DPR Pertanyakan Alasan Penerbitan PP Pencegahan Terorisme

Banyak ketentuan di dalam PP itu yang dinilai tidak jelas dan bisa memicu kegaduhan.
Arie Firdus
2019.11.25
Jakarta
191125_ID_terrorism_1000.jpg Foto tertanggal 13 Oktober 2019 ini memperlihatkan petugas polisi menangkap seorang terduga militan di sebuah kompleks perumahan di Bekasi, Jawa Barat.
AFP

Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempertanyakan alasan Presiden Joko "Jokowi" Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2019 (PP 77/2019) tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Perlindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan.

Musababnya, beleid yang diteken Presiden Jokowi pada 12 November lalu itu dinilai menyimpan sejumlah poin yang terindikasi dapat bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM) dan berpotensi menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.

"Kami ingin setiap peraturan itu melahirkan peraturan yang menyejukkan yang bisa menjaga kondusifitas, tidak mengundang kontroversi," kata Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia di kompleks parlemen di Senayan, Jakarta, Senin, 25 November 2019.

Beberapa poin kontroversial dimaksud Ahmad Doli, seperti misalnya pelaksanaan kontra radikalisasi bagi mereka yang dinilai rentan terpapar radikalisme, dimana batasan atas kriteria orang yang berpotensi terpapar radikal terorisme itu sendiri dinilai tidak jelas.

Dalam Pasal 22 ayat 2 PP itu disebutkan salah satu kriteria mudah terpapar radikalisme adalah mereka yang punya kerentanan ekonomi, psikologi, dan budaya serta orang-orang yang memiliki pemahaman kebangsaan yang sempit.

"Saya kira nanti akan banyak masukan terhadap terbitnya peraturan ini. Saya kira pemerintah juga bisa terbuka menerima masukan dan melanjutkan dengan dialog," lanjutnya menambahkan bahwa pihaknya akan mengundang Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Kementerian Dalam Negeri untuk membahas peraturan ini.

Perihal sama disuarakan pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh di Lhokseumawe, Aceh, Al Chaidar, yang menilai PP 77/2019 itu menyimpan beberapa kesalahan mendasar, semisal penggunaan istilah radikal, yang menurutnya dalam bahasa Indonesia berarti maju dalam berpikir atau bertindak.

"Jadi pemerintah semestinya membuat definisi yang jelas dan bukan justru mengaburkan definisi yang sudah ada yang dapat memancing kegaduhan di masyarakat," ujarnya saat dihubungi.

"Semisal yang dikhawatirkan adalah intoleransi dan terorisme, lebih tepat disebut istilah intoleransi dan terorisme, daripada radikalisme.”

‘Tangkal radikalisme aparat’

Namun demikian, tidak semua pihak menyangsikan PP tersebut.

Pengamat terorisme dari Jurnal Intelijen, Stanislaus Ryanta, menilai penerbitan PP 77/2019 sebagai hal tepat untuk menangkal masuknya radikalisme di kalangan aparat.

"Pertemuan mereka dengan narapidana terorisme itu sangat intens, mulai dari penyidik, penjaga tahanan, dan penjaga lapas. Ini supaya mereka ada benteng, tidak terpapar," kata Stanislaus, dikutip dari Deutsche Welle.

"Sudah ada beberapa kasus dari kepolisian yang terpapar. Jadi ini adalah langkah untuk menghindari kasus itu bertambah lagi. Ini langkah maju sehingga perang terhadap radikalisme itu semakin kuat."

Salah satu anggota kepolisian yang terpapar adalah seorang polwan, Nesti Ode Samili, yang pernah berdinas di Kepolisian Daerah Maluku Utara.

Nesti yang kemudian dipecat dari kepolisian disebut terpapar setelah berinteraksi dengan pimpinan kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Bekasi, Fazri Pahlawan alias Abu Zee Ghuroba dan bahkan dilaporkan sudah disiapkan menjadi pelaku bom bunuh diri.

Koordinasi BNPT

Dalam pembukaan PP 77/2019 disebutkan bahwa peraturan itu adalah untuk melaksanakan ketentuan sejumlah pasal dari UU terkait pemberantasan terorisme yang diundangkan pada 25 Mei 2018 setelah terjadinya rangkaian aksi terorisme di Mako Brimob Jawa Barat dan aksi peledakan bom bunuh diri di Surabaya pada tahun itu.

UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme hasil revisi pada Mei tahun lalu itu memberikan kewenangan lebih besar kepada aparat keamanan dalam menginterogasi terduga pelaku teror, termasuk pelibatan TNI, yang sebelumnya hanya dilakukan oleh kepolisian. Pemberian kewenangan ini banyak dikritik karena dinilai berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM.

PP 77/2019 ini juga mengatur tentang perlindungan terhadap penyidik, penuntut umum, hakim dan petugas pemasyarakatan beserta keluarganya dengan maksud agar proses peradilan dan pelaksanaan pidana dapat dilakukan dengan baik.

Disebutkan juga dalam PP ini pentingnya kesiapsiagaan nasional pencegahan terorisme melalui kementerian/lembaga terkait di bawah koordinasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

PP ini juga akan mengatur pelibatan kelompok dan organisasi masyarakat, serta memberikan edukasi mengenai bahaya terorisme melalui pendidikan formal dan nonformal.

Pemetaan wilayah rawan paham radikal terorisme juga diamanatkan oleh peraturan ini dan dikomando oleh BNPT.

BeritaBenar coba menghubungi juru bicara BNPT Irfan Idris terkait teknis dan detail penerapan PP 77/ 2019, tapi tak beroleh balasan. Pun, juru bicara kepresidenan Fadjroel Rachman.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.