Polri akan Latih Kepolisian Myanmar Soal Pengamanan, Penyidikan Berbasis HAM

Aktivis merespons pesimis, karena Polri sendiri dinilai belum sepenuhnya menghargai hak asasi manusia saat bertugas.
Arie Firdaus
2018.10.31
Jakarta
181031_id_pOLRI+mYANMAR_1000.jpg Anggota kepolisian bersenjata menjaga persidangan terdakwa kasus terorisme Aman Abdurrahman di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 22 Juni 2018.
Arie Firdaus/BeritaBenar

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) akan bekerja sama dengan Kepolisian Myanmar terkait pelatihan pemeliharaan dan ketertiban masyarakat, kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Markas Besar Kepolisian Indonesia, Brigadir Jenderal Polisi (Brigjen Pol) Dedi Prasetyo.

"Beberapa program di antaranya seperti pelatihan pengamanan unjuk rasa, penanganan kerusuhan massa, penyidikan berbasis penghormatan terhadap nilai-nilai hak asasi manusia (HAM)," katanya, kepada BeritaBenar di Jakarta, Rabu, 31 Oktober 2018.

Komitmen Polri untuk memberikan pelatihan peningkatan kapasitas personel kepolisian Myanmar tersebut disampaikan oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang kini berada di Myanmar guna menghadiri pertemuan tingkat menteri se-Asia Tenggara yang membahas penanggulangan kejahatan transnasional di kawasan ASEAN.

Pertemuan itu berlangsung sejak 29 Oktober hingga 2 November mendatang.

Kapolri Tito memimpin delegasi Indonesia yang terdiri dari Polri, pejabat dari Kementerian Luar Negeri, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

"Teknisnya akan disampaikan lebih lanjut (setelah Kapolri pulang dari Myanmar)," tambah Dedi sehubungan dengan program pelatihan tersebut.

"Intinya, materi seputar bagaimana penyelesaian masalah secara profesional, humanis, dan menghormati nilai-nilai hak asasi manusia."

Bukan Pertama

Kerja sama berupa pelatihan yang diberikan Polri kepada Kepolisian Myanmar bukanlah yang pertama.

Polri pernah memberi materi seputar pengamanan pemilihan umum kepada Kepolisian Myanmar pada Juni 2015, atau lima bulan sebelum negara itu menggelar pemilihan.

Kala itu, pelatihan berlangsung di Markas Kepolisian Daerah Metro Jaya, mulai 3-14 Juni 2015. Kepolisian Myanmar diwakili 25 orang personel.

Pelatihan pengamanan pemilihan umum itu merupakan buah pertemuan antara Kepala Badan Pemeliharaan Keamanaan Mabes Polri dengan Kepolisian Myanmar tiga bulan sebelumnya.

"Mereka (Kepolisian Myanmar) ke sini karena bangga dengan Indonesia yang telah berhasil mengamankan pemilihan umum 2014," kata Kepala Sub Direktorat Pengendalian Massa Polri Komisaris Besar Ricky F. Wakanno ketika itu.

Dua tahun kemudian, Polri juga memberikan pelatihan soal penanganan terorisme kepada Kepolisian Myanmar.

Dalam kesempatan itu, Kapolri Tito Karnavian menawarkan kepolisian Myanmar untuk memanfaatkan fasilitas pendidikan dan pelatihan investigasi milik institusinya, seperti yang terdapat di Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation di Semarang, Jawa Tengah.

Wajar

Menilik peta kekuatan kepolisian di regional Asia Tenggara, pengamat militer dari Universitas Padjadjaran Muradi menilai, wajar jika Polri memberikan pelatihan kepada Kepolisian Myanmar.

"Saya berani katakan, kepolisian kita ada di nomor satu atau dua di Asia Tenggara," katanya saat dihubungi.

Sejauh ini, tutur Muradi, Polri berkekuatan sekitar 440 ribu personel atau yang terbesar di kawasan Asia Tenggara.

Ia pun menyebut Polri punya keunggulan di beberapa sektor, seperti dalam penanganan terorisme.

"Asia Pasifik kita paling bagus (antiteror). Singapura saja belajar dari kita," tambah Muradi.

"Jadi, overall kita dalam posisi yang sudah bisa berbagi. Minimal dengan Myanmar."

Aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Arif Nur Fikri tak mempermasalahkan kerja sama yang dijalin Polri dengan Myanmar.

Hanya saja, ia memberi catatan agar Polri sebaiknya juga melakukan pelatihan serupa di internal organisasi.

Pasalnya, terang Arif, anggota Polri sejauh ini masih belum sepenuhnya menghargai hak asasi manusia dalam melaksanakan tugas di dalam negeri.

"Karena dalam setahun terakhir penyiksaan dalam proses penyidikan kepolisian masih di posisi pertama. Kepolisian harus berkaca dan sadar diri juga," kata Arif.

Berdasar catatan Kontras, sepanjang Juni 2017 hingga Mei 2018, setidaknya terdapat 80 kasus penyiksaan yang dilakukan aparat kepolisian di Tanah Air.

Jumlah itu merupakan tertinggi yang dilakukan aparat hukum Indonesia, jauh di atas Tentara Nasional Indonesia yang tercatat melakukan 28 kasus penyiksaan.

"Itu juga tidak diimbangi akuntabilitas pengusutan pelaku penyiksaannya," tambah Arif.

"Jadi ketimbang memberikan pelatihan di luar negeri, ada baiknya polisi mengoreksi dulu, memberikan pelatihan terhadap anggotanya. Kalau tidak, hanya terkesan pencitraan keluar saja."

“Di luar negeri menunjukkan sadar HAM, tapi di dalam negeri masih menjadi catatan dan pekerjaan rumah," katanya.

Hal senada disampaikan Muhammad Isnur, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang menyatakan bahwa seharusnya Kapolri lebih mendahulukan perhatian pada internal Polri.

Pasalnya, menurut catatan YLBHI, masih cukup banyak kasus yang menunjukkan polisi di lapangan tidak menghormati HAM, seperti penyiksaan dalam proses penyidikan.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.