Polisi Antisipasi Potensi Kelompok Radikal di Poso
2018.05.23
Poso

Satu per satu kendaraan diperiksa polisi bersenjata lengkap ketika melintasi Jalan Trans Sulawesi, persisnya di pintu gerbang masuk Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), Selasa malam, 15 Mei 2018.
Tidak hanya mobil yang digeledah, sepeda motor pun tak luput dari pemeriksaan aparat kepolisian gabungan sekitar 30-an personel.
Pemandangan seperti itu sejatinya bukan hal baru di Poso, karena telah sering dilakukan setelah terjadi konflik komunal yang menewaskan lebih 1.000 orang, dua dekade silam.
Bagi sebagian warga wajar razia digelar sebab di Poso masih ada operasi perburuan sisa anggota Mujahidin Indonesia Timur (MIT), kelompok yang disebut telah berbaiat kepada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
MIT kini dipimpin Ali Muhammad alias Ali Kalora alias Ali Ambon setelah pimpinannya, Santoso alias Abu Wardah tewas ditembak pasukan TNI, 18 Juli 2016, dan penggantinya, Basri alias Bagong, ditangkap dua bulan kemudian.
Yang membedakan dari razia sebelumnya adalah kali ini ekstra ketat, di mana sejumlah titik wilayah terlihat aparat bersenjata lengkap ditambah patroli ke pemukiman warga.
"Sudah beberapa hari ini pengamanan sangat ketat di Poso. Warga asli saja bila terkena razia harus memperlihatkan KTP," kata Ardin Adnan, seorang warga kepada BeritaBenar.
Dia merasa risih karena razia itu mencerminkan Poso seolah tak kondusif, tapi beberapa warga lain yakin pengamanan ekstra membuat daerah tersebut lebih aman.
"Ya rasa aman sangat terasa. Buktinya dalam beberapa tahun terakhir Kota Poso aman," kata warga lain, Ryan Winata.
Sekitar 600 personel gabungan TNI/Polri dibawah sandi Operasi Tinombala masih memburu anggota MIT yang diyakini masih tersisa 10 orang.
Operasi yang digelar sejak tahun 2016 dan diperpanjang beberapa kali ini adalah perpanjangan dari Operasi Camar yang diluncurkan pada awal 2015 untuk memburu anggota MIT yang saat itu diperkirakan berjumlah sekitar 40 orang.
Antisipasi
Kapolres Poso, AKBP Bogiek Sugiyarto, mengatakan pengamanan ekstra ketat dilakukan menyusul aksi teror di Surabaya, Jawa Timur, 13 Mei lalu.
"Pasca aksi teror itu, kami langsung siaga satu," jelasnya kepada BeritaBenar di Poso, 16 Mei 2018.
"Selain mengantisipasi ancaman dari luar Poso, kami juga mengantisipasi ancaman yang muncul dari dalam Poso."
Dia tak ingin aksi teror di daerah lain membuat warga atau simpatisan kelompok militan di Poso terpancing untuk melakukan hal-hal yang merugikan publik.
Terlebih di Poso, ujarnya, masih ada simpatisan bahkan terduga pelaku teror yang kapan saja bisa beraksi.
"Itu semua yang kami antisipasi, semoga saja tidak terjadi," imbuh Bogiek.
Dia menyebutkan, selain jalur keluar masuk Poso dirazia, polisi juga menjaga titik-titik merah yang diduga bisa menciptakan bibit baru kelompok radikal.
“Semua sudah dideteksi dan dijaga. Kita tidak mau kecolongan seperti yang terjadi di Surabaya dan Riau,” katanya.
Bupati Poso, Darmin A Sigilipu, menambahkan secara umum daerahnya kondusif.
“Aman-aman saja. Aktivitas warga baik, tidak ada gangguan. Perputaran ekonomi juga berjalan dengan baik, sejumlah investor sudah mulai masuk menanamkan sahamnya,” katanya.
Pemerintah Kabupaten Poso, jelasnya, telah melakukan program deradikalisasi kepada keluarga pengikut MIT dan memberikan lapangan pekerjaan.
“Banyak yang telah kami bina, terutama keluarga mantan kombatan yang ada di Poso. Semua sudah kembali berbaur bersama masyarakat,” katanya.
Seruan Ali Kalora
Dalam dua pekan terakhir, di media sosial beredar video Ali Kalora berdurasi 2 menit 14 detik, yang menyerukan pengikutnya melakukan perlawanan dan jangan pernah berpikir bernegosiasi.
Dalam video itu, Ali diapit dua pria yang memegang senjata laras panjang dan menutup wajah mereka. Ali mengaku mereka mengandalkan dua pucuk senjata itu.
Direktur Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan Advokasi Hak Asasi Manusia (LPS-HAM) Sulteng, Mohammad Affandi menyatakan, munculnya video Ali di hutan Poso itu sebagai bentuk eksistensi MIT.
"Dengan video itu, membuktikan mereka masih ada di Poso," katanya.
Affandi mempertanyakan bagaimana mungkin video itu direkam, kemudian diunggah di media sosial karena selama ini pimpinan Polri di Sulteng mengklaim MIT telah terpojok.
Dia meyakini kalau tidak ada pasokan dari luar mustahil perlengkapan perekaman video berada ke tangan Ali dan pengikutnya yang bersembunyi di belantara Poso.
Setelah Santoso tewas, katanya, tak ada alat perekaman tersisa bersama pengikut MIT karena sudah disita aparat keamanan.
"Ini kecolongan namanya. Operasi gencar dilakukan, sementara Ali Kalora masih bebas merekam video," ujar Affandi.
Kapolda Sulteng, Brigjen Pol. Ermi Widyatno ketika dimintai tanggapannya terkait video itu tidak mau berkomentar banyak.
Dia meminta masalah video itu tidak perlu dibesar-besarkan, karena Operasi Tinombala untuk menuntaskan kelompok MIT terus digencarkan.
“Tidak perlu lagilah dibesar-besarkan,” ujarnya saat dikonfirmasi.
Ditanya kapan pembuatan video itu, dia mengaku, masih diselidiki, termasuk dari mana alat rekam yang digunakan Ali Kalora.
“Penyelidikan terus berjalan. Kami pun ingin tahu dari mana video itu pertama diupload. Siapa orangnya dan lain sebagainya, pasti akan diproses,” tegas Ermi.
Sebelumnya, Polda Sulteng menyebutkan bahwa kekuatan MIT berjumlah tujuh orang.
Tapi, menurut Kepala Penerangan Korem 132/Tadulako, Mayor CPM Muhlis Lamongki, ada penambahan tiga dari lima militan baru yang bergabung dengan MIT.
Hal itu diketahui berdasarkan kesaksian dua terduga militan yang ditangkap pada akhir April lalu setelah mereka sempat dua bulan bergabung dengan kelompok Ali Kalora, katanya.