Polri Bongkar Sindikat Perdagangan Manusia ke Abu Dhabi dan Taiwan
2019.10.09
Jakarta

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) telah menangkap lima orang yang diduga terlibat pengiriman dan penjualan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, serta dua anggota sindikat perdagangan manusia ke Taiwan, dengan iming-iming mendapatkan beasiswa pendidikan.
Wakil Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Kombes Pol. Agus Nugroho mengatakan,pengungkapan kasus pengiriman TKI ke Timur Tengah itu dilakukan dalam operasi selama sebulan terakhir.
"Mereka beroperasi dengan berkedok perusahaan penyalur tenaga kerja ke luar negeri. Mereka sudah beroperasi sejak tahun 2006 sampai dengan sekarang,” katanya, dalam jumpa pers di Bareskrim Polri, Jakarta, Rabu, 9 Oktober 2019.
Kelima tersangka yang ditangkap di Jakarta itu adalah Asep bin Dadang, Sofyan S Irsadi, Miftahlana bin Suryana, Hermansyah bin Encang, dan Masduki bin Husen, dengan para korban yang berasal dari Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat.
Agus menjelaskan, Asep dan Sofyan berperan sebagai sponsor dan pemilik perusahaan PT AIM, Miftahlana dan Hermansyah menjadi petugas pengurus dokumen, sedangkan Masduki sebagai agen yang mengantar para TKI dari daerah asalnya hingga ke Jakarta, sebelum diberangkatkan ke Abu Dhabi.
Perusahaan itu, jelasnya, telah memberangkatkan 14.400 pekerja migran sejak 2006 dan mereka dijanjikan pekerjaan dengan gaji 1.200 Riyal atau Rp4,5 juta.
Menurutnya, ada korban langsung kerja di Abu Dhabi, ada juga yang diberangkatkan ke negara lain, seperti Yaman, Bahrain dan sebagainya. Sebagian korban menerima gaji, namun lebih banyak yang tidak menerima gaji seperti dijanjikan.
"Karena adanya TKI yang enggak dapat haknya. Ada beberapa yang melaporkan, baik melalui kedutaan atau ke kami langsung sehingga bisa ungkap perkara ini," ujar Agus.
Dia menambahkan, operasional perusahaan tersebut bertentangan dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja tentang moratorium pelarangan pemberangkatan tenaga kerja Indonesia ke Timur Tengah.
Moratorium itu telah diberlakukan sejak 2015 menyusul banyaknya kasus kematian dan penyiksaan yang terima para pekerja migran asal Indonesia.
Kelima tersangka dijerat dengan UU Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan ancaman maksimal 15 tahun.
“Tersangka juga dikenakan Pasal 81 dan 86 UU 18/2018 Tentang Perlindungan Pekerja Migran dengan ancaman pidana paling lama 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp5 miliar,” kata Agus.
Terapkan satu kanal
Sejak 1 Oktober 2019, pemerintah menerapkan Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) bagi pekerja migran Indonesia yang hendak diberangkatkan ke Timur Tengah.
Aturan itu disebut menjadi pilot project penempatan pekerja migran Indonesia, yang dipekerjakan kepada pengguna badan hukum bukan individu dengan jabatan domestik formal.
Kasubdit Kelembagaan Ketenagakerjaan Luar Negeri, Rendra Setiawan, mengatakan kebijakan itu dikeluarkan untuk melindungi pekerja migran Indonesia di Timur Tengah yang selama ini kerap mendapatkan perlakuan tidak manusiawi.
Dengan sistem tersebut, tambahnya, izin bekerja hanya diberikan selama enam bulan, dan setelah itu perusahaan pemberi kerja wajib memulangkan mereka ke tanah air.
“Prosesnya terbatas, penempatannya terbatas, dan juga perusahaannya juga terbatas,” ujarnya di Mabes Polri.
SPSK juga terintegrasi secara online antara pemerintah RI dengan Kerajaan Arab Saudi, mulai dari informasi, pendaftaan, seleksi, penempatan, hingga pemulangan di bawah kendali pemerintah Indonesia.
Lokasi penempatan pekerja hanya dibatasi di kota Jeddah, Riyadh, Madinah, Dammam, Dhahran, dan Khobar.
“Sistem ini memudahkan untuk mengawasi buruh migran kita yang bekerja di sana agar tidak menjadi korban penyiksaan oleh majikan seperti yang telah terjadi sebelum-sebelumnya,” ujar Rendra.
Modus beasiswa ke Taiwan
Selain membongkar pengiriman TKI secara ilegal ke Jazirah Arab, Bareskrim Polri juga menangkap dua anggota sindikat perdagangan manusia bermodus beasiswa pendidikan ke Taiwan, yang jumlah korban mencapai 40 orang.
Para tersangka berinsial L dan M itu bertugas merekrut para korban dari Lampung, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Tapi polisi belum berhasil menangkap otak dari komplotan itu.
Agus menjelaskan, para tersangka menawarkan korban beasiswa kuliah dan pekerjaan di Taiwan dengan syarat harus menyetorkan terlebih dahulu biaya adminstrasi sebesar Rp35 juta.
Bagi yang tidak mampu membayar, jaringan sindikat tersebut bersedia menanggungnya terlebih dahulu, tapi akan dipotong dari hasil gaji mereka di Taiwan, di kemudian hari.
“Sebelum diberangkatkan, mereka lebih dulu ditampung di Jakarta. Tersangka bekerja sama dengan pihak luar menghadirkan perwakilan dari Taiwan, yang seolah-olah menyakinkan korbannya,” kata Agus.
Setelah tiba di Taiwan, para korban tidak pernah belajar di universitas yang dijanjikan. Mereka diharuskan bekerja lima hari dalam seminggu, dan di akhir pekan hanya belajar bahasa Taiwan.
“Seolah seperti kuliah, padahal hanya belajar bahasa Taiwan untuk memudahkan pekerjaannya sendiri," ujar Agus.
Saat masih di Jakarta, mereka dijanjikan gaji dari bekerja senilai 27.000 Taiwan Dolar atau sekitar Rp12 juta/bulan, namun bahkan setelah 18 bulan bekerja yang mereka terima hanya sekitar Rp2 juta/bulan
“Yang lebih parah ada yang tidak mendapatkan uang yang dijanjikan sehingga melaporkan ke pihak yang berwajib," ungkap Agus.
Dalam kasus ini tersangka dijerat Pasal 4 UU Nomor 21/2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun dengan denda minimal Rp 120 juta dan denda maksimal Rp600 juta.
Kedua tersangka juga dikenakan Pasal 81 dan 86 UU No. 18/2018 Tentang Perlindungan Pekerja Migran dengan ancaman hukuman paling lama 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp5 miliar.