Polisi Berhasil Menggagalkan Penyerangan FJI Di Gereja Bantul

Oleh Dimas Gantari
2015.07.15
150715_ID_DIMAS_GANTARI_YOGYAKARTA_700.jpg Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus (HKTY) Ganjuran, Bantul, Yogyakarta, ketika melakukan drama tentang prosesi penyaliban Yesus, tanggal 3 April 2015.
AFP

Kepolisian Bantul, Yogyakarta berhasil menghentikan puluhan anggota garis keras Front Jihad Islam (FJI) yang menyerang Gereja Baptis Indonesia (GBI) Saman dan menuntut agar gereja tersebut ditutup sebelum mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB).

“Untungnya kami mendapat laporan cepat dari masyarakat. Kepolisian segera menurunkan ratusan aparat untuk menghentikan kekerasan ini,” kata Kapolsek Bantul, Heru Setiawan, kepada BeritaBenar hari Rabu tanggal 15 Juli.

“Tugas kami adalah untuk melindungi masyarakat. Mau agama Islam, Kristen, Budha atau lainnya adalah tugas kami yang utama untuk melindungi masyarakat,” katanya lanjut.

Serangan mendadak

Puluhan anggota FJI menyerang GBI Saman Bantul dengan tuduhan bahwa GBI tidak mempunyai IMB rumah ibadah. Kejadian berlangsung sore tanggal 14 Juli.

“Rumah tinggal tidak boleh jadi tempat ibadah, ini tidak benar dan melanggar UU. Karena itu papan gereja seharusnya dicabut. Ini tuntutan FJI,” kata ketua FJI Abdurahman.

Warga Desa Bantul (45) Suprapto Santoso mengatakan bahwa ia terkejut dengan kejadian ini.

“Tidak ada hujan dan angin mereka mendatangi GBI Saman dan menyerukan penutupan gereja tersebut,” katanya sambil menyatakan bahwa tindakan seperti ini sebaiknya tidak dilakukan saat Ramadan.

“Tindakan penggerebekan ini justru mengganggu masyarakat, terutama kami umat Muslim yang sedang berpuasa,” katanya.

“Sepengetahuan saya GBI memang belum punya IMB, karena masih dalam proses. GBI sudah berada disini sejak 30 tahun lalu. Setahu saya tidak pernah ada masalah,” kata Warni Anggi, warga Bantul yang juga menyasikan penggerebekan FJI.

“Tapi sebaiknya GBI tidak melakukan ibadah di tempat tersebut sampai mereka mendapatkan izin dari pemerintah Bantul. Hal ini penting untuk menghindari kekisruhan dan kekerasan yang tidak diinginkan,” katanya lanjut.

“Karena jika terjadi kekerasan ahkirnya masyarakat sini juga yang akhirnya dirugikan.”

Mengusulkan dialog

Menanggapi peristiwa ini aparat kepolisian mengimbau agar FJI menghentikan aksi kekerasan dan mengutamakan dialog untuk mencari jalan keluar peristiwa ini.

“Kami mengusulkan agar pemerintah lokal, FJI dan pihak GBI mau duduk bersama dan membahas masalah ini dengan kepala dingin, bukan dengan kekerasan,” kata Kepala Bagian (Kabag) Polres Bantul Qori Handoko.

“Ingat, Yogyakarta ‘berhati nyaman’ [slogan kota Yogyakarta]. Jangan sampai menodai kota yang aman damai dengan sikap kekerasan dan tidak toleran. Kami bersedia menjadi fasilitor,” katanya lanjut.

“Tidak perlu ada bentrokan dan kekerasan,” terang Qori.

Menindaklanjuti peristiwa ini Qori mengatakan akan dibawa kepada Pemerintah Daerah Bantul.

“Sambil menunggu keputusan dari Pemda, untuk sementara GBI harus menghentikan ibadah selama perizinan belum turun,” katanya lanjut.

Meninjau peraturan mendirikan rumah ibadah

Wakil Ketua Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Krisbiantoro mengatakan intoleransi yang semakin banyak muncul di Indonesia umumnya terkait dengan perizinan rumah ibadah.

“Ini harus disikapi dengan seksama oleh pemerintah. Mungkin aturan perundang-undangan tentang pendirian rumah ibadah perlu diulas kembali,” katanya kepada BeritaBenar merujuk kepada Peraturan Menteri No. 8 dan 9 Tahun 2006.

Undang-Undang tersebut mengatur tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah

“Pemerintah, pemimpin agama harus duduk bersama membahas tentang urgensi permasalahan ini. Jangan sampai peraturan yang ada justru digunakan oleh beberapa pihak tertentu termasuk golongan garis keras untuk melancarkan gerakan anti toleran,” katanya lanjut.

Sebelumnya Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengomentari permasalahan yang sama, terkait penyegelan masjid An-Nur milik masyarakat Ahmadiyah di Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan tanggal 8 Juli, setelah 35 tahun lamanya berada di lokasi tersebut.

"Peraturan Menteri tentang rumah ibadah sering dipakai sebagai landasan kelompok intoleran untuk melancarkan aksinya," kata Ahok.

Krisbiantoro mengingatkan resiko sekterian konflik yang akan ditanggung Indonesia jika tidak segera bertindak.

“Konfrontasi seperti ini harus segara diselesaikan sebelum merebak seperti kasus Ambon dan Poso,” katanya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.