Polisi Tangkap Dua Terduga Pembunuh Aktivis Lingkungan di Sumut
2019.11.05
Jakarta

Kepolisian Resor Labuhanbatu di Sumatra Utara (Sumut), pada Selasa, 5 November 2019, telah menangkap dua terduga pelaku pembunuh Maraden Sianipar (55) dan Martua Parasian Siregar alias Sanjay (48), dua aktivis yang semasa hidupnya giat melakukan advokasi bagi warga setempat dalam berhadapan dengan perusahaan sawit.
Kepala Kepolisian Polres Labuhanbatu, Ajun Komisaris Besar Agus Darojat menyebutkan bahwa kedua pelaku yang berinisial VS (49) dan SH (50) diciduk di kediaman masing di Panai Hilir, Labuhanbatu, Sumut, pada Selasa dini hari.
"Motifnya dendam terkait lahan kebun sawit," kata Agus Darojat dalam keterangan tertulis yang diperoleh BeritaBenar
Agus tak merinci apakah ada pihak lain yang memerintahkan kedua tersangka untuk membunuh Maraden dan Martua, dengan alasan kedua pelaku masih menjalani pemeriksaan lebih lanjut di Markas Kepolisian Resor Labuhanbatu.
"Empat tersangka lain kini masih dalam pengejaran aparat yakni atas nama JS, S alias PR, M, dan P,” tambahnya, mengatakan bahwa pelaku bisa terkena hukuman mati atau penjara seumur hidup.
Maraden dan Martua ditemukan tak bernyawa dengan luka benda tajam di tubuh mereka di lahan sawit milik PT Sei Alih Berombang/Koperasi Serba Usaha Amelia di Dusun VI Desa Wonosari, Panai Hilir, Labuhanbatu, pada akhir Oktober lalu.
Jasad Maraden ditemukan di parit yang membentang di belakang gudang kontainer perkebuhan pada 30 Oktober sekitar pukul 16.00 WIB.
Adapun jasad Maratua didapati di semak-semak berjarak 200 meter dari jasad Maraden pada keesokannya, sekitar pukul 10.30 WIB.
Latar belakang korban
Juru bicara Polda Sumut Tatan Dirsan Atmaja mengatakan kepada BeritaBenar bahwa baik Maraden dan Martua keduanya adalah aktivis dan juga jurnalis.
Keduanya pernah bekerja sebagai wartawan Pilar Indonesia (Pindo) Merdeka, sebuah majalah berita online yang tutup pada tahun 2017, demikian menurut Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI).
Organisasi advokasi untuk wartawan menyerukan kepada pemerintah untuk dilakukannya investigas independen terhadap pembunuhan keduanya.
“Kami menyerukan kepada polisi dan kejaksaan Indonesia untuk melakukan segala kemungkinan untuk menemukan para pelaku dan otak di belakang pembunuhan ganda ini dan, jika perlu, untuk membentuk tim penyelidik khusus,” kata Reporters Without Borders (RSF) dalam sebuah pernyataannya, Senin.
Lembaga tersebut mengatakan bahwa setelah ditutupnya Pindo Merdeka, Maraden dan Martua bekerja sebagai jurnalis lepas dan banyak meliput isu perselisihan antara perusahaan minyak sawit dan warga di Panai Hilir, Labuhan Batu.
“Sifat pelaporan yang dilakukan oleh dua jurnalis ini dalam beberapa tahun terakhir harus menjadi sumber hipotesis yang signifikan tentang identitas pihak yang berada di balik kematian mereka,” kata Daniel Bastard, kepala RSF Asia-Pasifik.
Pemilik Pindo Merdeka Paruhum Daulay di laman Tempo menyebutkan, Martua Siregar alias Sanjay mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gabungan Pemerhati Orang Tertindas Sumatra Utara (Gapotsu) selepas tak lagi menjadi wartawan, sekitar dua tahun lalu.
Lewat LSM itulah, Martua kemudian kerap mengadvokasi kasus lahan yang melibatkan warga lokal, salah satunya dengan PT Sei Alih Berombang/Koperasi Serba Usaha Amelia.
"Dia orang baik. Semoga polisi cepat menyelesaikan kasus ini," ujar Parhum di laman tersebut.
Sedangkan Maraden Sianipar pernah mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Labuhanbatu dari Partai Nasional Demokrat pada pemilihan legislatif 2019, tapi tak terpilih.
"Beliau (Maraden) kader kami. Ia aktif membantu masyarakat. Kami sangat berduka dan meminta kepolisian mengusut tuntas kasusnya," kata Ketua Nasional Demokrat Sumatra Utara, Iskandar, di laman Tempo.
Seorang rekan Martua Siregar bernama Johan, saat dihubungi mengatakan bahwa rekannya itu sudah aktif mengadvokasi sengketa lahan sejak sepuluh tahun silam.
"Sanjay (Martua) pula yang mengajak Maraden memperjuangkan sengketa lahan bagi masyarakat," ujarnya.
Kasus terbaru
Kematian Maraden dan Martua merupakan kasus terbaru yang menimpa pegiat lingkungan hidup di Sumatra Utara.
Pada awal bulan lalu, aktivis Walhi Golfrid Siregar juga meninggal dunia beberapa hari setelah ditemukan terkapar dalam kondisi kritis di sebuah jalan layang di Medan.
Meski sejumlah pegiat hak asasi manusia mencurigai kematian Golfrid berkaitan dengan kegiatannya dalam menolak pembangunan pembangkit listrik Batang Toru yang dinilai berdampak buruk pada lingkungan, kepolisian belakangan berkesimpulan bahwa kematian Golfrid murni disebabkan kecelakaan lalu lintas tunggal.
Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur berharap pemerintah serius melindungi para pegiat lingkungan hidup agar kejadian serupa tak berulang.
"Supaya teror dan ancaman lain kepada pembela lingkungan maupun hak asasi manusia tak lagi terjadi," ujar Isnur kepada BeritaBenar.
"Menurut saya, ini harus menjadi perhatian besar karena seharusnya menjaga lingkungan sehat adalah tugas pemerintah, bukan masyarakat sipil."
Berdasarkan catatan YLBHI, sebelumnya, Direktur Walhi Nusa Tenggara Barat Murhadi mendapat ancaman pembunuhan dan rumahnya dibakar. Pada Januari tahun ini.
Adapula kriminalisasi terhadap Heri Budiawan alias Budi Pego yang dipenjara atas tudingan menyebarluaskan paham komunisme, setelah menolak pertambangan emas di kampung halamannya di Tumpang Pitu, Banyuwangi, Jawa Timur.