, dia semakin menyadari bahwa banyak negara di dunia, termasuk negara-negara maju, sedang gelisah.
“Perasaan aman yang terganggu, toleransi mereka yang terkoyak, dihantui terorisme, dihantui ekstremisme, dihantui radikalisme. Dan mereka sedang mencari referensi nilai-nilai dalam mengelola keberagaman,” katanya.
Jokowi juga meminta agar masyarakat Indonesia tidak mudah terprovokasi dengan isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) karena dapat memperlemah kekuatan bangsa Indonesia.
“Jangan takut melawan tindakan-tindakan intoleransi dan kekerasan atas nama apa pun," tegasnya.
Menurut Jokowi, Indonesia memiliki falsafah pemersatu bangsa yaitu Bhinneka Tuggal Ika. Hal itu menjadi perekat persatuan kerukunan bangsa yang memiliki sekitar 1.340 suku bangsa, beragam ras dan agama.
Jokowi menambahkan, Presiden pertama Indonesia Soekarno sebagai pendiri bangsa pernah menyampaikan masalah menjaga kerukunan dan persatuan dalam pembukaan KAA di Bandung, 62 tahun silam.
“Jadikanlah prinsip live and let live, serta unity and diversity, menjadi kekuatan pemersatu yang akan membawa bangsa ini ke persahabatan dan diskusi yang bebas," kata Jokowi.
Pilkada dibayangi SARA
Pernyataan Jokowi ini disampaikan hanya sehari menjelang pemungutan suara Pilkada DKI Jakarta, yang sarat nuansa gesekan antargolongan.
Kandidat petahana, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, seorang Kristen dari etnis Tionghoa yang merupakan kelompok minoritas di Indonesia, oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai simbol pluralisme. Namun kelompok Muslim konservatif menganggap Jakarta tidak layak dipimpin minoritas.
Hal ini juga ditambah dengan tuduhan penodaan agama atas Ahok setelah sebuah pidatonya di Kepulauan Seribu yang mengutip ayat Al Maidah dinilai oleh sebagian Muslim sebagai menistakan Islam. Karenanya, sejumlah demonstrasi besar diinisiasi kelompok Muslim garis keras digelar menuntut Ahok dipenjara. Ahok saat ini menjadi terdakwa dalam kasus penistaan agama tersebut.
“Tidak bisa dipungkiri kasus itu menyumbang bara perpecahan di tengah masyarakat,” kata Yati Indriyani, Koordinator Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) kepada BeritaBenar atas tanggapannya terhadap kasus Ahok
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengatakan bahwa mereka mendapatkan 630 spanduk di Jakarta yang menghimbau umat Islam untuk tidak memilih calon non Muslim serta ancaman untuk tidak menshalatkan mayat pendukung Ahok.
Sementara kandidat lainnya, Anies Baswedan, yang sebelumnya dikenal sebagai sosok Muslim moderat, telah merangkul kelompok Muslim garis keras dan bertemu dengan pemimpin Front Pembela Islam (FPI) selama masa kampanye.
"Jakarta untuk semua, dan setiap warga Jakarta berhak berdiskusi dengan pasangan calon Anies-Sandi," kata Anies, seperti dikutip di detiknews mengenai alasannya bertemu FPI.
Ia juga menegaskan bahwa dia tidak akan membawa Jakarta menuju hukum syariah seperti apa yang menjadi tuntutan kaum konservatif.
Mengkhawatirkan
Setara Institute, lembaga yang fokus pada isu demokrasi dan perdamaian, akhir Januari lalu mengeluarkan kajian terkait intoleransi di Indonesia.
Menurut temuan Setara, kasus intoleransi di Jakarta meningkat, dengan 31 kasus yang terjadi pada 2016. Sedangkan, posisi pertama ditempati Jawa Barat dengan 41 kasus.
“Ini cukup mengejutkan mengingat Jakarta tidak pernah masuk lima besar kota dengan tingkat intoleransi selama beberapa tahun terakhir,” kata Wakil Ketua Setara, Bonar Tigor Naipospos saat merilis laporan tersebut, 29 Januari lalu.
Tak timbulkan perpecahan
Meski Pilkada Jakarta menjadi pemantik meningkatnya intoleransi di Indonesia, namun Ketua Bidang Hukum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Robikin Emhas, yakin pemilihan gubernur di ibukota tak akan menimbulkan kerusuhan bernuansa agama.
Gesekan yang ada selama ini, menurutnya, hanya bumbu dalam kontestasi politik.
“Saya yakin 100 persen tidak akan terjadi kerusuhan. Ini sementara, dan kelompok-kelompok intoleran itu hanya sebagian kecil,” katanya kepada BeritaBenar.
Dia menambahkan, selama ratusan tahun umat beragama di Jakarta dan Indonesia telah hidup berdampingan, tanpa menimbulkan perpecahan.
“Saya kira kerusuhan yang akan timbul akibat meningkat intoleransi ialah kekhawatiran berlebihan. Yang penting bagaimana kita menjaga diri agar tidak terpecah belah karena adu domba,” ujarnya.
Pendapat ini didukung oleh Peneliti senior Center for Strategic and International Studies (CSIS), J. Kristiadi.
“Segala pertentangan yang terjadi bisa diselesaikan. Jika kita mengabaikan hal itu, malah kita semakin mundur dari sejarah bangsa ini,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Kendati demikian, Robikin meminta penegakan hukum tegas terdahap aksi-aksi intoleran.
“Tidak hanya tegas pada aksi intoleran oleh kelompok masyarakat saja, tapi bagi siapa saja yang melewati batas toleransi itu juga,” katanya.