Terduga Teroris Yang Tewas di Poso Diklaim Orang Kepercayaan Santoso
2016.03.02
Palu

Polisi mengklaim bahwa terduga teroris yang tewas di Poso, Minggu 28 Februari 2016, merupakan ahli teknologi informasi (IT) dan orang kepercayaan Santoso alias Abu Wardah, pimpinan kelompok bersenjata Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah (Sulteng), Brigadir Jenderal Polisi Idham Aziz menyebutkan korban tewas diketahui bernama Dodo alias Pando (30), yang telah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) terkait serangkaian kekerasan sejak dia bergabung dengan MIT pada 2012 di Sulteng, khususnya di Poso.
“Dodo orang sangat dipercaya oleh Santoso. Selain karena kecerdasannya, Dodo juga ahli IT. Makanya tidak heran segala aktivitas MIT yang direkam di hutan dan pegunungan Poso selalu terupload ke Youtube dan media sosial,” jelas Idham kepada BeritaBenar, Rabu.
"Semua video Santoso yang mengajak berjihad dan menyatakan perang terhadap negara di Youtube kuat dugaan hasil buah tangan dari Dodo. Lokasi pengambilan gambarnya di Poso," tambahnya.
Berdasarkan informasi dari beberapa anak buah Santoso yang telah ditangkap, jelas Idham, Dodo ternyata calon menantu Santoso. Menurut rencana, dia akan dinikahkan dengan Wardah – putri tertua Santoso yang kini masih terdaftar sebagai santri di Pesantren Ngruki, Solo, Jawa Tengah.
"Sejak bergabung tahun 2012, memang Dodo aktif ikut aktivitas MIT, termasuk pembunuhan beberapa polisi di Poso dan serangkaian aksi kekerasan lainnya," ujar Idham.
Jenazah masih di RS
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulteng, Ajun Komisaris Besar Polisi Hari Suprapto menjelaskan bahwa identitas Dodo diketahui berdasarkan ciri-ciri dan data lama yang dimiliki polisi.
“Apa lagi Dodo memang sudah masuk dalam DPO kami," katanya.
Hingga 2 Maret, jenazah Dodo masih disimpan di kamar jenazah Rumah Sakit (RS) Bhayangkara di Palu setelah dievakuasi dari lokasi baku tembak dengan TNI/Polri di pegunungan Desa Torire, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Minggu malam lalu.
Menurut Hari, mayat korban sudah diotopsi dan sampel DNA juga diambil, tetapi pihak Polda Sulteng belum menguburkan jenazah Dodo karena masih menunggu keluarga.
"Sampai hari ini belum ada keluarga yang datang mengklaim. Menurut dari data kami, Dodo berasal dari Jawa dan bukan dari Poso. Makanya memakan waktu lama untuk mengetahui siapa keluarganya," imbuh Hari.
Terus diburu
Setelah kontak tembak yang menewaskan Dodo, pasukan TNI/Polri yang masuk dalam satuan tugas (Satgas) Operasi Tinombala makin terus memburu anggota kelompok MIT, yang telah terafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Kepala Satuan Tugas Operasi Tinombala, Komisaris Besar Polisi Leo Bona Lubis menyatakan kelompok MIT yang terlibat baku tembak dengan aparat keamanan diperkirakan berjumlah 20 hingga 30 orang.
“Akibat baku tembak itu, kelompok Santoso telah tercerai berai. Mereka terpisah menjadi dua kelompok dan tersebar di hutan pegunungan Kecamatan Lore Bersaudara,” katanya.
Leo mengaku hingga kini ribuan personel gabungan yang melakukan pengejaran telah mengepung dan menyekat seluruh ruang gerak Santoso Cs.
"Pengejaran kami fokuskan di Kecamatan Lore Bersaudara, yakni di Kecamatan Lore Tengah, Barat, Utara, dan Selatan. Itu dilakukan karena posisi mereka saat ini berada di sana," jelasnya.
Dia yakin dengan gencarnya operasi, maka ruang gerak kelompok MIT semakin terjepit dan tak bisa berbuat banyak untuk dapat terkoneksi dengan jaringannya di luar Poso.
Leo menambahkan Polda Sulteng telah memperpanjang masa Operasi Tinombala hingga Desember mendatang.
"Mulai hari ini waktu operasi diperpanjang. Kami tetap optimistis, mereka bisa tertangkap hidup atau mati sebelum operasi berakhir,” ujarnya.
LPS-HAM tetap pesimis
Direktur LPS-HAM Sulteng, Moh Affandi mengapresiasi optimistis polisi untuk menangkap Santoso hidup atau mati. Tapi, pihaknya tetap pesimis jika polisi bisa berhasil meski memperpanjang waktu Operasi Tinombala.
"Kalau polanya masih sama percuma saja. Kami pesimis polisi bisa menangkap mereka semua," kata Affandi kepada BeritaBenar.
Menurut dia, jika polisi benar-benar ingin menumpas seluruh pengikut, jaringan, dan pimpinan kelompok MIT, aparat keamanan harus menggali informasi lebih dalam dari kelompok tersebut.
"Tentunya data intelijen harus valid. Kalau hanya kejar, tangkap, dan sikat saya pikir bukan cara tepat. Operasi Camar Maleo 1,2,3, dan 4 yang menggunakan pola seperti itu, ternyata gagal," tegas Affandi.
Dia berharap, Polri dapat menangkap mereka hidup-hidup agar jaringan Santoso dapat terbongkar. Dengan begitu, kekuatan jaringan teroris bisa dimusnahkan.
Affandi juga meminta masyarakat tidak perlu takut memberi informasi kepada aparat keamanan apabila menemukan atau mengetahui keberadaan kelompok MIT.