Polri Pertahankan Ribuan Pasukan Tambahan di Papua Hingga Desember
2019.09.12
Jayapura & Jakarta

Penangkapan sejumlah aktivis yang dituding menggerakkan unjuk rasa hingga berujung rusuh di beberapa tempat di Papua dan Papua Barat dinilai tak menyelesaikan masalah, sementara polisi tetap mempertahankan ribuan pasukan di provinsi timur Indonesia itu sampai Desember mendatang.
"Agenda setting ini kalau Papua kita mengantisipasi sampai dengan Desember. Dan Desember apakah akan berhenti? Tentu tidak. Agenda setting terus akan dimainkan pada setiap kesempatan," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo di Jakarta, Kamis, 12 September 2019.
"Agar jangan sampai terjadi lagi kerusuhan-kerusuhan itu. Karena kalau sampai terjadi lagi dan tak dapat dimitigasi bisa merugikan banyak pihak."
Sekitar 6.000 Polri-TNI dari beberapa provinsi dikerahkan ke Papua untuk memulihkan kondisi setelah kerusuhan di Papua dan Papua Barat saat unjuk rasa untuk memprotes tindakan rasialisme terhadap mahasiswa Papua di Jawa Timur, Agustus lalu.
Tapi keputusan Polri itu dikritik Komisioner Ombudsman, Ninik Rahayu, yang menyebut keberadaan TNI/Polri dalam jumlah banyak di Papua justru membuat warga trauma, khususnya para pengungsi dari Kabupaten Nduga.
"Pengungsi enggan kembali (ke rumah) karena trauma. Mereka juga mempertanyakan kesiapan fasilitas bagi mereka untuk kembali," ujar Ninik.
Pendapat senada dikatakan aktivis Advokat Pendamping Mahasiswa Papua, Mikael Hilman, yang menyebutkan situasi saat ini amat merugikan para aktivis, termasuk enam aktivis yang ditahan di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
"Ada enam tersangka yang saya dampingi. Mereka kena pasal makar karena menaikkan bendera (Bintang Kejora saat unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, 28 Agustus lalu),” katanya.
“Aksi itu bukan untuk memerdekakan diri dari Indonesia, tapi bentuk protes terhadap rasisme yang terjadi.”
Sejauh ini, Polri mengatakan telah menetapkan 85 tersangka di Papua dan Papua Barat sejak unjuk rasa pecah dan masih terus mengejar sejumlah orang lain yang diduga ikut menyulut kerusuhan.
Lima orang tewas dalam kerusuhan di Papua dan Papua Barat demikian menurut pemerintah pusat, namun pemerintah lokal dan aktivis mengatakan setidaknya 13 orang termasuk seorang anggota TNI, tewas.
‘Diskriminasi hukum’
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Edo Gobay, menyebut penangkapan dan penetapan tersangka terhadap puluhan orang itu bisa memunculkan diskriminasi hukum.
“Bias rasisme karena aparat hukum cenderung lamban menindak para pelaku persekusi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, tapi cepat menindak orang asli Papua yang dituduh memprovokasi unjuk rasa dan amuk massa,” katanya.
“Para aktivis Papua ditangkap tanpa prosedur yang seharusnya dilakukan oleh penegak hukum.”
Terkait pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, yang menjadi pemicu aksi demonstrasi di Papua dan Papua Barat, kepolisian telah menetapkan tiga tersangka.
Dua tersangka dijerat pasal ujaran kebencian dan rasialisme di depan asrama mahasiswa yakni Tri Susanti dan Samsul Arifin. Seorang lain, Andria Adiansyah diduga menyebarkan kabar bohong lewat media sosial.
Penasehat hukum Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Veronica Koman, juga ditetapkan sebagai tersangka provokator kerusuhan.
Penetapan Veronica sebagai tersangka ini dikecam para aktivis hak asasi manusia, yang mengatakan apa yang dilakukan Veronica hanyalah menginformasikan fakta yang terjadi melalui twitternya tanpa tujuan memprovokasi.
Menurut data LBH Papua, sejak 19 Agustus 2019 – 6 September 2019, sudah 97 orang ditangkap di beberapa daerah di Papua dan Papua Barat.
Penangkapan dan penahanan, kata Gobay, dilakukan selama dua sampai empat hari dan selanjutnya ditetapkan menjadi tersangka.
“Ada pula massa aksi anti rasisme yang ditahan di Polda Papua sejak 28 Agustus 2019 hingga dipulangkan pada 3 September 2019 tanpa status tersangka,” katanya.
Adriana Elisabeth, Kordinator Jaringan Damai Papua (JDP) di Jakarta yang juga peneliti masalah Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai penangkapan para aktivis tersebut tidak akan menyelesaikan masalah Papua.
“Penangkapan-penangkapan ini terjadi karena tak ada pemahaman yang sama di pusat, akibatnya operasi dilakukan secara parsial,” katanya.
Ditangkap
Dari Jayapura dilaporkan bahwa polisi telah menangkap wakil ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Buchtar Tabuni dan juga Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Mimika, Steven Itlay, atas tuduhan menggerakkan unjuk rasa yang berakhir rusuh. Kedua organisasi tersebut mengadvokasi diadakannya referendum penentuan nasib sendiri rakyat Papua.
Kapolda Papua, Irjen Pol Rudolf Rodja, mengatakan polisi menangkap Steven di sekitar kampus Universitas Cenderawasih, Rabu petang. Polisi juga membawa dua rekan Steven, Aris Wenda dan Yulubanus Damai W Kogoya, sebagai saksi.
“Untuk mengetahui peran tersangka, saat ini yang bersangkutan sedang kami lakukan pemeriksaan di Mako Brimobda Papua,” katanya.
Sedangkan Buchtar ditangkap, Senin lalu.
Sekretaris Umum Komite Aksi ULMWP, Chris Dogopi, mengatakan Buchtar ditangkap tanpa melalui prosedur hukum yang jelas.
“Tidak ada surat pemanggilan, pemberitahuan, dan penangkapan. Kami menyebutnya sebagai penculikan," kata Dogopia.
Sebelumnya, penyidik Polda Papua sudah menetapkan dua aktivis mahasiswa sebagai tersangka yaitu mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fisip Universitas Cenderawasih Ferry Kombo dan Ketua BEM Univeristas Sains dan Teknologi Jayapura, Alex Gobay.
Keduanya juga dituduh sebagai penggerak massa saat demonstrasi yang berakhir rusuh di Jayapura dan sejumlah lokasi lain di Papua dan Papua Barat.
Geledah rumah wartawan
Sementara itu, kontributor The Jakarta Post yang juga jurnalis media lokal, Jubi, Benny Mawel, ikut jadi korban upaya penangkapan aktivis saat anggota Brimob menggeledah rumahnya, Senin lalu.
“Rumah saya didatangi polisi bersenjata lengkap. Mereka bilang cari orang bernama Lucky Siep,” ujar Benny.
Karena Benny mengatakan ia tidak tahu keberadaan Lucky, aparat Brimob masuk rumah dengan paksa untuk mencari Lucky dan memeriksa rumah Benny hingga ke atap.
Ketika Benny menanyakan surat perintah untuk memeriksa rumahnya, anggota Brimob tidak bisa menunjukkannya.
“Anak dan istri saya ketakutan karena kejadian itu,” tuturnya.
Benny menduga anggota Brimob tersebut ingin meneror dirinya terkait pemberitaan dengan alasan mencari Lucky padahal dia tidak punya hubungan sama sekali dan tak mengenal orang yang dicari aparat itu.