Papua Nugini ratifikasi perjanjian perbatasan jelang kemungkinan kunjungan Jokowi
2023.03.16
Port Moresby, Papua Nugini

Papua Nugini telah meratifikasi perjanjian yang mengatur perbatasan sepanjang 760 kilometer dengan Indonesia, setelah tertunda satu dekade, dalam upaya mengurangi potensi ketegangan kedua negara, kata Menteri Luar Negeri Papua Nugini Justin Tkatchenko.
Menurut Tkatchenko, kedua negara secara berkala meninjau perjanjian perbatasan, menambahkan bahwa Parlemen Papua Nugini sampai sekarang belum meratifikasi versi terbaru perjanjian perbatasan sejak 2013.
“Ratifikasi akan membuka jalan bagi kedua pemerintah untuk meninjau status perbatasan saat ini dan secara konstruktif menangani masalah-masalah luar biasa yang mempengaruhi hubungan kedua negara,” kata Menteri Luar Negeri Tkatchenko setelah pemungutan suara parlemen, Rabu.
Perbatasan yang melintasi dataran tinggi, rawa-rawa dan hutan lebat merupakan garis lurus yang membelah pulau New Guinea (Nugini) kecuali tonjolan berlekuk-lekuk yang mengikuti sungai sekitar 160 kilometer.
Garis pada peta adalah produk dari era kolonial, yang memisahkan kekuasaan pulau Melanesia itu antara wilayah kependudukan Belanda dan Australia.
Sejarah mencatat bahwa Indonesia menguasai bagian barat pulau New Guinea dari tangan Belanda pada awal 1960-an.
Melalui Perjanjian New York pada 1962 disepakati bahwa administrasi wilayah New Guinea bagian barat ditransfer dari Belanda ke Indonesia secara sementara hingga akhirnya dilakukan referendum dibawah pengawasan PBB paling lambat pada 1969 bagi rakyat Papua untuk memilih bergabung dengan Indonesia atau menjadi negara merdeka.
Akhirnya pada 1969, PBB melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua yang hasilnya penduduk Papua memilih untuk bergabung dengan Indonesia. Namun sebagian warga Papua dan para kelompok hak asasi manusia menyebut bahwa Pepera itu manipulatif karena mengikutsertakan hanya sekitar 1.000 warga yang telah ditunjuk untuk memilih bergabung dengan Indonesia
Gerakan kemerdekaan baik secara damai maupun melalui pemberontakan bersenjata oleh penduduk asli Papua melawan pemerintahan Indonesia telah berlangsung selama beberapa dekade dan memiliki dukungan akar rumput di Papua Nugini.
Pemerintah Papua Nugini sendiri mengakui kedaulatan Indonesia atas wilayah Papua.
Awal pekan ini, Kementerian Luar Negeri Papua Nugini mengatakan pihaknya mengharapkan kunjungan Presiden Indonesia Joko “Jokoi” Widodo pada bulan Juni, yang akan menjadi kunjungan pertama sejak 2015.
Theo Litaay, tenaga ahli Kantor Staf Presiden, mengatakan belum ada pembicaraan mengenai rencana Presiden Jokowi mengunjungi Papua Nugini.
“Sejauh ini belum ada pembicaraan (rencana kunjungan ke Papua Nugini),” kata Theo kepada BenarNews.
Perdana Menteri Papua Nugini James Marape telah melakukan kunjungan resmi ke Indonesia tahun lalu.
Tkatchenko mengatakan dirinya juga ingin membuat kemajuan dalam perjanjian kerja sama pertahanan yang telah lama terhenti dengan Indonesia, yang populasi, ekonomi, dan militernya jauh lebih besar daripada Papua Nugini.
“Sekarang (perjanjian perbatasan) ini telah disetujui, kami akan bekerja dengan rekan-rekan Indonesia kami untuk meninjau apa yang perlu diperbarui, berkonsultasi dan bekerja dengan Indonesia untuk melihat bagaimana kami dapat memperbaiki masalah perbatasan untuk kepentingan kedua pihak,” kata Tkatchenko.
“Keamanan perbatasan kita dengan kedua pasukan pertahanan bekerja sama melakukan patroli perbatasan bersama sangat penting untuk melindungi kedaulatan kedua negara kita,” katanya.
Para peneliti mengatakan bahwa Indonesia khawatir dengan prospek pergerakan pemberontak separatis kemerdekaan di antara kedua negara.
Selama beberapa dekade Indonesia sendiri telah secara berkala menyerbu ke wilayah Papua Nugini, disengaja dan tidak disengaja, menurut Pakar Hukum Internasional Universitas Gadjah Mada Harry Purwanto dan Dewa Gede Sudika Mangku dosen ilmu hukum Universitas Pendidikan Ganesha.
Orang Papua di sisi perbatasan Indonesia terkadang melarikan diri ke Papua Nugini untuk menghindari konflik antara pemberontak dan pasukan keamanan Indonesia, kata mereka.
Pada tahun 2021, satu kelompok bersenjata di Papua Nugini mengatakan akan mendukung para pejuang kemerdekaan Papua di Indonesia. Perdagangan sejumlah komoditi secara legal dan ilegal juga terjadi di perbatasan seperti biji vanili, ungkap para peneliti tersebut.
Ratifikasi perjanjian perbatasan, kata Tkatchenko, akan memungkinkan kedua negara bekerja untuk meningkatkan pengaturan imigrasi, bea cukai, dan perdagangan mereka.
“Ini memungkinkan kami untuk meninjau proses pengaturan perbatasan dan untuk melihat wilayah perbatasan yang sebenarnya antara PNG (Papua Nugini) dan Indonesia, tanah adat dan tanah tradisional PNG dan masyarakatnya,” ujarnya.