Warga di Poso Diduga Jadi Korban Pembunuhan Operasi Tinombala

Orangtua korban melapor kepada Komnas HAM namun polisi mengatakan yang bersangkutan adalah simpatisan MIT.
Keisyah Aprilia
2020.04.13
Palu
200413_ID_MELAPOR_KomnasHAM_1000.jpeg Ayah Qidam, Irwan Mawance (kedua dari kanan, berkopiah) didampingi Tim Pembela Muslim menghadap anggota Komnas HAM Sulawesi Tengah (kiri) di kantor lembaga penegakan hak asasi manusia itu di Palu, Senin 13 April 2020.
Keisyah Aprilia/BenarNews

Ayah dari seorang warga yang ditembak pekan lalu oleh Satgas Operasi Tinombala di Poso, Sulawesi Tengah, mengatakan Senin (13/4) anaknya bukanlah pengikut kelompok sipil bersenjata Mujahidin Indonesia Timur (MIT) seperti yang diklaim oleh polisi.

Irwan Mawance mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Sulteng, atas penembakan terhadap anaknya yang bernama Qidam Alfariski Mawance (20) pada Kamis lalu di Desa Tobe, Kecamatan Poso Pesisir Selatan.

Irwan mengaku anaknya bekerja sebagai tukang antre BBM di SPBU Desa Tambarana, dan bekerja di toko meubel, selain membantu pamannya dan neneknya.

“Jadi kalau dilihat keseharian itu sangat jauh anak saya bergabung dengan MIT. Apa lagi anak saya itu baru delapan bulan berada di Desa Tambarana,” kata Irwan kepada BenarNews.

“Saya tidak menerima dan membantah jika anak saya disebut pengikut kelompok MIT pimpinan Ali Kalora,” katanya.

Ia menambahkan ketika jenazah dimandikan, ditemukan sejumlah bagian tubuh almarhum juga yang luka selain luka tembak.

“Sebelum ditembak, anak itu kayak dianiaya karena kaki patah di sebelah kanan. Selain itu leher juga patah. Dan ada luka sayatan benda tajam yang panjang di paha sebelah kanan. Tidak hanya itu, di dada kiri dan kanan ada luka tusukan sangkur. Dan sejumlah luka lainnya,” kata Irwan kepada BenarNews.

Namun polisi menyanggah laporan orangtua Qidam, dan mengatakan Qidam ditembak karena diduga pengikut MIT, kelompok yang telah berbaiat kepada Negara Islam (ISIS) itu, kata Kabid Humas Polda Sulteng Kombes Didik Supranoto.

“Benar, yang ditembak itu sudah bergabung dengan kelompok sipil bersenjata pimpinan Ali Kalora seperti data yang telah kami miliki,” kata Didik kepada wartawan di Palu.

Menurutnya, sebelum ditembak, Qidam mendatangi salah satu rumah warga di Desa Tobe dengan membawa tas ransel dan tidak memakai alas kaki, dan meminta minum sambil memperlihatkan gerak-gerik yang mencurigakan.

“Karena curiga dengan gelagak pemuda yang tidak dikenal itu, ada warga yang kemudian melapor ke Polsek. Dari Polsek kemudian informasinya diteruskan ke tim Sagtas Operasi Tinombala,” ungkap Didik.

Setelah itu, Satgas Operasi Tinombala mendatangi rumah warga yang didatangi Qidam, namun dia sudah tidak di tempat.

Satgas pun kemudian melakukan penyisiran ke belakang rumah warga.

“Nah, pada pukul 23.00 WITA terdengar suara tembakan dari arah selatan Polsek Poso Pesisir Utara di sekitar lorong kelapa, kemudian pasukan langsung bergegas ke TKP. Tidak lama kembali terdengar suara tembakan sebanyak enam kali dengan suara rentetan di lokasi yang sama,”

“Dari situ anggota mengevakuasi jenazah yang kemudian diketahui bernama Qidam yang merupakan simpatisan MIT,” imbuh Didik.

Tidak ditanggapi Polsek

Keluarga Qidam membantah kalau anaknya dikaitkan dengan kelompok MIT.

Sebelum terjadi penembakan, Qidam diketahui keluar untuk pergi ke rumah temannya di Desa Tobe yang tidak jauh dari rumahnya di Desa Tambarana, kata Irwan.

“Awalnya kan anak saya itu lagi di rumah neneknya, karena dilarang keluar akibat adanya virus corona, anak saya itu membantah dan tetap keluar,” kata Irwan.

Qidam kemudian ke rumah teman pamannya di Desa Tobe.

Tidak berselang lama, Satgas kemudian datang dan menyuruh seluruh warga Dusun III, Desa Tobe untuk mematikan lampu rumah dan jangan keluar rumah karena ada orang yang tidak dikenal sedang dicari.

Karena sudah mengetahui kalau warga yang ditembak adalah Qidam, pihak keluarga kemudian mengadu ke Polsek, namun pihak Polsek tidak menanggapi tuntutan keluarga yang menyebut polisi salah tembak.

“Polsek tidak mau tangani dan angkat tangan. Mereka bilang itu urusan Satgas Operasi Tinombala dan bukan urusan Polsek. Kami sangat emosi mendengar jawaban seperti itu,” tandas Irwan.

Menurutnya, di tempat kejadian perkara pasca pembunuhan warga menemukan beberapa selongsong amunisi ukuran 5,56 mm. “Kami curiga anak kami ditembak dengan M16 secara dekat, karena di leher anak kami itu ada bekas hitam moncong senjata. Ini pembunuhan sangat keji menurut kami.”

Indikasi pelanggaran HAM

Sementara itu, anggota Tim Pembela Muslim (TPM) Sulteng, Andi Akbar, mengatakan ada indikasi pelanggaran HAM berat.

“Sejumlah luka di tubuh korban itu membuktikan ini pembunuhan yang sangat keji dan atas mama TPM, kami sangat mengutuk tindakan ini. Anak itu tidak masuk DPO MIT. Tidak ada jejak sama sekali masuk dengan MIT, tidak ada hubungan dengan MIT,” kata Andi kepada BenarNews.

Dia juga mendesak polisi untuk transparan dan mendesak DPRD untuk memanggil Kapolda Sulteng.

Sementara itu, Ketua Komnas HAM Sulteng Dedi Azkari mengatakan pihaknya butuh waktu sekitar tiga atau empat hari untuk menentukan langkah apa yang akan dilakukan.

Dedi menyebutkan, kepolisian harus bertanggung jawab karena kasus ini sebagai sebuah tindakan kecerobohan yang fatal.

“Dalam peristiwa apa pun dimaksimalkan ditangkap dalam hidup-hidup, bukan ditembak mati. Apa lagi korban bukan orang yang membahayakan,”

Komnas HAM juga mendesak agar dilakukan uji balistik.

“Komnas HAM akan merespons secara serius masalah ini, karena ini bisa terbukti ke pelanggaran HAM berat,” tegas Dedi.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.