Ponpes Ulul Albab, Tetap Tegak di Tengah Prasangka
2017.08.18
Sukoharjo

Sejumah remaja putri berhijab dan berniqab lalu lalang di jalan Desa Godog, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Sesekali mereka menyapa warga di sepanjang jalan yang dilalui dengan anggukan kepala.
“Sudah biasa, mereka juga membaur dengan masyarakat sini dan biasa saja,” tutur Izus, seorang warga Godog.
Sekitar 100 meter dari rumah Izus, terletak Pondok Pesantren (Ponpes) Tahfizul Quran (PPTQ) Ulul Albab, khusus santri putri. Bangunan tak menyatu seperti pesantren umumnya, tapi menyebar di penjuru desa berselang-seling dengan rumah warga.
Begitu pula dengan 44 ustadz dan ustadzah, sebutan untuk para pengajar di Ponpes Ulul Albab. Mereka tinggal dan membaur dengan warga desa – yang dikelilingi hijaunya sawah.
Masjid di depan rumah pemilik Ulul Albab yang menempel dengan asrama santriwati juga digunakan untuk shalat berjamaah warga. Pesantren yang digagas Shoimin dibangun bersama warga setempat.
“Tidak ada bantuan dari pemerintah untuk pembangunan ponpes, kalaupun ada itu tak signifikan,” ujar Shoimin saat ditemui BeritaBenar dirumahnya, Selasa, 15 Agustus 2017.
Berawal dari sebuah Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) Diniyah yang hanya mengajar 18 santri, kini ponpes itu telah berkembang menjadi pesantren yang memiliki 444 santri – terdiri dari 236 putra dan 208 putri.
Penghapal Alquran
Sayup-sayup terdengar suara seorang santriwati menghapalkan ayat-ayat suci Alquran di kelas yang terbuat dari anyaman bambu. Kelas sudah sepi karena pelajaran telah selesai sejak pukul 11.30 WIB atau sebelum waktu Dzuhur.
Santriwati yang masih membaca ayat demi ayat itu berusaha keras menghapal agar bisa menyetorkan hapalannya kepada ustadzah pada sore hari. Ulul Albab memang menjadi sekolah bagi calon hafidz dan hafidzah – penghafal Alquran.
Itu juga yang membuat beberapa istri narapidana teroris tertarik menyekolahkan putra-putrinya di sini. Demi kemanusiaan, Shoimin menerima mereka meski mengetahui latar belakang calon siswanya.
“Saya tidak tega, mereka datang ke saya, anak-anak ini butuh pendidikan supaya punya masa depan yang lebih baik. Apalagi mereka ditolak dimana-mana karena status ayah mereka,” terang Shoimin.
Dia mengaku tak pilih kasih. Kalau ada anak atau istri perampok dan pelaku kejahatan lainnya yang menitipkan anak-anaknya, akan diterima selama mereka bertekad belajar agama.
Shoimin juga tak mengharuskan orang tua siswa membayar uang sekolah. Sebanyak 80 dari 444 siswanya tak dibebani biaya sekolah. Ada yang membayar ala kadar dan ada juga tidak membayar sepeserpun.
Seorang santriwati sedang menghafal Alquran dalam kelas Ponpes Ulul Albab, 15 Agustus 2017.( Kusumasari Ayuningtyas/BeritaBenar)
Stigma negatif
Setelah serangan bom Bali I pada 2002, Ulul Albab menjadi perhatian, karena istri beberapa pelaku bom yang menyebabkan 202 orang tewas menitipkan anaknya ke sini. Mereka adalah istri dari Amrozi, Imam Samudra, Mukhlas atau Ali Gufron dan Dulmatin.
Mereka sempat tinggal di kampung itu. Kemudian menyusul istri Urwah dari kelompok Noordin M Top. Namun kini hanya tinggal istri Dulmatin yang menetap karena memang memiliki tanah di desa itu.
“Mereka datang untuk bersekolah, mereka ditolak di berbagai sekolah, kami terima atas dasar kemanusiaan,” jelas Shoimin.
Istri Dulmatin yang memiliki keahlian akupuntur sering mengobati warga di Tulakan.
“Dia tidak pasang papan nama, rumahnya juga selalu tertutup meski ada orang di dalam. Dia menerima pasien warga tetapi hanya yang wanita,” tutur Izus.
Istri Amrozi, Imam Samudra dan Ali Gufron kini tinggal bersama orang tua di kampung halaman mereka. Anak-anak mereka juga sudah lulus dan tidak berkomunikasi dengan Ponpes Ulul Albab, tetapi image negatif sudah terlanjur melekat.
“Setiap kali ada kasus terorisme meski terjadinya jauh di luar Jawa sana, selalu ada yang datang ke sini entah dari polisi maupun tentara (TNI), padahal kami tak punya hubungan dengan kejadian itu,” ujar Abdul Halim, salah seorang pimpinan Ponpes Ulul Albab.
Meski sering dikaitkan dengan kasus terorisme, mereka memilih diam dan tak berusaha melakukan klarifikasi. Mereka juga tak khawatir image itu mempengaruhi berkurangnya minat orang tua menyekolahkan anaknya di Ulul Albab.
Ketika ditanya apakah pernah mendapatkan program deradikalisasi dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Shoimin menjawab, “Lha, apa kita radikal to? Wong kita gak radikal.”
Sejumlah santri bermain di lorong zona Ulya (setara SMA) Ponpes Ulul Albab, 15 Agustus 2017. (Kusumasari Ayuningtyas/BeritaBenar)
Dianggap sudah tepat
Shoimin bisa memaklumi sikap istri Dulmatin dan istri-istri para tersangka teroris yang menghindari pertanyaan mengenai masa lalu suaminya.
“Seperti mengorek luka lama, padahal mungkin mereka berjuang keras untuk menutupi luka itu kan?” ujarnya.
“Dari yang saya amati, mereka tetap berusaha tegar menghadapi keadaan begitu juga anak-anaknya. Mereka membaur dengan masyarakat di sini, beruntung warga kampung ini bisa menerima mereka.”
Peneliti dari Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP), Thayyep Malik, melihat langkah ponpes dan warga setempat sudah tepat yang tidak membiarkan keluarga teroris ikut menanggung kesalahan yang kadang tak mereka ketahui.
Para istri kadang tidak tahu yang dilakukan suaminya karena terpisah dan tak mendapat kabar berita hingga berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
“Tetapi yang terjadi para istri dan anak-anak ini ikut kena getahnya, padahal seharusnya mereka dirangkul supaya tidak mengikuti jejak ayahnya,” ujar Thayyep.
Hal sama juga berlaku pada mantan narapidana terorisme. Ketika dibebaskan, dia sering kali mengalami kesulitan berintegrasi dengan masyarakat sehingga banyak yang memilih pindah dari kampung asalnya.
Malah, bekas narapidana kasus terorisme, katanya, kadang sulit mendapat pekerjaan.
“Akibatnya, mereka memilih kembali ke kelompoknya dan begitu terus,” tutur Thayyep.