Polisi Gagalkan Rencana Bekas Narapidana Terorisme ke Suriah
2019.02.11
Jakarta
Polri menangkap seorang bekas narapidana terorisme yang pernah dipenjara selama enam tahun karena menyembunyikan pelaku bom Bali, dan menggagalkan rencana militan tersebut untuk bergabung dengan ISIS di Suriah, demikian kata pejabat kepolisian, Senin, 11 Februari 2019.
Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri menangkap Harry Kuncoro alias HK alias Wahyu Nugroho atau Uceng di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta saat hendak ke Suriah melalui Iran pada 3 Januari, demikian Kepala Biro Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Dedi Prasetyo di Jakarta.
“Dari proses investigasi butuh penguatan alat bukti lainnya untuk mempersangkakan HK ini,” kata Dedi.
“Kasus terorisme tersangka cukup panjang mulai dari Jamaah Islamiyah (JI), zamannya Nurdin M Top sudah cukup eksis,” kata Dedi di depan para wartawan merujuk pada gembong JI berkewarganegaraan Malaysia yang tewas dalam baku tembak dengan polisi di Solo pada 2009.
Dedi menjelaskan Harry memiliki hubungan dekat dengan Muhammad Saifuddin alias Mohammed Yusop Karim Fais alias Abu Walid.
Abu Walid adalah WNI yang merupakan salah seorang dari tiga militan Asia Tenggara yang pada tahun lalu oleh Pemerintah Amerika dimasukkan dalam kategori "teroris global" atas dugaan merekrut pejuang asing untuk berbaiat kepada pemimpin ISIS Abu Bakar al-Baghdadi, yang keberadaannya tetap tidak diketahui hingga kini.
Amerika menuduh Abu Walid telah muncul dalam sebuah video propaganda ISIS pada tahun 2016 yang memperlihatkan dia dengan seorang Malaysia dan Filipina memenggal tiga orang tawanan.
Abu Walid yang juga disebut-sebut sebagai orang kepercayaan Abu Bakar Al-Baghdadi diyakini tewas saat berperang bersama militan ISIS di Suriah pada Januari lalu, menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Harry dijerat dengan pasal tentang tindak pidana terorisme dan pasal pemalsuan dokumen keberangkatannya ke Suriah.
Dengan dijerat pasal berlapis itu, apabila terbukti di pengadilan, ia terancam hukuman maksimal 12 tahun.
Menurut Dedi, Harry merupakan aktor jaringan teror yang sangat penting di Indonesia karena berhubungan intens dengan Abu Walid sejak 2015 melalui telegram.
Dedi mengatakan Harry ditawarkan Abu Walid untuk berangkat ke Suriah dan dijanjikan akan difasilitasi pembelian tiket dan dokumen perjalanan.
Harry kemudian menerima dana Rp30 juta untuk keperluan pemberangkatan ke Suriah.
“Motivasi HK hijrah adalah untuk bergabung dengan kelompok Abu Walid di Suriah,” kata Dedi.
Harry disebut sempat tiga kali keluar masuk penjara karena terlibat dengan kelompok JI pimpinan Nurdin M. Top dan Dr. Azhari.
Dia juga diketahui menjalin komunikasi dengan berbagai kelompok di Suriah.
Selain itu, tutur Dedi, rekam jejaknya bergabung dalam kelompok Taliban Melayu dan terlibat dalam beberapa aksi teror di beberapa wilayah di tanah air.
“Aksi terorisme di Bali, NTB, dan terakhir serangan Juli 2018 dia terlibat. Terorisme di Yogya juga sangat aktif. Sudah tiga kali keluar masuk lapas napiter,” katanya.
Peran Harry dianggap membahayakan karena berafiliasi langsung ke jaringan teroris internasional.
Menurut Dedi, Harry memiliki jaringan kuat ke luar negeri dan dianggap menguasai Indonesia dan Asia karena pernah belajar di Arab Saudi dan Afghanistan.
“Kalau sudah dapat uang bisa kasih aksi terorisme di Indonesia sehingga dideteksi cepat oleh tim Densus,” katanya.
Harry pernah divonis enam tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 15 Maret 2012 karena menyembunyikan terpidana kasus terorisme Dulmatin serta terlibat dalam distribusi senjata dan amunisi untuk kelompok Dulmatin di wilayah Jawa Tengah.
Dia bebas murni setelah menjalani masa hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Pasir Putih, Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah pada Maret 2016.
Tidak tenar
Namun demikian pakar terorisme Nasir Abas mengatakan bahwa sosok Harry di JI tidak begitu penting karena saat itu dia masih sangat muda.
“Dia tidak masuk di struktural JI, bukan termasuk pimpinan JI. Dulu banyak pendukung JI. Kala itu mungkin dia supporter saja, ” kata Nasir kepada BeritaBenar.
Saat ini, tambahnya, JI sudah dinyatakan bubar dan tidak eksis lagi. Banyak di antara anggota JI tidak aktif lagi.
“Biasanya tidak mau memakai nama JI lagi. Kalau dia terlibat terorisme pasti bergerak atas kemauan sendiri,” kata Nasir, mantan pimpinan JI yang kini aktif dalam program deradikalisasi.
Alumni akademi militer Mujahiddin Afghanistan itu mengaku tidak pernah mengenal Harry.
“Hanya pernah dengar saja namanya, kenal waktu ditangkap saja,” kata Nasir.
Dia menambahkan bahwa ada kalanya anggota JI terpengaruh oleh ideologi ISIS saat di penjara.
“Sebagian mantan anggota JI ada yang aktif di ISIS, ada yang praktik ke Suriah, ada juga yang gabung ke JAD, bukan suatu hal yang mustahil,” katanya.