Polri Akui Sempat Kendurkan Pengawasan Atas Pelaku Bom Surabaya

Revisi UU Antiterorisme diharapkan bisa efektifkan pencegahan dan penindakan terorisme.
Rina Chadijah
2018.05.24
Jakarta
180524_ID_Church_1000.jpg Anggota Detasemen Khusus Antiteror Densus 88 berjalan di antara sepeda motor yang terbakar setelah terjadi ledakan bom di Gereja Pantekosta Pusat, salah satu dari tiga gereja yang menjadi target serangan bom bunuh diri di Surabaya, pada 13 Mei 2018.
Reuters

Markas Besar Kepolisian (Mabes Polri), Kamis, mengakui sempat memonitor namun kemudian mengendurkan pengawasan terhadap otak dan pelaku pemboman tiga gereja di Surabaya, Dita Oepriarto (BeritaBenar sebelumnya menulis sebagai Dita Apriyanto), yang melakukan aksi bom bunuh diri dengan melibatkan istri dan keempat anaknya, pada 13 Mei 2018.

Kadiv Humas Polri Irjen. Pol. Setyo Wasisto mengatakan pengenduran pengawasan terhadap pimpinan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Surabaya- kelompok yang telah berbaiat kepada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS)- itu, dilakukan karena Dita sudah bermasyarakat dengan baik di lingkungan tempat ia tinggal bersama keluarga.

"Nah memang sekitar tiga bulan terakhir sebelum kejadian, dari Densus pengawasannya agak dikendurkan," tuturnya kepada wartawan, di Mabes Polri, Jakarta, Kamis, 24 Mei 2018.

Keseharian Dita yang berjualan obat-obatan herbal juga meyakinkan petugas bahwa ia memang tak lagi menjadi ancaman.

"Karena melihat yang bersangkutan sudah bersosialisasi dengan masyarakat dengan baik. Karena dia sendiri kan membuat herbal-herbal itu. Jadi orang nggak curiga gitu kalau dia sedang meracik," ujarnya.

Dita sebelumnya diketahui pernah membangun hubungan dengan sejumlah narapidana terorisme. Dia bersama Anton Ferdianto, teroris yang tewas di rumah susun di Sidoarjo bersama istri dan seorang anaknya, punya hubungan dekat.

Keduanya pernah mendatangi napi terorisme di LP Tulungagung, mengunjungi Zainal Anshori, yang ditangkap karena terlibat kasus jual beli senjata illegal dari Filipina pada April 2017 lalu.

Zainal Anshori alias Abu Fahry telah divonis hukuman tujuh tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada Februari lalu.

Dita yang disebut polisi menjabat Ketua JAD Surabaya juga diyakini dipengaruhi Syamsul Arifin alias Abu Umar – seorang deportan Suriah, untuk melancarkan aksi teror bersama istri dan empat anaknya.

Abu Umar telah ditangkap polisi pada 15 Mei lalu, di rumah kontrakannya di Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Selain Abu Umar, menurut polisi, ada seorang lagi yaitu Khalid Abu Bakar juga diyakini menjadi “guru ideology” Dita dan kelompoknya yang hingga kini masih diburu Densus 88.

Setyo mengatakan bahwa Dita sendiri yang merakit bom.

Dia belajar membuat bom dari berbagai materi-materi film yang kerap diputarkan dalam pengajian yang dihadiri para anggota JAD Surabaya.

“Mereka kan memang setiap minggu ada pengajian. Di pengajian itu disampaikan film-film tentang kekerasan, film-film manual tentang pembuatan bom,” katanya.

Tak terkejut

Pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh Lhokseumawe di Aceh, Al Chaidar, mengaku tak terkejut dengan pengakuan Polri yang sempat mengendurkan pengawasan terhadap Dita.

Pasalnya, Chaidar yakin Polri memiliki cukup data terhadap aktivitas kelompok radikal.

“Semua yang dicurigai memang sudah ada data pada polisi. Kalau kemudian dikendurkan pengawasannya sudah pasti ada kelalaian,” ujarnya kepada BeritaBenar.

Bagi Chaidar, kasus Dita harus menjadi pembelajaran berharga bagi kepolisian karena bisa saja orang yang dianggap tidak lagi menjadi ancaman justru akan melancarkan aksi ketika pengawasan lengah.

“Tentu masih banyak keterbatasan dari Polri dalam penanganan. Bisa saja orang yang telah didekati berpuluh-puluh tahun dan kita anggap tidak lagi radikal, melakukan lagi aksinya. Bagi saya mereka tetap harus diawasi,” ujarnya.

Sementara peneliti terorisme dan intelijen Universitas Indonesia, Ridlwan Habib, menilai keterbatasan Polri dalam melakukan pengawasan tak terlepas dari regulasi yang masih terbatas.

Karena itu, ia berharap setelah revisi Undang-undang Antiterorisme resmi diberlakukan, diharapkan Polri dapat lebih efektif dalam melakukan penindakan maupun pencegahan.

“Banyak harapan besar dari masyarakat dengan disahkannya Undang-undang Terorisme besok. Tentu setelah ini hal-hal semacam itu tidak terjadi lagi,” katanya saat dihubungi.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah memang telah sepakat mengesahkan revisi Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 yang proses pembahasannya dilakukan sejak tahun 2016 pasca teror bom dan penembakan di wilayah Thamrin, Jakarta pada Januari tahun itu yang menewaskan delapan orang termasuk empat pelaku.

Revisi undang-undang itu mengatur substansi tentang pemberantasan tindak pidana terorisme untuk menguatkan aturan sebelumnya.

Salah satunya ialah melibatkan TNI dalam pemberantasan terorisme, dan menguatkan kelembagaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam pencegahan aksi terorisme.

Sejak serangan teror di Surabaya, Mabes Polri merilis data telah menangkap 60 terduga teroris dan menembak mati 14 lainnya karena disebut melawan petugas ketika ditangkap.

Setyo menambahkan polisi terus melakukan upaya pecegahan dengan mengembangkan informasi yang didapat dari para terduga teroris yang telah ditangkap.

Perburuan, ungkap Setyo, dilakukan terhadap semua jaringan teroris, terutama JAD.

"Kami masih terus melakukan operasi pengejaran. Kami akan kejar terus semua yang terkait dengan jaringan-jaringan ini," ujarnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.