Aparat Tembak Mati Seorang Buron MIT yang Diduga Terlibat Pembunuhan Petani
2022.01.04
Palu

Seorang buron Mujahidin Indonesia Timur (MIT) tewas, Selasa (4/1) dalam baku tembak dengan aparat polisi dan tentara di Parigi Moutong, sehari setelah kepolisian mengumumkan perpanjangan Operasi Madago Raya untuk memburu sisa-sisa anggota kelompok militan bersenjata di Sulawesi Tengah itu.
Ahmad Gazali alias Ahmad Panjang tewas di dekat wilayah bendungan Desa Dolago, Kecamatan Parigi Selatan, saat aparat gabungan dalam Operasi Madago Raya tengah melakukan patroli penyisiran pada Selasa pagi waktu setempat.
Kematian Ahmad membuat MIT saat ini diyakini hanya memiliki tiga anggota yang tersisa, demikian Kombes Pol. Didik Supranoto, Juru Bicara Satuan Tugas Operasi Madago Raya yang bertujuan untuk menumpas gerakan MIT.
“Setelah dilihat dari daftar DPO (Daftar Pencarian Orang) dipastikan adalah Ahmad Gazali,” kata Didik dalam keterangan pers di Palu.
Ahmad (27) tercatat sebagai warga Luwu Timur, Sulawesi Selatan, meski lahir dan besar di Poso. Ia bergabung dengan kelompok militan yang terafiliasi Jemaah Islamiyah itu pada 2016 dan diketahui mahir dalam membuat bom rakitan, kata Didik.
Dari pengakuan beberapa anggota MIT yang tertangkap hidup, Ahmad juga mahir dalam menembak dan sedikit menguasai medan hutan pegunungan Poso, Parigi Moutong, hingga Sigi, tiga kabupaten berbatasan yang selama ini dikenal sebagai tempat persembunyian militan.
“Karena sebelumnya Ahmad Gazali memang berada di kelompok Ali Kalora sehingga bisa lebih menghapal medan,” kata Didik.
Ali Kalora adalah pimpinan MIT yang tewas terbunuh dalam baku tembak dengan polisi tahun lalu. Ia memegang pucuk pimpinan setelah pimpinan utama mereka, Santoso, tewas di tangan aparat pada Juli 2016. Santoso diyakini sebagai salah satu pimpinan militan pertama di Indonesia yang berbaiat kepada kelompok ekstrim Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Ahmad juga diduga terlibat dalam serangkaian aksi teror menggunakan kekerasan yang menjadi ciri dari MIT seperti pemenggalan kepala sejumlah petani di Parigi Moutong, Poso, dan Sigi, dalam beberapa tahun terakhir.
Penyerangan terakhir menimpa empat petani di Desa Kalemago, Kecamatan Lore Timur, Poso pada 11 Mei 2021. Para korban ditemukan tewas dengan kondisi tubuh penuh luka bekas sabetan senjata tajam, dan salah satunya dipenggal kepalanya.
Kejadian itu turut memicu reaksi warga di Poso untuk mendesak Presiden Joko “Jokowi” Widodo segera menindak seluruh anggota MIT yang tersisa.
Didik mengatakan kepolisian turun menyita satu bom rakitan, botol berisi bubuk mesiu, senjata tajam jenis parang dan sejumlah barang bukti lainnya pasca-baku tembak hari ini. “Semua barang bukti sudah diamankan untuk kepentingan penyelidikan lebih lanjut,” katanya.
Jenazah Ahmad langsung dievakuasi ke Rumah Sakit Bhayangkara Polda Sulawesi Tengah di Palu untuk dilakukan otopsi. “Bila tidak ada keluarga yang mengambil jenazah akan dimakamkan di pemakaman umum di Poboyo Palu,” kata Didik.
Pada Senin, kepolisian mengatakan mereka telah memetakan keberadaan empat buronan MIT di perbatasan antara wilayah pegunungan di Kabupaten Poso dan Parigi Moutong. Pemetaan dilakukan merujuk pada laporan warga yang dalam beberapa waktu terakhir kerap melihat keberadaan keempatnya memasuki perkebunan untuk mengambil bahan makanan milik petani di area itu.
Identifikasi lokasi para buron itu yang juga menjadi salah satu alasan kepolisian memperpanjang masa Operasi Madago Raya yang seharusnya berakhir 1 Januari 2022, sampai tiga bulan ke depan. Kepolisian tidak mengungkapkan berapa alokasi anggaran yang disiapkan untuk perpanjangan operasi ini.
Semakin terdesak
Lukman S. Thahir, pengamat dan peneliti terorisme dari Institute Agama Islam Negeri di Palu, meyakini tiga buronan MIT yang tersisa saat ini semakin melemah dan terdesak. Ia menyarankan agar patroli terus diintesifkan.
“Karena mereka sudah lemah, itu kesempatan satgas untuk menaikkkan tensi operasi sehingga bisa menangkap tiga DPO tersebut,” kata Lukman kepada BenarNews.
Pada 2021, Operasi Madago Raya yang melibatkan lebih dari 1.300 personel TNI dan Polri berhasil menembak mati pemimpin MIT Ali Kalora beserta empat orang anak buahnya. Dalam perpanjangan operasi tiga bulan ke depan, kepolisian mengurangi jumlah personel yang bertugas menjadi 400 orang.
Operasi Madago Raya yang dimulai pada awal 2021 adalah perpanjangan dari sejumlah operasi sebelumnya, yaitu Camar Maleo pada tahun 2015 dan Tinombala yang dimulai sejak 2016 hingga 2020 yang kesemuanya bertujuan untuk memberangus MIT.
Kepolisian berikrar untuk menangkap habis seluruh anggota MIT yang tersisa dalam keadaan hidup ataupun mati, meski juga mengungkapkan harapan para buron mau menyerahkan diri dengan damai.
Sementara itu, Mohammad Affandi, aktivis kemanusiaan dan peneliti terorisme dari Ruang Empat Kali Empat, sebuah think-tank di Sulawesi Tengah, meminta aparat untuk tidak menembak mati buron MIT yang tersisa agar dapat menyelesaikan persoalan terorisme di provinsi itu hingga ke akarnya.
“Jangan sampai semua anggota MIT yang ditemukan dalam operasi tewas ditembak. Kita butuh juga anggota MIT yang ditangkap hidup sehingga bisa diadili dan mengungkap siapa semua yang terlibat dalam MIT,” kata Affandi saat dihubungi BenarNews.
Affandi mengatakan penting bagi aparat untuk tidak hanya menumpas habis anggota MIT tetapi juga simpatisan yang selama ini berperan sebagai pemasok makanan, logistik, hingga persenjataan kepada mereka.
“Selesaikan MIT kan bukan hanya yang ada di hutan pegunungan. Tapi juga harus diselesaikan mereka yang mendukung dari bawa gunung dan luar hutan,” katanya.
“Simpatisan MIT masih banyak berkeliaran dan saya yakin Polri serta TNI mengetahui itu. Simpatisan-simpatisan itu perlu ditangkap sehingga tidak bermunculan lagi MIT-MIT baru.”